Ada banyak hal yang tak patut aku bagikan terhadapmu, termasuk betapa takutnya aku kehilangan dirimu.
~“Gimana? Udah mantep kan?” tanya Cetta membuyarkan lamunan Eshan yang masih bergeming ditempat duduknya, padahal kelompoknya sudah selesai praktek sedari tadi.
Eshan langsung melirik salah satu sahabatnya itu kemudian. Walaupun cuma empat kata, tapi Eshan paham betul kemana arah pembicaraan Cetta. “Udahan si Ta. Enggak perlu dipikirin.”
“Yang mikirin itu siapa? Bukannya lo?” tanyanya retorik. “Kalau mau ya lanjutin dong Shan. Mau diduluin rival?” lanjutnya yang membuat Eshan langsung menoleh kembali dengan tatapan tajamnya. Ayolah, Cetta saja sudah hapal diluar kepala ekspresi salah satu makhluk disampingnya. Lalu kenapa Eshan tak mau mengaku juga?
Kipas angin yang tengah berputar di atasnya, rasanya tak mengembuskan angin sedikit pun. Entah kipasnya yang rusak, atau Eshan yang memang terlalu panas hingga Cetta pun merasakan hawanya sih?
“Sejak kapan gua punya rival sih Ta? Minat saingan aja enggak.” ucapnya pura-pura cuek, seakan tak pernah ada ganjalan yang selama ini menggelayutinya.
Cetta langsung menggelengkan kepalanya kemudian. Katanya, cinta itu buta. Dan memang benar, saking cintanya Eshan, ia bahkan sampai tak bisa membedakan mana yang harus diperjuangkan dan mana yang harus dilepaskan. Ayolah, hidup itu pilihan. Memang hidup tak sekedar membahas tentang cinta. Tapi segalanya perlu cinta dan kasih sayang bukan?
Tanpa sengaja, maniknya justru beralih menatap beberapa orang cewek yang tengah melanjutkan prakteknya di depan sana. Argh, Anete. Ternyata cewek yang kadang pendiam tapi hobi menggambar itu pintar sekali menarik perhatian yah? Cetta salut, ternyata Pak Satria menangkap sinyal-sinyal asmara yang selama ini Eshan pendam dalam-dalam. Dengan begitu, ia pun jadi tahu bagaimana reaksi dua tersangka itu. Dan yup, hanya dengan satu pancingan, ia bisa menangkap dua ikan.
“Lo-nya sih emang enggak minat punya saingan. Tapi dianya udah mulai klop tuh sama yang seberang.” pancingnya lagi yang membuat Eshan langsung melarikan pandangannya dari sudut ke sudut. Dan yah, maniknya langsung terkunci setelah menemukan apa yang sedari tadi menjadi fokus Cetta. Bukan, ia tidak sedang cemburu kok. Ia hanya marah, kenapa Cetta bisa semudah itu membaca gelagat orang lain.
Tanpa sadar, ada sesuatu yang menjalar dalam hatinya begitu melihat Anete. Bukankah ia sudah pernah bilang jika Eshan sangat menyukai ekspresi serius Anete? Dan yah, ekspresi itu selalu saja membuat Eshan terhanyut di dalamnya.
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Eshan sedikit tertarik kemudian. “Udah sih, bukannya semua orang nganggepnya kita cuma sebagai bahan candaan? Terus ngapain diseriusin sih?”
Kekahan geli Cetta langsung membuat Eshan menoleh dengan tatapan sebalnya. Anak ini memang benar-benar. “Lo aja enggan nyeriusin ya orang lain yang nyeriusin lah. Polos lo udah menjalar kemana-mana Shan.”
Nah, ini nih yang tidak Eshan sukai dari seorang Cetta. Bicaranya terlalu asal, dan kebenarannya terkadang perlu diacungi jempol. Cetta, Cetta, haruskah Eshan bersyukur atau justru mengumpat telah memiliki sahabat sebaik dikau?
“Bukannya cara mencintai setiap orang beda-beda Ta?”
Cetta langsung tertawa kemudian. Argh yah, Cetta jadi lupa. Eshan itu tipikal cowok yang mudah memanipulasi apa yang dia rasa. Seperti sekarang, ia justru menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyum tipis yang tak sering ia tunjukkan di depan umum. Tapi ia percaya, seorang Anete pasti bisa membuat Eshan Rayan Alfair mengukirkan senyumnya dengan sering-sering. Well, orang yang jatuh cinta memang terkadang pemikirannya terlalu luar biasa hingga keluar dari batas kelogikaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Era (TERBIT)
Fiksi RemajaPernah enggak sih gara-gara dicie-ciein kalian jadi suka beneran? Seperti Anete Geffie Abila, yang sayangnya harus baper sama teman kelasnya sendiri-yang sayangnya udah punya gebetan. Mau maju atau mundur tuh? Inginnya maju, tapi tak ingin menyakiti...