Chapter 21 - Rasa yang Sebenarnya

54 7 6
                                    

Kamu istimewa, dengan segala diam dan kebisuanmu.
~

“Wah, ternyata anak ayah udah bisa gambar yah,” puji sang ayah yang membuat Anete langsung mengukirkan senyumnya begitu lebar.

“Gambar Anete bagus ya yah? Tapi bagusan gambar ayah tuh.” ucap Anete sembari menunjuk buku sketsa milik ayahnya yang terpampang beberapa gambar luar biasa yang membuat manik Anete selalu berbinar.

Sang ayah langsung meletakkan kembali gambar Anete di atas meja. “Ini gambar Anete yang pertama, kalau Anete mau berlatih, pasti gambar Anete akan lebih bagus dari gambar ayah.”

Manik Anete langsung berbinar. “Benar?” tanyanya memastikan. “Kalau gitu ayah ajarin Anete biar bisa gambar sebagus ayah yah?”

Sang ayah langsung mengangguk dengan antusias, diiringi senyum merekah di bibirnya yang langsung menular pada sang putri.

Anete langsung merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia harus membuka laci keramat yang membangkitkan ingatannya sih?

Anete rindu.

Anete tak yakin bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Maniknya terasa memanas. Napasnya terasa tercekat. Tangannya mendadak gemetaran.

Dengan menahan maniknya agar tetap terjaga, Anete kembali memandangi karya pertamanya itu sembari mengelusnya pelan. Kertasnya sudah lusuh. Goresannya semakin hilang. Tapi, semuanya masih terasa baru di benak Anete. Tak ada yang terasa lama dalam hatinya jika itu menyangkut keluarganya. Iyah, sebab bagi Anete keluarga terlalu berharga dijadikan kenangan lama.

Tanpa sadar, senyum tipis di tengah tangisnya itu justru terukir. Andai saja ia bisa mengulang kembali masa itu. Anete, pasti akan berlama-lama memandangi wajah teduh sang ayah yang selalu menginspirasinya. Tapi sayang, semua itu hanya bagian dari pengandaiannya yang tak bisa jadi kenyataan.

Diletakkannya kembali buku sketsa itu di tempatnya. Anete memang tak pernah berniat menyingkirkan apalagi membuangnya. Sebab, sebuah buku sketsa terasa lebih penting dibanding rupiah yang ibunya bawa pulang.

Setelah menutup laci yang penuh kenangan, Anete kembali memandangi buku tulisnya yang menampilkan tugas dari Pak Satria. Argh yah, sekarang bukan saatnya menyelami masa lalu yang berujung tangis tak berperikemanusiaan. Tapi saatnya Anete mengingat masa depan. Hari esok yang akan membuatnya kelabakan jika saat ini ia masih terus berkubang pada masa lalu.

***

Bagi sebagian cowok, makan di kantin itu jauh lebih efektif dibanding membawa makanannya ke dalam kelas seperti kebanyakan cewek. Terlalu ribet, dan sungguh membuang waktu.

Dan sekarang, Fardhan jadi merasa bersyukur karena Ias bersikeras mengajaknya ke kantin karena mengeluh kelaparan. Karena dengan begitu, ia jadi bisa melihat Anete dengan leluasanya.

Fardhan jadi meringis sendiri. Ia jadi sedikit menyesal mengingat pertemuan terakhirnya dengan Anete. Tidak terlalu cepatkah ia mengatakan hal itu? Atau—justru Fardhan sudah terlalu terlambat hingga membuatnya mendapat respons yang tak terduga?

“Hoh, pantes anteng. Orang doi di depan mata ye. Samperin gih, kasihan tuh antre berkepanjangan.” celetuk Ias dengan senyum mengejeknya.

Fardhan langsung mendengus seketika. Memang tak ada untungnya Ias punya saudara yang mengenal Anete. Fardhan, jadi tidak bisa leluasa.

“Ih kaya orang gila lo mah Dhan,” ucap Ias sembari bergidik ngeri melihat Fardhan yang senyum-senyum sendiri.

Sumpah demi apa, Fardhan merasa ada yang lain dalam dirinya saat mendengar tawa bahagia Anete bersama sahabatnya. Sudah berapa lama sih dia tidak mendengar tawa Anete yang menyenangkan? Fardhan, jadi bertambah rindu.

Jika dipikir-pikir, Fardhan sebenarnya penasaran. Apa sih yang dirasakan Anete belakangan ini? Apa dia juga resah karena didiami Fardhan? Atau bahkan, dia justru merasa lega karena tak ada lagi yang mengganggunya?

Sial. Anete terlalu pintar memainkan peran. Fardhan jadi tak bisa menebak apa yang Anete rasakan. Dia—terlalu berbeda untuk Fardhan yang biasa-biasa saja.

***

Ada beberapa hal yang membuat Anete terkadang merasa tak beruntung menjadi seorang cewek. Seperti saat ini, perutnya luar biasa sakit dan ia benar-benar malas melakukan apapun.

Tak dihiraukannya tugas mencatat yang baru saja ditugaskan. Perutnya jauh lebih penting untuk diurus. Bahkan tangannya sedari tadi tak berhenti memegangi perutnya yang terasa diaduk-aduk begitu kasar dari dalam. Astaga, kenapa jadi cewek bisa membuat Anete kelimpungan begini sih?

“Nete, temenin ke toilet yuk?” ajak Diva sembari menggoyang-goyangkan lengan Anete tak sabaran.

Anete, yang sedari tadi sedang menelungkupkan kepalanya dengan tangan yang tak lepas dari perutnya, kini langsung menolehkan kepalanya seketika. “Sama Anne aja deh Div,” tolak Anete dengan wajah memelasnya.

Diva langsung mengernyitkan keningnya kemudian. Disingkirkannya rasa tak tahan yang sudah ia rasakan sedari lama. “Kenapa sih? Pusing? Sakit perut? Atau nyeri Nete?” tanya Diva beruntun tak menghiraukan raut wajah Anne yang sedang terbengong-bengong tak mengerti.

Anete langsung mengangguk, dan menelungkupkan kepalanya kemudian.

Diva langsung berdecak dengan kerasnya. “Iyha apa Anete? Jawabnya yang jelas dong,” protes Diva tak melihat keadaan.

Menyadari Anete yang tak akan mendongakkan kepalanya, Anne langsung menginterupsi seketika. “Nyeri Div. Sama gua aja ayuh,” ajaknya mengalihkan topik.

Raut wajah Diva langsung meredup. “Sakit banget yah? Ke UKS aja yuk?” ajak Diva melupakan rasa ingin ke toiletnya kemudian.

“Siapa yang sakit?”

Anete yang baru saja mendongakkan kepalanya, langsung menoleh ke sumber suara. Dalam hati ia benar-benar merutuki dirinya yang bisa-bisanya harus menunjukkan raut tak enaknya di depan Eshan. Come on, kapan sih ia bisa merasa biasa-biasa saja jika berhadapan dengan Eshan?

“Biasa Shan, perempuan.” jawab Anne singkat sembari mengedikkan dagunya ke arah Anete.

Bukannya menjawab, Eshan justru langsung melenggang pergi meninggalkan kelasnya. Ketiga cewek itu pun langsung mengernyitkan keningnya tak mengerti. Eshan yah tetap Eshan, cowok aneh yang kelakuannya bisa di luar nalar.

Tak berapa lama, Eshan kembali sembari membawa segelas air mineral dalam gelas. Diva, yang tadi langsung menunda acara ke toiletnya karena sudah tak ingin, kini langsung menatap Eshan dengan tatapan curiganya. “Bawa apaan sih?”

“Kalau lagi sakit perut waktu dapet, katanya bisa mendingan kalau minum air hangat.” jawabnya lancar sembari meletakkan gelas tadi di depan Anete.

Anete yang sedari tadi terbengong-bengong melihat tingkah tak biasa Eshan, kini langsung mengerjapkan maniknya seketika. “Kata siapa sih?”

“Gua tuh udah persiapan dari lama. Sekarang jadi ada gunanya kan?”

Sumpah demi apa, Anete jad berpikir lain mendengar Eshan mengatakan hal barusan. Astaga, kenapa otak Anete mendadak jadi berlebihan gini sih kalau ada di dekat Eshan?

“Diminum gih, kalau belum mendingan gua anter ke UKS ya?” tanya Eshan sembari mengusap pelan puncak kepala Anete dengan perlahan, lengkap dengan senyum menenangkannya.

***

Ada yang suka gitu kalau lagi dapat tamu bulanan? Biasanya kalian ngapain sih?

Gimana sama chapter ini, memuaskan dong?

Kalau ada typo tolong ingatkan yah.

Happy reading🤗

Lanti😘

Era (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang