Hello Dear, jangan lupa vote dengan cara klik bintang di bawah ya♡
Lelaki separuh baya itu terlihat sangat pucat, matanya cekung seperti orang yang tidak tidur semalaman, rambutnya pun sangat acak-acakan. Ia sibuk mondar-mandir di lobi rumah sakit, sesekali ia usap mukanya dengan kedua tangan "Ya, Tuhan Istriku," suaranya mencekik dalam. Tampak sangat memilukan, buliran air mata mengalir di pipinya, ia sangat bersedih, sehingga hanya kekhawatiran yang memenuhi ruang dadanya.
"Dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk istri saya!" Suaranya bergitu tertahan penuh dengan kesedihan, tangannya pun mulai bergetar.
"Tenanglah, Prof. Kami akan melakukan yang terbaik." Ucap dr. Ibnu meyakinkan.
Suasana begitu menegangkan, seorang pasien tergeletak hebat nyaris tak sadarkan diri. Butuh penanganan yang sangat serius. Bahkan, berbagai cara sudah dilakukan, namun pasien belum sadarkan diri. Hanya tinggal satu cara yang memungkinkan kesembuhan istri profesor Hendri, yakni transplantasi jantung.
Beberapa dokter pun berkolaborasi dengan profesional, mekanisme dan alat-alat medis sudah disiapkan, semua dalam keadaan steril.
Operasipun dimulai,
"Mulai pemindahan organ." Ucap dr. Ibnu lugas. Beberapa orang dokter pun mengambil posisi strategis sesuai dengan job masing-masing. Semua dokter bekerja secara optimal, tentu tidak menyalahi prosedur yang ada.
"Kita akan memulai pembedahan." Sigap para dokter dengan segala perkakasnya.
Beberapa saat kemudian, suasana semakin menegangkan. Tidak ada tanda-tanda pasien membaik. Para dokter pun tertunduk dengan kekecewaan.
"Waktu kematiannya adalah 24 Juni 2020, pukul 14.13 WIB."
Tidak pernah terbayangkan bagaimana rasa sakit yang dibendung oleh Prof. Hendri.
"Prof. Hendri." Panggil lelaki berjaz putih itu, ia tersentak hebat, ia buka mata sayu yang penuh kesedihan itu.
"Bagaimana dokter? Apakah operasinya lancar?"
dr. Ibnu menahan sedikit keresahan di dadanya, ia pastikan mental dan emosinya dapat diterima Prof. Hendri dengan baik saat menyampaikan berita duka.
"Maaf sebelum Prof, saya ingin menyampaikan kabar yg tidak mengenakkan, kondisi pasien saat ini sudah banyak komplikasi, dan transplantasi jantung pun gagal dilakukan. Sebelumnya dokter dan tenaga medis lainnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien, tapi Tuhan berkata lain dan dengan tidak enak hati kami sampaikan bahwa pasien tidak terselamatkan lagi...,"
Prof. Hendri terhenyak mendengar itu semua. Kesedihan telah memenuhi hatinya, air matanya pun membulir tiada henti, "innalillahi..." ucapnya dengan lirih yang bergetar. Bibirnya terlihat sangat sulit dikatubkan, seakan dunia runtuh dan menimpa dirinya yang malang. Sangat sakit ia rasakan, hingga hulu hatinya terasa begitu mencekam. Berkali-kali ia ingin memastikan ini semua hanyalah mimpi, namun amat sulit; kenyataan sedang tidak berpihak padanya.
dr. Ibnu pun terlihat begitu empati, ia memberi ruang Prof. Hendri untuk meratapi kepergian istrinya. Sebagai seorang dokter ia sudah melakukan yang terbaik.
Lelaki itu memeluk tubuh istrinya yang tak bernyawa lagi, ia meraung membatin, matanya sudah membasahi pipi mendiang istrinya. Tak kuasa, ia mencium istrinya penuh khidmat, berkali-kali ia cium, berkali-kali pula ia peluk. Pada saat itu, pengharapannya hancur, penyesalannya sangat mendalam, andai ia tidak pulang kerja terlambat, mungkin istrinya tak seperti ini.
Rumah sakit membantu keluarga mengurus prosedur formal. Sertifikat kematian segera dilayangkan.
"To cure sometimes, to relieve often, to comfort always" Kutipan bijak Hippocrates tentang peran dokter.
"Tolong kirimkan karangan bunga ke rumah duka, segera ya Pak Jon!" Perintah rektor universitas tempat Prof mengabdikan diri."Baik, Pak." Jawab seksi perlengkapan.
Bukan hal ini yang dikehendaki, Prof. Hendri, ia semakin tidak bisa terima, batinnya menolak keras. Tak sedikit karangan bunga di halaman rumahnya, ini amat sangat menyakitkan, hatinya pilu, tulangnya seakan melunak, dan jiwa raganya seakan runtuh, jika kehilangan akal sehat mungkin ia ingin menyusul istrinya saja.
"TURUT BERDUKA ATAS WAFATNYA IBU DR. RATNA KUSUMA SAHIDA" tertanda Prof. Dr. Mulyono Abidin, S.E, Akt, MBA, CA.
Banyak sekali ucapan belasungkawa, tertanda rumah sakit, aliansi mahasiswa Indonesia, BEMU, dan beberapa teman dekat Prof. Hendri. Ya, inilah bukti yang dititipkan oleh orang-orang yang mengenal hebat istri Prof. Hendri.
Mahasiswa tak tinggal diam, bentuk rasa empati; beberapa di antara mereka berkunjung ke rumah duka. Kini, rumah Prof. Hendri terbuka lebar, ribuan orang ikut merasakan kepedihan yang dirasakan Prof. Hendri, walau pun begitu tentu Prof. Hendrilah yang paling merasakan sakit, kekecewaan, dan kesedihan yang mendalam.
♡♡
dr. Ibnu sekeluarga tidak tinggal diam, ia paham betul bagaimana perasaan Prof. Hendri saat ditinggal almarhumah Ratna.Mobil dr. Ibnu melaju dengan cepat. Sementara Kahfi, Ibu, dan adik-adiknya membungkam suara. Tidak banyak pembicaraan, pun tak seperti biasanya.
Kini rumah duka dipenuhi dengan busana hitam.
"Turut berduka, Prof." Ungkap dr. Ibnu untuk yang kedua kalinya. Mereka memang baru kenal ketika Prof. Hendri membawa istrinya check up di rumah sakit beberapa minggu lalu. Namun, bagi Ibnu perkenalan dengan Prof. Hendri cukup mengisi relung pertemanan di batinnya. Mereka terlihat sudah kenal lama. Pelukan penguat dari Ibnu, mengharapkan ketabahan dari Prof. Hendri.
"Yang kuat, tabah, dan sabar, Hen. Insyallah ia sudah di surga-Nya." Kini ucapan itu bukanlah seperti dari seorang dokter, tapi bentuk kedekatan seorang teman.
Ada yang meraung, ada yang menitikkan air mata, bahkan ada pula yang biasa-biasa saja. Ada yang masih bisa tersenyum, ada yang terlihat kusut, dan ada pula yang mematung seakan tak terjadi apa-apa. Begitulah di rumah duka. Orang-orang tidak akan pernah tahu isi hati para pelayat pada hari itu, apakah sejujurnya benar-benar kehilangan, atau hanya melayat karena rasa segan kepada beberapa pihak tertentu. Pihak keluarga mungkin. Tapi, Allah Maha Tahu isi hati setiap manusia. Sedih, kecewa, duka lara, dan nestapa.
Kahfi tidak menyangka Prof. Hendri sudah kenal dengan Ayahnya. Sungguh di luar dugaan. Tapi, Kahfi cukup abai akan hal itu, yang jelas ia ikut merasakan kesedihan dan menaruh iba kepada Prof. Hendri yang maha baik kepada mahasiswanya, hal itu dirasakan Kahfi ketika dipermudah meminta surat rekomendasi beasiswa program magister beberapa minggu lalu.
Tak sengaja Kahfi melihat seorang gadis sedang melantunkan ayat suci di hadapan mayat istri Prof. Hendri. Ia menatapnya penuh dalam, ia memastikan dengan lekat, ia mengecilkan matanya, lalu memastikan berkali-kali. Tepat. "Gadis itu...," detak jantung Kahfi nyaris tak beraturan, masyallah.
Ya, Syifa Humaira Khairani, bersama rombongan teman-teman aliansi mahasiswa, perwakilan dari beberapa mahasiswa di tempat Prof. Hendri mengabdi.
♡♡
Bersambung dulu ya♡
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Mate♡ [TAMAT]
General FictionAsslammualaikum Dear, follow dulu ya sebelum baca❤ "Janganlah kamu menganggap diri telah suci, Allahlah yang lebih tahu siapa saja yang sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu." (H.R. Muslim) M. Kahfi Albani menunda menyatakan perasaan...