Jangan lupa vote dengan cara klik tanda bintang di bagian bawah ya❣
Alexandra menenggelamkan wajahnya di pelukan Kahfi. Ia menangis tersedu-sedu. Semakin Kahfi melepaskannya semakin erat pula ia memeluk tubuh perkasa Kahfi.
"Lepas, Alexandra!"
Alexandra menyurutkan pandangannya. Ia memilih mundur kemudian menghapus air matanya. Inilah hal yang paling Kahfi benci, tidak suka, dan tidak tega ketika melihat wanita menangis.
"Apa yang terjadi Alexandra?"
***
"Bagaimana Carlo, apakah kau sudah menjalankan tugas?""Sudah, Bos." Kemudian Carlo memperlihatkan beberapa bukti berkas yang sudah ia kirimkan.
"Oke, kerja yang bagus." Lelaki bertato itu memberikan sejumlah uang kepada Carlo.
"Thanks, Bos." Balas Carlo menyingir sinis.
Ditampung oleh keluarga yang sangat baik cukup membuat hati Alexandra lega, terlebih dinikahi oleh Kahfi. Setidaknya cukup menyelamatkan dirinya dari dunia kegelapan.
"Permisi, Nona Alexandra!" Tukang pos memanggil berkali-kali.
"Iya, tunggu sebentar."
Alexandra membuka pintu, di sudut sana lelaki separuh baya tengah menunggunya.
"Ya, ada apa, Pak?"
"Ini Non, ada kiriman."
"Kiriman? Dari siapa Pak?"
"Tidak ada nama pengirimnya, Non."
Amplop kecoklatan berukuran kertas A4 itu sudah di tangan Alexandra. Sebelum membukanya ia mengira-ngira dalam hati.
Buka Tidak
Buka Tidak
Buka Tidak
BukaAlexandra tengah dirasuki dengan rasa penasaran. Namun di sisi lain ia teramat khawatir. "Siapa yang mengirimkannya?" Lirih Alexandra, sementara ia tidak pernah mengirimkan surat dengan siapa pun, transaksi jual belipun tidak pernah.
Mobil itu menderu cepat dan berhenti tepat di depan pagar,"Alexandra," Suara itu menggema ke telinga Alexandra. Beberapa kali klakson dibunyikan, ia menggertak istrinya agar segera membukakan pintu.
Alexandra meletakkan amplop yang telah membuatnya mati penasaran itu. Ia selipkan di bawah sofa ruang tamu.
"Iya, Mas. Sabar."
Tidak ada orang di rumah, kecuali Alexandra.Alexandra membukakan pintu pagar, sementara suaminya itu memasang kerut sepuluh lapis di jidatnya."Ada apa lagi sih?" Suara hati Alexandra.
Kahfi buru-buru menuju kamar mandi. Sedari tadi sudah menahan rasa sakit, mules di perutnya.
"Mas, kenapa Mas?"
"Ini semua gara-gara kamu. Saya alergi udang Alexandra"
"Lah, aku ngak tahu, Mas."
" Besok-besok jangan buatkan bekal lagi." Suara Kahfi meninggi.
"Maaf,"
Alexandra belum sempat menanyakan makanan dan minuman kesukaan Kahfi. Sekali pun belum. Sebab Kahfi cenderung memilih diam dibandingkan ngobrol dengannya.
Alexandra memerhatikan jam dinding, sudah pukul 13.45 WIB. Sebentar lagi Ibu dan Ayah mertuanya pulang dinas. Begitu pun Wafi, akan pulang barengan dengan kedua orang tuanya itu.
Sebagai seorang menantu, pun sebagai seorang istri Alexandra mencoba menjalankan tanggung jawabnya. Ia harus memasak.
"Mas, mau dibuatkan apa?"
"Terserah."
"Okey deh, Mas." Suara Alexandra melemah. Kahfi merasa bersalah dibuatnya.
Sehari setelah menikah, Alexandra tampak begitu dewasa. Tegar dan penyabar. Meski Kahfi sering mengabaikannya, namun ia tetap berusaha mendapatkan hati Kahfi.
Kahfi menutup buku bacaannya, lalu menuju dapur. Diam-diam Kahfi memerhatikan Alexandra yang sedang mengiris-iris bawang, dilihatnya penuh lekat dan dalam. "Dia cantik, tapi..." Masih ada kata tapi di hati Kahfi. Berarti istrinya itu masih ada celanya di mata Kahfi.
Apabila istri yang diinginkan Kahfi seperti Syifa Humaira Khairani, tentu Alexandra masih jauh dari itu. Istrinya tidak menggunakan hijab, sementara Syifa senang menggunakan hijab, pun jilbab. Syifa senang menggunakan gamis, sementara istrinya senang menggunakan dress selutut. Syifa memiliki banyak prestasi, sementara Alexandra gadis yang berasal dari lokalisasi. Sangat jauh pikir Kahfi, itulah alasannya ia belum bisa menerima Alexandra penuh cinta dan kasih.
***
Alexandra menangis sejadi-jadinya, amplop yang baru saja ia buka menjadi pemandangan yang memilukan dan menyesakkan dadanya. Beberapa foto senonoh, pun kata-kata kepuasan dari Alberto semakin memecah kesedihannya.
"Thanks one nightnya, Alexandra" Tertanda Alberto
"Alberto, jadi Alberto.." Alexandra terhenyak di sudut sofa, terbayang wajah lelaki jahannam itu olehnya. Lebih pilu dan menyakitkan lagi, ternyata dendam yang menahun dalam dirinya itu salah kaprah. "Bukan lelaki itu pelakunya," Betapa merasa bersalahnya Alexandra terhadap sosok lelaki yang bernama Alano. Mengapa ia begitu yakin Alano yang melakukannya, padahal sedikitpun Alexandra tidak memiliki bukti atas tuduhannya itu.
"Mengapa kamu begitu tega Alberto, mengapa?" Kekecewaan Alexandra membatin.
Ia pikir urusannya sudah usai dengan Alberto, tapi mengapa semua ini seperti babak baru dalam hidupnya. Akankah permasalahan ini berbuntut panjang?
"Mas, maafkan aku." Alexandra mematung tak berdaya di hadapan suaminya itu, perlahan buliran air mata membasahi pipinya.
"Maaf untuk apa? Kamu kenapa Alexandra?" Kahfi sangat khawatir melihat wajah Alexandra yang semakin memucat.
"Maafkan aku, Mas." Hanya kata maaf yang keluar dari mulut Alexandra. Berkali-kali Kahfi mengulang pertanyaannya, namun jawaban Alexandra hanyalah kata maaf.
Alexandra menenggelamkan tubuhnya yang tak berdaya itu di hadapan Kahfi.
"Menangislah!" Lirih Kahfi. "Menangislah sepuasnya!" Kahfi memberikan pundaknya, lalu membalas pelukan Alexandra.
"Saya tidak bisa melihat perempuan menangis Alexandra." Suara hati Kahfi.
__________________________________
Bersambung...
Tulisan ini sewaktu-waktu direvisi.
Harap membaca ulang ya temen-temen.Maaf, masih amatir😇
Terima kasih sudah sudi membaca dan memberi masukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Mate♡ [TAMAT]
General FictionAsslammualaikum Dear, follow dulu ya sebelum baca❤ "Janganlah kamu menganggap diri telah suci, Allahlah yang lebih tahu siapa saja yang sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu." (H.R. Muslim) M. Kahfi Albani menunda menyatakan perasaan...