Sebuah Pilihan♡

45 6 2
                                    

Jangan lupa vote dengan cara klik tanda bintang pada bagian bawah ya💗

Padahal luka di hatinya belum sembuh, bagaimana mungkin ia bisa menerima permintaan ayahnya?

"Menikahlah dengan gadis itu!" Tegas Ibnu.

"Gadis?"

"Kau yang membawanya ke mari! Nikahilah, di mana tanggung jawabmu sebagai laki-laki."

"Tanggung jawab? Bahkan Kahfi pun tidak bersalah, Ayah. Kahfi tidak berbuat apa-apa, Kahfi hanya berniat menolongnya. Apa yang harus Kahfi pertanggung jawabkan?"

"Menolong seorang gadis jangan tanggung-tanggung, Kahfi. Nikahi Alexandra!" Tegas Ayahnya.

"Astagfirullah, bahkan sedikitpun Kahfi tidak mencintainya."

"Cinta bisa tumbuh setelah menikah." Sambungnya.

"Tidak semudah itu Ayah,"

"Kamu belum mencoba, kenapa menganggap begitu sulit?" Sambung Ayahnya.

"Tapi Ayah...," Sesal Kahfi membatin. Lelucon apa lagi yang sedang dihadapi Kahfi, amat memilukan hatinya.

"Tidak ada alasan lagi, Kahfi. Hanya ada dua pilihan, kamu usir gadis itu dari sini atau kamu nikahi dia? Itu saja."

Kahfi terdiam. Dipikirnya berkali-kali, ini semua sangat tidak masuk akal. Sama sekali tidak.

"Pikirkanlah, Kahfi." Tukas Ibnu.

♡♡

Alexandra akan membawa Wafi berolahraga pagi hari ini. Tepatnya berlari-lari kecil di sekeliling taman.

"Tidak mungkin," Dengus Kahfi ketika melihat gadis itu yang membersamai adik kesayangannya itu.

Iya, tidak mungkin Kahfi menikahi gadis itu.
"Aku tidak bisa terima semua ini, Ayah" Jadi, kalau begitu Kahfi akan memilih mengusir Alexandra dari rumahnya?

Tidak juga, bisakah ia memilih jalan lain selain pilihan dari ayahnya itu?

Kahfi yang sedang berada di ambang pintu semakin sibuk berbicara dengan hatinya. Berkali-kali ia pandangi gadis yang menggunakan pakaian khas olahraga itu, pun topi penyangkal sengatan matahari sudah terpasang sempurna. Diperhatikannya lambat-lambat, hatinya semakin berkata-kata. "Dia bukanlah tipe saya." Dilihatnya lagi gadis itu, ia semakin kesal dan kecewa.

"Atau aku mengusirnya saja?"

"Tidak, tidak mungkin. Kasar sekali saya kepada seorang perempuan." Jawab hatinya berlawanan. Sedapat mungkin Kahfi akan menjauhi menyakiti hati orang lain, apalagi hati perempuan, tidak akan.

"Wafi, ke marilah" Panggil Kahfi yang sedang membawakan mineral untuk adiknya. Sementara Alexandra hanya tercenung, lantasan tidak pernah lagi diajak berbicara oleh Kahfi usai tragedi tak sadarkan diri itu. Ingin ia memulai obrolan, tapi ia teramat segan.

"Iya, kakak. Terima kasih ya, Kak." Wafi meminum mineral yang diberikan oleh Kahfi, "Kakak mau?" Ia menodongkan minuman ke Alexandra.

"Oh, ngak dek. Kakak udah min...."

"Ini untukmu," Potong Kahfi.
Kahfi memberikan minuman kepada Alexandra lalu membesarkan matanya dan berbalik badan.

"Terima..." Belum selesai gadis itu berbicara, Kahfi malah memotongnya, "Diam!"

Gadis itu hanya memandangi botol yang sudah di tangannya. Diperhatikan berkali-kali, "Jangan-jangan ini minuman udah diracuni sama si Kahfi, jelas dia tidak suka kepada saya." Cetusnya dalam hati. "Minum ngak ya?" Kemudian hatinya menjawab,
"Minum saja!"

"Jangan diminum, ah minum saja!" Ia berbicara sendiri dengan hatinya.

"Ah, sudahlah." Gadis itu meninggalkan mineral pemberian Kahfi, lalu melanjutkan aktivitasnya.

Dari sudut jendela, tepatnya di balik tirai Kahfi masih memerhatikan aktivitas yang dilakukan Alexandra dengan adik kesayangannya itu. Sedikit demi sedikit ia intip di balik tirai, "Astagfirullah, air pemberian saya tidak diminum." Sesal Kahfi, lalu ia memberanikan diri untuk memasang badan diambang pintu. Sementara Alexandra menjulingkan matanya, "Apaan sih ini orang lihat-lihat ke sini." Gadis itu berbicara dalam hati.

"Dasar gadis aneh, ngak jelas!" Lirihnya.

"Kak Kahfi, ngapain Kak? Kakak ayo gabung. Kakak mau olahraga atau...?"

"Oh, ngak, Dek. Silakan lanjut!"

Kahfi memilih menghenyakkan tubuhnya di kursi depan rumah, kemudian menggulirkan jemarinya di layar gawai.

"Jadi kamu sudah punya istri?" Ia terkaget setelah melihat balasan whatsapp dari teman waktu kecilnya itu.

"Iya, bolehkah aku mengajaknya ketika meeting nanti?"

"Masyallah, bahkan kau menikahpun tidak mengundangku, duh kasihan." Balas Kahfi disertai emotik menangis. Lalu temannya hanya membalas dengan emotik ketawa.

♡♡♡

"Sayang, nanti Mas mau meeting. Iya sih meeting kecil-kecilan. Mau ikut ngak?" Alano mematikan televisi lalu menggeliatkan badannya di sofa itu, cukup lelah, sesekali ia menguap lalu menutup mulutnya; mengantuk.

"Emang ngak papa Mas?"

"Ya ngak papa. Kebetulan tenaga ahli proyek di Bekasi itu ialah teman Mas sewaktu kecil di Bandung."

"Hmm, boleh deh Mas."

"Kita perginya agak siangan saja ya sayang. Pukul 2 siang."

"Udah bilang sama temannya, Mas?"

"Udah, barusan di watsapp."

Kadang-kadang Alano tidak menyangka, mengapa Allah memberikan jodoh sesempurna Syifa? Dia cantik, cerdas, jago masak, dan perfect sekali di matanya. Ia pikir berkali-kali, "Allah memang ngak sia-sia," Alano tercenung dibuatnya.

"Mas, oh Mas..." Alano terbangun dari lamunannya.

"Iya sayang."

"Mas kecapean ya?"
Alano mengangguk.

Syifa melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Wanita itu melakukan pijitan kecil di kepala Alano.
"Gimana, Mas?" Alano hanya tersenyum, pijitan istrinya memang hebat.

"Lagi sayang."

"Lagi?" Syifa tersenyum lepas.

_____________________________________

Bersambung dulu ya❤

The Perfect Mate♡ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang