TFM [23]

29 6 1
                                    

Jangan lupa vote dengan cara klik tanda bintang pada bagian bawah ya❤

Sebentar lagi lelaki itu akan mengucapkan kalimat yang sangat sakral, janji yang teramat suci, pun bagian dari kesempurnaan agamanya. Ia akan menunaikan sunnah Rasulullah Saw.

Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383)

***

M. Kahfi Albani menunaikan ijab kabul sekali napas, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang-orang yang sedang menyaksikannya. "Alhamdulillah, sah." Ucap para saksi dan beberapa tamu undangan.

Alexandra sangat terharu di hari pernikahannya itu. "Selamat, kalian resmi jadi suami istri," Ucap Zuri yang sedari menemani menantunya itu.

"Terima kasih, Bu." Alexandra mencium tangan Zuri yang sudah resmi menjadi Ibu mertuanya.

"Ngak boleh nangis, nanti make up nya luntur loh." Zuri menghapus air mata Alexandra, kemudian merangkulnya.

"Ya Tuhan, semoga Ayah dan Ibuku tengah menyaksikanku di surga." Suara hati Alexandra.

Beberapa tamu undangan melemparkan pertanyaan dengan nada yang kurang baik. Semakin diacuhkan, semakin sesak pula dirasakan. Dari mulut ke mulut, semakin tertata bisikan-bisikan itu.

"Orang tua mempelai wanitanya mana?"

"Keluarganya ngak datang?"

"Kenal di mana si Kahfi dengannya?"

"Mendadak banget nikahnya."

"Jangan-jangan hamil duluan."

Masih banyak tudingan yang menekan perasaan Alexandra. Semakin banyak yang berkata-kata, semakin merasa tidak pantas ia dipersunting oleh Kahfi.

Tidak seperti pengantin kebanyakan, biasanya setelah ijab kabul seorang istri mencium tangan suaminya, begitupun suami mengecup kening istrinya. Kahfi memilih untuk tidak melakukannya, sehingga hal itu membuat tamu semakin bertanya-tanya.

Kini, sepasang mempelai itu sudah bersanding. Lebih tepatnya duduk berdampingan. Alexandra sedikit demi sedikit menggeser diri agar duduk rapat dengan Kahfi, namun Kahfi menggeser diri sedikit demi sedikit agar berjarak dengan Alexandra.

"Mas," Panggil Alexandra.

Kahfi memilih diam. Alexandra semakin canggung dibuatnya. Sementara tamu-tamu mengerumuni mereka dengan salaman. Alexandra mencoba menarik lengan Kahfi, ia memberi isyarat jangan jauh-jauh.

Kahfi tidak peduli. Ada hal yang membuat Kahfi tidak puas, begitulah isi hatinya yang terdalam. Ia bisa menerima pernikahan itu, namun ia belum bisa menerima Alexandra di hatinya. Ia bisa menerima Alexandra dengan rasa kemanusiaan, namun ia belum bisa terima dengan rasa cinta.

***
Pintu kamar terbuka lebar, tidak ada yang mesti ditutup-tutupi karena Kahfi tidak akan melakukan apa-apa terhadap perempuan yang baru saja dipersuntingnya itu. Ia menikah bukan atas rasa cinta, bukan pula atas rasa sayang. Jadi, ia akan membiarkan pintu itu membelanga besar.

Alexandra menyeret pintu kamar dengan tangannya. Ia berniat membersihkan diri, ia akan menghapus riasan dan membuka busana pengantin itu.

"Silakan bersihkan dirimu! Saya akan menunggu di luar." Kahfi menyuarakan isi hatinya.

Alexandra menatap heran, ia tidak ambil pusing. Ia sudah biasa diperlakukan seperti itu, bahkan lebih menganaskan.

"It's Oke, Alexandra. Kamu bisa lalui ini semua kok." Lirihnya.

Alexandra sibuk membuka pakaiannya. Ia sedikit kesulitan mencopot beberapa aksesoris yang menempel di busananya itu. Sepertinya banyak sematan yang menempel di pinggangnya, lantas busana yang ia kenakan sedikit kebesaran.

"Aduh, hikzz" Alexandra meraung kesakitan, Kahfi yang sudah menunggu di luar terperanjat dibuatnya. Kemudian ia berlari menuju sumber suara.

"Kenapa? Ada apa?" Kahfi menatap Alexandra dengan kekesalan, pun dengan rasa khawatir.

"Darah Mas, darah."

"Darah apa? Kenapa?"

"Kena sematan, Mas." Kahfi yang tengah berdiri respek menarik tangan Alexandra, kemudian ia bersihkan darah itu dengan tisu.

"Sudah. Jangan cenggeng!" Kahfi membalikkan badan, ia berniat untuk keluar dari zona itu.

"Mas, ke mana?" Alexandra mengisyaratkan, jangan ke mana-mana di sini saja.

Kahfi menyeret pintu kamar, kemudian membuka jam tangannya. Benar, Kahfi berubah pikiran. Kini ia sedang menghenyakkan tubuhnya di kasur pengantin itu, bukan-bukan lebih tepatnya kasur Kahfi, karena baginya kamar itu tidak berubah, tetap kepemilikkan.

"Mas, tolong Mas!" Kahfi hanya memandang datar, namun ia masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa sesungguhnya ia sudah menjadi suami Alexandra.

Seketika Kahfi terdiam. Ia sangat kesal. Di tengah hatinya yang sedang panas itu, ia terhanyut melihat bayangan istrinya di cermin ternyata Alexandra cantik juga, wajahnya yang sedikit chubby, bibirnya yang kecil, hidungnya yang mancung, matanya yang sedikit bulat, ditambah lesung pipinya membuat ia tambah cantik, terlebih sudah dirias itu. "Masyallah, cantik."

Alexandra membalikkan badan, kemudian mendongakkan wajahnya
"Apa, Mas?" Kahfi pura-pura lupa atas apa yang sudah ia ucapkan.

"Saya mau mandi. O iya, saya tidak begitu suka dipanggil Mas, Mas." Sebuah peringatan dari Kahfi.

"Lalu? Aku panggil apa dong? Baby?"

"Saya bukan bayi kamu ya. Jadi jangan panggil Baby!"

"Suamiku?"

"Jangan alay ya, saya tidak suka panggilan itu."

"Ha? Lalu apa dong? Abang? Emang abang tukang bakso?" Alexandra terkekeh, sementara Kahfi semakin kesal.

"Sayang?" Lanjut Alexandra.

Kahfi hanya membungkam suara, kemudian meninggalkan Alexandra.

**
"Alexandra, tolong anduk saya!" Kebiasaan Kahfi kalau mandi lupa membawa anduk ke kamar mandi.

Alexandra pura-pura tidak mendengar, Alexandra jadi senyum-senyum sendiri, mengingat Kahfi tak seburuk yang ia pikirkan. Kahfi itu lucu, perhatian, dan berkharisma, katanya.

"Alexandra, tolong anduk saya!" Untuk kedua kalinya.

"Saya tidak melihat ada anduk, Mas." Kelakar Alexandra, padahal anduk sudah terlipat rapi di kasurnya itu.

"Di lemari, bagian atas." Teriaknya.

"Tidak ada."

"Tadi ada kok,"

"Iya beneran, ngak ada."

"Alexandra," Teriaknya. Alexandra semakin terkekeh.

Wajah Alexandra tiba-tiba memerah, sekonyong-konyong pikirannya liar.

"Iya, iya, Mas. Ini aku taruh di gantungan di belakang pintu ya."

__________________________________

Bersambung....

Maaf, atas part kali ini.

Tulisan ini sewaktu-waktu akan direvisi. Silakan baca ulang.
Bagi yang baru membaca, silakan scroll ke atas untuk membaca bab sebelumnya ya🙏

The Perfect Mate♡ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang