Syifa membuang pandangannya ke arah jendela mobil. Kedua tangannya sudah ia lipat sempurna, tampatnya ia sangat bete, kesal, dan malas sekali menanggapi suaminya itu.
"Sayang, kenapa?"
"Ngak apa-apa kok." Syifa hanya menjawab cetus. Sepertinya Alano benar-benar membuatnya badmood hari ini.
"Sayang, jangan marah dong, yang tadi itu teman Mas. Udah lama ngak jumpa. Kebetulan jumpa di sini." Alano memberi tahu istrinya itu dengan lembut.
"Trus? Syifa ngak nanya kok. Mas aja yang sok tahu isi hati Syifa." Syifa semakin cetus, Alano merasa semakin terpojokkan olehnya.
"Ya deh, Sayang. Kita pulang ya. Mari Sayang pakai seatbellnya." Alano sudah menunduk, tepatnya di hadapan Syifa. Ia mencoba memasangkan seatbell istrinya itu.
"Ngak usah, Syifa bisa sendiri kok." Syifa mendorong pelan bahu suaminya itu.
Alano hanya diam memerhatikan istrinya. Sesekali ia menggeleng.
"Ya Allah, sabar Alano, sabar." Lirihnya dalam hati.
Mobil menderu dengan kecematan tinggi. Alano tampak sengaja agar istrinya mau berbicara kepadanya. Setidaknya menegur Alano.
Syifa hanya mematung. Masa bodo, ngebut saja sekalian. Mungkin begitu isi hati Syifa. Lagian cewek udah tahu juga kali, kalau laki-laki tiba-tiba ngebut bawa kendaraan tandanya minta dikomplen, ditegur, dinasehati. Senang hatinya.
Alano semakin laju, lebih laju lagi. Kali ini memang membuat Syifa ketakutan.
"Mas, jangan ngebut-ngebut dong. Mau mati apa? Fyuhhh." Teriak Syifa kesal.
Sungguh kali ini Syifa semakin marah kepada suaminya. Bukannya semakin baikan, tapi justru semakin malas untuk berbicara dengan Alano.
"Iya, sayang. Maaf." Alano menyengirkan bibirnya.
Kini Alano sibuk dalam lamunannya, ia memikirkan Alexandra yang baru saja ketemu di supermarket. Ternyata Alexandra masih mengingatnya. Satu hal yang membuat Alano kagum, kini gadis yang pernah ditemuinya di bar itu sudah berubah. Alhamdulillah, jauh lebih baik. Cara bicaranya sopan, pakaiannya juga lumayan tertutup.
"Ih, si Mas kok melamun gitu sih? Jangan-jangan mikirin cewek tadi," Syifa semakin kesal lalu menyuarakan isi hatinya.
"Mas," Panggil Syifa. Namun suaminya itu masih melamun.
"Mas," Teriak Syifa kedua kalinya.
"Iya, Sayang."
"Mas, ngapain sih ngelamun gitu. Mikirin cewe tadi ya, Syifa ngak suka ya Mas."
"Nng...ngak kok Sayang."
"Astagfirullah, bikin sebel aja deh." Syifa memasang wajah cemberut, kemudian membuang muka ke arah jendela.
"Ya Allah, gitu banget ya kalau cewe lagi PMS, marah-marah, cemburuan, dikit-dikit ngambek, ampun dah " Lirih Alano dalam hati.
"Bener-bener deh, dapat suami yang kek gini. Bikin naik pitam. Kesel banget aku seharian ini," Balas hati Syifa.
♡♡♡
PoV Alexandra
Sebuah terror teruntuk Alexandra
"Alexandra, gue ngak akan biarin hidup loe bahagia. Gue akan hancurin hidup loe sehancur-hancurnya"
_AlbertoAku sangat menyesal mengenal sosok Alberto, lebih tepatnya lelaki jahannam dan brengsek itu. Setelah mengambil hal yang paling berharga dalam hidupku, ia masih berkeinginan untuk menghancurkan lebih dan lebih.
Aku tidak tahu apakah suamiku Kahfi sepenuhnya sudah menerimaku atau belum. Walaupun begitu, apapun yang terjadi pada diriku adalah hal yang harus ia tahu. Aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak menjadi orang asing lagi.
Suamiku pernah bilang, "Saya tidak peduli dengan masa lalumu Alexandra, seburuk apapun itu. Mari kita saling memperbaiki diri, saya yakin ketika kita saling suport semua masalah bisa diatasi, ingat ya Alexandra apapun yang terjadi sama kamu, ceritakan pada saya...," Begitulah kira-kira singkatnya perkataan suamiku saat kami belum memiliki panggilan spesial seperti sekarang.
Untuk mengambil hati seorang suami, tentu aku mempunyai cara tersendiri. Sepertinya sebentar lagi aku akan memijitkannya karena aku lihat ia sangat kelelahan pulang kerja.
"Kacu, pasti cape kan pulang kerja?" Wajah suamiku terlihat sangat lelah, tapi ia tidak pernah sama sekali mengatakan bahwa ia lelah. Ia benar-benar lelaki hebat, perkasa, nyaris membuatku jatuh cinta.
"Nggak kok, Sayang. Kenapa?"
Jujur, semakin hari aku semakin mencintainya.
"Kacu, aku pijitin ya!"
Perlahan aku pijitin suamiku yang sudah menghenyakkan tubuhnya di sofa berwarna gold itu, ia duduk sambil membaca buku.Aku bahagia sekali ketika melihat dirinya tersenyum. Ia manis sekali, idungnya mancung, rambutnya rapi, alisnya tebal, bibirnya kelihatan merah jambu, wajar karena suamiku bukan perokok.
"Ya Tuhan aku ingin bersamanya sampai mati." Lirihku. Bagiku cukup sampai aku mati saja, karena aku tidak begitu yakin wanita sepertiku diterima di surga atau tidak. Astaga, tidak-tidak, aku harus mengubah pemikiranku.
"Mas," Aku menatap serius kepadanya.
Kahfi sangat respek, ketika melihat mimik wajahku berubah lesu, ia sudah memasang badannya untuk mendengar keluhan dariku.
"Sayang ada masalah ya? Ceritalah, aku siap mendengarnya, kita cari solusi bareng ya." Kahfi mendekap kedua tanganku, kemudian ia kecup. Ia tampak sedang meyakinkanku.
"Mas, aku selalu diancam oleh Alberto. Lelaki yang pernah aku ceritain ke Mas." Seketika wajah suamiku murung dan kesal sekali. Aku juga tidak sampai hati melihatnya harus terjerumus ke masa laluku.
"Sini, kasih tahu sama Mas. Mana orangnya. Sayang, semua ini bisa kita laporkan ke polisi." Entah mengapa aku tidak ingin memperpanjang masalah ini. Jika dilaporkan ke polisi, ujung-ujungnya masalah ini semakin rumit.
"Mas, bolehkah kita pindah ke tempat yang lebih jauh?" Aku tahu ia sedikit keberatan.
Aku berharap setelah pindah ke tempat yang lebih jauh Alberto dan orang-orang jahat lainnya tidak mengusik aku dan suami.
"Sayang, dengar Mas baik-baik. Apakah perlu Mas cari tahu sendiri lelaki yang bernama Alberto itu? Sini, kasih lihat foto orangnya. Kita serahkan saja kepada polisi, semua ini bakalan beres."
Aku membalikkan badan.
"Mas, tidak usah diperpanjang ya Mas. Aku takut jika kita laporkan ke polisi urusannya makin rumit." Aku tahu bagaimana Alberto, orangnya sangat nekat, teman-teman yang bersekongkol dengannya bukan 4 atau 5 orang saja, mungkin udah seperti komunitas yang banyak anggotanya.***
"Mas, maafin Syifa ya Mas. Seharian Syifa udah ngebentak-bentak, Mas."
Sepertinya mood Syifa lagi baik. Maklum, kalau lagi PMS emosinya naik turun.
"O iya, Sayang. Udah selesai marah-marahnya? Ckckck." Alano terkekeh melihat ekspresi istrinya itu. Wajahnya terlihat seperti orang yang sudah melakukan kesalahan besar, ia mematung dan menunduk di hadapan suaminya.
"Maaf,"
"Iya, Sayang. Uhh gemes." Alano mencubit pipi istrinya itu, kemudian diangkatkan tubuh semampai Syifa menuju kamar, lumayan berat, tapi the power of love semua terasa ringan karena cinta.
______________________________________
Bersambung......
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Mate♡ [TAMAT]
General FictionAsslammualaikum Dear, follow dulu ya sebelum baca❤ "Janganlah kamu menganggap diri telah suci, Allahlah yang lebih tahu siapa saja yang sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu." (H.R. Muslim) M. Kahfi Albani menunda menyatakan perasaan...