Jangan lupa vote dengan cara klik tanda bintang di bagian bawah ya❤
"Jangan sampai Saddam mengikuti, jangan sampai," Gadis itu ketakutan,pun luka lebam merias wajahnya yang cantik itu.
Ia tak berdaya lagi untuk mempercepat langkahnya. Ia perhatikan lingkungan sekitar, ketika merasa sudah cukup aman, gadis itu menghenyakkan pantatnya di deretan kursi, lalu ia tarik koper fiber pink itu.
"Aku tidak sanggup lagi," Lirihnya membatin. Ia tarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Aku lelah," Ucap gadis malang itu tertatih-tatih. Ia merebahkan kepalanya di atas koper, lalu ia senggal dengan tangannya sebagai bantal. Miris sekali.
Gadis itu masih secantik dulu, namun sedikit kurus. Lesung pipinya masih menyimpan seribu makna, kulitnya masih putih, namun sedikit kurang terawat.
Setelah setahun berlalu, ia baru bisa menginjakkan kaki di Indonesia.
"Ah, sial!" Saddam meludah bengis ketika mengetahui gadis itu kabur dan mengambil sejumlah uangnya. Ia lihat di sisi dinding kamar, "Sial ia juga meninggalkan ponselnya."
Ponsel itu sudah diatur semaksimal mungkin oleh Saddam, mulai dari penggunaan media sosial hingga pelacak lokasi pun sudah ia aktifkan untuk mengantisipasi apabila gadis itu kabur, alhasil gadis itu tak sebodoh yang ia pikirkan. Ia lebih memilih meninggalkan ponsel tersebut.
Gadis itu tampak kebingungan harus pergi ke mana. Siapa yang mau menampungnya, sementara ia tidak memiliki siapa-siapa. Ia perhatikan jam yang menempel pada dinding itu, sudah pukul 1.44 dini hari, bandara pun mulai sepi.
Ia lihat dompetnya, tak sedikit pun uang tersisa.
"Sepertinya aku tidur di sini saja sampai pagi," Lirihnya.
♡♡
Sudah pukul 7.05 WIB, pesawat Tokyo-Jakarta segera mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Cabin crew sibuk dengan tugasnya masing-masing. Dua orang pramugari sudah berdiri di dekat pintu keluar sembari mengucapkan terima kasih kepada penumpang. Sementra lelaki itu sibuk membereskan barang-barangnya.
"Terima kasih...," Ucap pramugari kepada laki-laki itu.
Ia hanya mengangguk kecil, lalu memancarkan senyuman."Alhamdulillah," Ia membentangkan kedua lengannya, lambat-lambat ia hidup udara pagi itu, lalu ia hembuskan. "Huftt...,"
Sudah setahun lebih ia di Jepang, alangkah rindunya lelaki itu dengan tanah kelahirannya, terlebih dengan Ibu, ayah, dan adiknya Wafi.
Lelaki itu tampak mendorong kopernya, style ala Jepang masih membalut tubuhnya yang perkasa itu. Ditambah kacamata hitam yang sudah terpasang sempurna di hidung mancungnya itu, tampan sekali.
Gadis itu terbangun, ia menyeringitkan mata, dilihatnya sosok lelaki yang sudah duduk di sebelahnya. "Sepertinya dia orang baik," Lirihnya.
"Taxi," Panggilnya.
Driver itu hanya menglakson mengisyaratkan sudah ada penumpang.Berkali-kali ia memesan taxi online, namun entah mengapa sulit sekali, tidak ada tanggapan.
Lelaki itu berdiri, lalu mondar-mandir. Gadis itu semakin berkata-kata dalam hatinya, " Ya Tuhan, tolong saya," Pengaharapan yang luar biasa terhadap lelaki yang di hadapannya, "Siapa pun kamu, tolonglah saya!"
"Iya, Ayah. Ini Kahfi sudah di bandara, belum ada taxi, Yah. Kahfi harus menunggu."
"Hati-hati ya, Nak. Maaf Ayah ngak bisa jemput. Lagi ada dinas pagi."
"Iya, Yah. Tidak apa-apa." Lelaki itu menutup telepon dengan salam.
Setelah beberapa lamanya Kahfi baru menyadari seorang gadis yang mematung itu sedang memerhatikannya. Kahfi memandang sedih, "Kasihan sekali gadis itu," lirihnya.
"Mas, taxi Mas?" Driver itu berhenti tepat di hadapan Kahfi.
"Oh iya, Pak."
Gadis itu tidak tinggal diam, habis rasa malunya. Ketika Kahfi mengemasi barang, ia pun ikut berdiri mengemasi barangnya.
Kahfi menghenyakkan tubuhnya di kursi depan sejajar dengan driver. Sementara gadis itu menarik gagang pintu belakang, lalu ikut menghenyakkan tubuhnya.
"Istrinya, Mas?" Tanya driver.
"Maaf, bukan Pak."
"Lalu?"
"Mbak, mungkin mbak salah taxi Mbak," Kahfi memandang heran. Gadis itu hanya menunduk tak bersuara.
"Mbak, silakan keluar!" Ucap driver itu sopan.
Lagi lagi gadis itu diam membisu.
"Duh, gimana ya Pak? Bapak antar Mbak ini saja ya, Pak. Biar saya cari taxi lain."
"Gimana, Mbak? Mbak mau ke mana?"
Suasana hening, Kahfi bingung, driver pun semakin bingung.
"Ya udah, Bapak antar Mbak ini saja ya, Pak!" Perintah Kahfi, lalu ia mengemasi barang-barang.
"Jangan!" Potong gadis itu.
"Lalu, Mbak mau ke mana Mbak?" Tanya driver mulai kesal.
"Mbak, tujuannya ke mana?"
Gadis itu meluruskan pandangannya, lalu melihat Kahfi penuh arti, "Tolong saya. Tolong!" Lirihnya dalam hati.
"Pak, jalan saja Pak. Tidak apa-apa." Kahfi tidak tega dibuatnya, melihat wajah lebam gadis itu saja nyaris membuat hatinya terluka.
Di perjalanan Kahfi mengira-ngira, gadis ini mau ke mana? Apakah ia harus menurunkannya di jalan?
"Mbak, sebentar lagi saya sampai tujuan. Lalu bagaimana dengan Mbak?" Tanya Kahfi.
"Tolong saya, Mas!" Wajah gadis itu memancarkan sejuta kesedihan. Semakin kasihanlah Kahfi dibuatnya.
"Ya Allah," Kebingungan Kahfi membatin, tidak mungkin ia membawa gadis ini ke rumahnya. Apa kata orang tuanya nanti.
"Mas, rumah bercat putih ini?" Tanya driver.
"Iya, Pak," Driver itu memberhentikan mobil tepat di halaman rumah Kahfi. Keluarganya sudah menunggu.
"Alhamdulillah, Nak." Suara Ibunya dari kejauhan.
"Ayah, Ibu, Kak Kahfi pulang, hore!" Teriak Wafi gembira.
Kahfi keluar dari taxi, barang-barang diturunkan oleh driver. Kahfi memasang badan, ia berdiri penuh keraguan. Tiba-tiba driver itu mempersilakan gadis itu untuk turun. Kahfi semakin bingung harus memulai dari mana.
"Assalammualaikum" Kahfi menyalami Ayah, Ibu, dan tak lupa mengecup pipi adiknya, "Sungguh kakak rindu Wafi,"
"Siapa gadis itu, Kahfi?" Pertanyaan serentak dari Ayah dan Ibunya. Gadis itu hanya mematung.
"Siapa dia, Kak?" Tanya Wafi adiknya.
"Yah, Bu, bolehkan kita mempersilakan gadis itu ke dalam dulu? Percayalah Yah, Ibu, insyallah dia gadis baik-baik."
"Tapi, Kahfi," Sambung Ibunya.
Seketika gadis itu pingsan tak sadarkan diri.
Suasana rumah dr. Ibnu semakin memanas.
"Kahfi, bagaimana mungkin kita bisa menerimanya?" Ucap Ibunya.
"Astagfirullah, Nak. Bahkan kamu baru saja mengenalnya. Bagaimana kalau ia bukan wanita baik-baik?" Sambung dr. Ibnu, ayahnya.
"Ayah, Ibu, alangkah baiknya kita menunggu gadis itu sadar. Ayah, Ibu, percayalah kepada Kahfi."
____________________________________Bersambung dulu ya❤
Tulisan ini sewaktu-waktu akan direvisi. Bagi yang baru membaca silakan scroll ke atas agar tidak salah menafsirkan cerita.
Bagi yang selalu menantikan cerita ini, terima kasih banyak🙏
Btw, gadis itu siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Mate♡ [TAMAT]
General FictionAsslammualaikum Dear, follow dulu ya sebelum baca❤ "Janganlah kamu menganggap diri telah suci, Allahlah yang lebih tahu siapa saja yang sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu." (H.R. Muslim) M. Kahfi Albani menunda menyatakan perasaan...