Part 4

2.8K 246 4
                                    

Leave your vote and comments if you like this part :3

Happy reading!

***

Manhattan, New York City. 08.00 AM.

Sepanjang perjalanan pulang, yang dilakukan Alessa hanya bungkam. Perempuan itu terus membuang pandangan ke luar kaca mobil, tanpa mengindahkan Alex yang mengemudi dan sesekali meliriknya.

"Apa kita perlu mampir ke restoran dan sarapan dulu?" tawar Alex tiba-tiba. Ada perasaan bersalah yang melingkupi hatinya ketika melihat Alessa kembali murung. Selalu begini. Peristiwa itu sudah berlalu tiga tahun, namun---sepertinya---masih memberikan efek sama pada Alessa.

"Tidak perlu. Langsung antar saja aku pulang. Di depan kau cukup belok ke kiri, rumahku berada di sebelah kanan jalan," sahut Alessa tanpa menoleh. Ia mendengar pria di sampingnya mendesah panjang.

"Sekali lagi maaf. Ibuku mungkin masih belum bisa melupakan kejadian---"

"Tidak apa." Ia kembali menjawab cepat, bertepatan dengan mobil berhenti di depan rumah minimalis bercat krem. Halamannya pagi ini dipenuhi salju yang belum sempat dibersihkan. Alessa menarik napas dalam, kemudian memutar tubuh menghadap Alex. "Ibumu benar, ada baiknya kau mencoba berhubungan dengan Liora. Ia gadis baik, setidaknya begitu menurut keluargamu. Dan setelah ini, kumohon berhenti mencariku, oke? Terima kasih tumpangannya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu."

Tanpa menunggu balasan, Alessa turun dari mobil dan berlari kecil memasuki rumah. Usai menutup pintu dan menguncinya, ia meluruh di lantai. Air matanya mengalir tanpa bisa dikendalikan. Perempuan itu membenamkan kepala dalam lipatan tangan di atas lutut. Dadanya terasa amat nyeri.

Bayangan hinaan dan kecaman tiga tahun silam seperti berputar ulang. Alessa semakin meringkuk di lantai. Ibu tiri Alex---Dafne---juga Liora agaknya belum bisa memaafkan dan menerima keputusan Alessa tidak diproses hukum. Sedangkan ia di sini, terus dihantui trauma kecelakaan kakak Alex---Emily. Terapi yang selama ini ia jalani hanya mampu menghilangkan perasaan bersalah, tidak dengan bayangan bagaimana tubuh Emily berdarah-darah setelah menabrak badan mobil.

Teringat darah yang mengalir dari sela-sela kaki kakak Alex waktu itu, perut Alessa bergejolak hebat. Perempuan itu berlari pontang-panting menuju wastafel dan memuntahkan isi perutnya. Tubuh Alessa seketika lemas, kedua tangannya bertumpu di sekitaran wastafel sembari mengatur napas.

Di mobil merah yang masih terparkir di depan rumah Alessa, Alex masih mengamati pintu yang menelan Alessa beberapa menit lalu. Pikiran laki-laki itu berkecambuk. Perasaan ingin memiliki Alessa begitu kuat, namun ia tidak tega membuat perempuan itu sedih ketika ibunya berbicara tajam. Di sisi lain, ia juga tidak sanggup jika harus memaksa Dafne menerima keputusan sepihaknya. Dafne memang bukan ibu kandungnya, namun demi menghargai sang ayah, Alex terpaksa menerima kehadiran wanita yang telah dinikahi ayahnya lima tahun lalu itu.

Sejak Emily meninggal, ibunya itu menaruh benci kepada Alessa. Alasannya adalah Alessa berada di tempat kejadian saat Emily tertabrak mobil sehingga timbul asumsi jika Alessa memang penyebabnya. Dafne bahkan bersikeras membawa kasus tersebut ke jalur hukum yang langsung ditolak tegas Alex. CCTV dan beberapa saksi menyatakan Alessa tidak bersalah, mereka tidak bisa memenjarakan perempuan itu begitu saja.

Lama ia mengamati rumah tersebut, akhirnya Alex memilih pergi. Mungkin lain kali ia bisa mencoba peruntungan dengan strategi baru. Ia sudah memutuskan, tidak akan melepaskan Alessa. Sampai kapan pun.

CHASING Over the LIMITS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang