Part 38

2.1K 189 35
                                    

Leave your vote and comments if you like this part!

Happy reading!

*

*

*
Playlist: Strong -- One Direction

***

William Group's Skyscraper. Manhattan, New York City.

Alex meringis pelan ketika lututnya membentur lantai yang dingin. Begitu telinganya menangkap suara erangan rendah, ia refleks menoleh. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Javis sedang kepayahan menahan sakit di bahu kanannya. Darah segar terus merembes keluar, bahkan punggung Alex ikut terciprat. Ia menatap pemandangan di depannya dengan sorot mata kosong. Pikirannya sibuk mencerna hal yang baru saja terjadi. Hingga tiba-tiba ia merasakan tubuhnya ditarik dan didekap erat, barulah ia tersadar.

"Alexander ... kau baik-baik saja, bukan?"

Alex mengangguk pelan di dada Dafne. Anak dan ibu itu sama-sama tersentak ketika Javis memaki, sambil sesekali meringis.

"Sialan!" Javis memandang mereka berdua sengit. Sebelum memusatkan seluruh perhatian pada Dafne. Tatapan matanya tampak terluka. Kecewa. Namun, hal itu justru membuat Dafne berdecih sinis. "Apa yang baru saja kau lakukan, Dafne? Kau ... kau tega menembakku?" lirihnya, mengundang kekehan sumbang sang istri.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apakah kau sudah tidak waras sampai tega melukai, bahkan membunuh keturunanmu sendiri?"

Mata Javis seketika berubah menjadi tak terbaca. Dan Alex bersumpah sempat melihat seringai tipis pria paruh baya itu. Refleks, ia memegang lengan Dafne, bersiap menggenggam pistol.

"Tapi, aku punya alasan melakukannya, Sayang."

Mata Dafne memerah. Bibirnya bergetar lembut ketika mengeluarkan suara. "Kau memang pria sinting! Seharusnya aku curiga sejak kau dengan entengnya mengajakku menikah, di saat suamiku meninggal berselang satu minggu. Dan seharusnya aku sadar, jika keputusanmu berpura-pura baik, sementara aku terus kau suruh berbuat jahat di depan semua orang, tidak lain untuk menutupi sifat busukmu!" balasnya berseru di akhir kalimat.

Wanita itu melepas pelukan. Bangkit seraya menuding Javis. Wajahnya sudah merah padam. Pun dengan matanya kini tampak berkaca-kaca.

"I don't give a fuck! Sumber dari kesialan ini adalah Lucas Williams, salahkan saja mulut kurang ajarnya! Kalau saja ia tak mengatakan kalimat laknat itu, mungkin aku tidak akan melakukan hal ini. Semestinya aku bahagia sekarang. Bersamamu. Jika saja dulu kau tidak menolakku!" Javis ikut meninggikan suara. Napasnya terdengar memburu. Kulit wajahnya kian memucat karena darah tak berhenti keluar, walau tangan kosongnya tak berhenti menekan bekas tembakan. "Mari kita selesaikan semua kekacauan ini dan menikmati hidup bersama, Dafne ...."

Javis bangkit. Mendekati Dafne, membuat wanita itu mundur perlahan-lahan. Semakin lama, semakin terpojok. Sedetik kemudian, ia melonjak saat merasakan punggungnya menabrak dinding.

"Bantu aku membunuh keturunan Williams yang tersisa, Sayang. Setelahnya, hidup kita akan bahagia tanpa pengganggu," bisik pria itu tepat di depan wajah Dafne. Embusan napasnya sanggup membangkitkan bulu kuduk sang istri. "Lagi pula, tidak ada gunanya menyelamatkan keturunan pengacau. Mereka hanya akan merusak kebahagiaan kita bila dibiarkan hidup." Ia lantas terkekeh.

CHASING Over the LIMITS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang