5

11.7K 1.3K 85
                                    

Argenta terlambat...

Frans sudah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Para tim medis sudah melakukan segala cara untuk menolong pria itu, sayangnya Tuhan berkehendak lain.

Ketika mendapat kabar kematian Frans saat di dalam pesawat, diam-diam Argenta merasa lega. Ketegangangan yang tergambar jelas diwajahnya perlahan memudar.

Tidak, dia bukannya senang dengan kabar kematian Frans. Cinta yang ditolak tidak berarti membuatnya menjadi manusia jahat. Hanya saja dia bersyukur Joana masih hidup, walaupun dia tahu wanita yang sampai sekarang masih dicintainya itu, pasti terpukul dengan kematian suaminya.

Sesampainya di rumah sakit, Argenta melihat rumah sakit dipenuhi oleh kerumunan manusia. Puluhan wartawan bahkan berjejer di depan rumah sakit untuk mengabarkan keadaan terkini. Belum lagi para korban yang terus berdatangan, sehingga membuat rumah sakit tampak sesak.

Di antara kerumunan orang banyak, tak sengaja mata Argenta menangkap sosok pria yang selama ini dikenalnya sebagai sahabat Joana dan Frans. Dari kejauhan pria itu terlihat sibuk berbicara melalui telepon genggamnya.

Arman. Ya, kalau tidak salah, Argenta mengingat nama pria itu. Dulu, pernah Joana mengenalkannya ketika mereka bertemu di sebuah kafe.

Tak pikir panjang,  Argenta langsung berjalan berjalan menemui Arman. Ia butuh informasi tentang Frans dan Joana dari pria itu.

Arman yang lebih dulu sadar akan kehadiran Argenta, langsung memutuskan pembicaraannya dengan seseorang di seberang sana.

"Frans sudah meninggal," beritahu Arman dengan getir. Bahkan matanya masih terlihat memerah seperti habis menangis.

Argenta terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Satu-satunya yang dilakukannya hanya bisa menepuk bahu Arman dengan pelan, mencoba memberi pria itu kekuatan. Ia tahu dengan jelas bagaimana kedekatan Arman dengan Frans. Wajar kalau pria di depannya ini merasa terpukul.

"Baru satu hari aku meninggalkannya, tapi dia membalas dengan meninggalkanku selamanya." Arman mengusap wajahnya kasar, menutupi air matanya yang kembali terjatuh. Sedikitpun tak pernah terbersit di pikiran Arman, kalau Frans meninggalkannya secepat ini.

"Aku turut berduka." ujar Argenta pelan. Dari sekian banyak kata yang bisa disampaikan, hanya itu satu-satunya yang bisa keluar dari mulut Argenta. Hubungannya dengan Arman tidak dekat. Bahkan ini pertama kalinya mereka bicara.

Arman menatap Argenta dalam, mencari kesungguhan dari ucapannya. Ternyata tak ada didapatinya kebohongan di sepasang bola mata hitam itu.

Setelah melihat Arman sudah lebih tenang, Argenta segera menanyakan keadaan Joana. "Ana bagaimana?"

"Sampai sekarang dia masih belum terima akan kematian Frans," beritahu Arman sedih.

Argenta mengangguk paham. Saat ini ia dapat mengerti perasaan Joana. "Di mana dia sekarang?"

"Masih di dalam. Laura ada di situ menemani. Temuilah dia, siapa tahu kehadiranmu dapat menghiburnya."

Argenta menggelengkan kepalanya, menolak ucapan Arman barusan tentang Joana. "Tidak ada yang dapat menghiburnya saat ini. Kematian Frans adalah suatu kenyataan yang pasti sulit diterimannya."

Arman menundukkan kepalanya membenarkan ucapan Argenta. Omong kosong kalau Joana bisa terhibur dengan kehadiran mereka. Melihat reaksi Joana tadi, Arman bersyukur kalau Joana tidak sampai gila.

"Aku ingin melihatnya. Bolehkah aku mengetahui di mana ruangannya?"

Arman mengangukkan kepalanya."Aku akan mengantarkanmu."

Untukmu SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang