28

316 40 4
                                    

Sooyoung terduduk di lantai dengan punggung yang ia sandarkan pada sisi ranjang. Gadis itu memeluk lutut dan menenggelamkan wajah pada paha. Sudah dua hari ia memutuskan untuk tidak keluar kamar. Bahkan gadis itu menolak untuk makan. Ia hanya meminum air maupun susu yang dibawakan oleh pelayan dan tak menyentuh makanan yang telah disediakan, sedikitpun.

Bahkan sisa-sisa air mata di wajah pucatnya telah mengering. Seakan tak ada lagi buliran bening yang akan mengalir dari surai kecoklatan itu. Sudah dua hari ia habiskan untuk menangis, tanpa henti. Sejak saat itu pula ia tak bisa menghubungi sang pujaan hati. Ponsel miliknya telah Seo Joon ambil alih. Dengan niat agar kedua sejoli itu tak bisa saling bertukar kabar.

Baik Ji Won maupun Soo Hyun yang merupakan paman terdekatnya sudah mencoba untuk mengajak bicara gadis yang sebentar lagi akan berusia 23 tahun itu. Namun Sooyoung hanya diam tak bergeming, bibirnya seolah terkunci rapat. Sementara Seo Joon, pria paruh baya itu enggan untuk berbicara. Karena ia tau dengan jelas bahwa sosok dirinya lah yang saat ini paling tidak Sooyoung inginkan keberadaannya.

"Sooyoung, ayo makan nak. Hm? Kau sudah tidak makan beberapa hari. Apa kau tidak lapar?"

Bujuk Ji Won yang entah sudah keberapa kalinya hari ini. Bukannya menanggapi ucapan sang ibu, gadis itu justru semakin mengeratkan pegangan tangan pada lututnya. Enggan mendongak untuk sekedar menatap wajah ibunya.

"Sooyoung, ibu mohon jangan seperti ini. Makanlah walau hanya sesuap."

Sooyoung menggeleng pelan dengan wajah yang masih ia benamkan pada pahanya.

"Pergi.."

Ujar gadis itu nyaris tak terdengar. Sementara Ji Won, wanita paruh baya itu menatap Sooyoung dengan mata yang mulai berair kini. Ia tak sanggup melihat anak yang selalu tampak ceria itu kini tampak begitu muram dan rapuh.

"Sooyoung.."

"AKU BILANG PERGI!!"

Pekik Sooyoung melemparkan piring berisi makanan ke arah pintu. Menghasilkan suara yang cukup ramai hingga membuat Seo Joon yang berada di lantai bawah terkejut. Pria itu pun segera berlari menuju kamar Sooyoung.

"Sooyoung! Apa yang kau lakukan?!"

Bentak Seo Joon begitu melihat kondisi kamar anak tirinya yang tampak berantakan karena pecahan beling dan makanan yang berserakan. Sementara Sooyoung kembali menenggelamkan wajahnya dan tak mempedulikan Seo Joon yang baru saja mengeluarkan nada tingginya.

"Ibu mengerti. Maaf jika ibu mengganggumu. Bibi Han akan membawakan makanan yang baru dan membersihkan kamarmu."

Ujar Ji Won dengan suara bergetar, berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah. Ia berbalik dan menatap Seo Joon yang kini menatap sendu kearahnya. Wanita paruh baya itu pun tersenyum tipis dan menarik sang suami untuk keluar dari kamar.

"Ji Won, kau tidak apa-apa?"

"Sayang, jika seperti ini terus aku benar-benar bisa kehilangan anakku."

Ucap Ji Won yang tak mampu lagi menahan tangisnya. Pria itu pun menarik sang istri ke dalam pelukan. Menepuk pelan pundak Ji Won berusaha memberinya ketenangan.

"Semuanya akan segera membaik. Aku akan berbicara sekali lagi dengan Chanyeol."

Sahut Seo Joon dan Ji Won menanggapinya dengan anggukan pelan.

Dilain tempat, Chanyeol terduduk di tepi ranjang. Nyatanya keadaan pria jangkung itu tak jauh berbeda dengan Sooyoung. Yang ia lakukan sejak dua hari lalu hanya meminum minuman beralkohol dan menghisap beberapa puntung rokok. Saat ini dia menginap di rumah Jong In, teman dekatnya. Jong In adalah satu-satunya orang yang mengetahui hubungan mereka. Dan mungkin juga satu-satunya orang yang mendukung hubungan keduanya.

"Sampai kapan kau akan terus seperti ini?"

Tanya Jong In yang baru saja masuk ke dalam kamar. Chanyeol melirik pria itu sekilas sebelum akhirnya kembali memfokuskan penglihatannya pada ponsel. Tertera nama Sooyoung disana. Pria itu frustasi, ia tak bisa menghubungi gadis yang telah lama mengisi relung hatinya. Chanyeol meraih sekaleng bir di meja hendak meneguknya, namun Jong In merampas bir tersebut dan menjauhkannya dari jangkauan pria itu.

"Kembalikan."

"Sudah cukup Chanyeol. Kau akan terus seperti ini?"

"Jangan ikut campur."

"Kau hanya akan menghancurkan dirimu sendiri jika begini caranya. Bukankah kau harus membujuk ayahmu? Bukankah kau harus memperjuangkan cinta kalian? Itu yang kau janjikan pada Sooyoung bukan?"

Chanyeol terdiam mendengar perkataan Jong In. Ucapan sahabatnya itu sepenuhnya benar. Seharusnya ia memang melakukan itu, seharusnya memang begitu. Namun pria itu kembali bimbang, ia sudah terlalu lelah untuk berjuang. Setelah apa yang mereka lalui selama ini, Chanyeol telah sampai pada sebuah titik jenuh.

Tanpa terasa buliran bening mengalir begitu saja dari pelupuk matanya, tanpa permisi. Chanyeol menutupi wajah lusuhnya dengan kedua telapak tangan besarnya. Untuk pertama kali dalam 27 tahun hidupnya, pria itu menangis tersedu-sedu dan sesenggukan.

Jong In tertunduk dan turut merasakan kesedihan sang sahabat. Ia cukup tau bagaimana perjalanan cinta keduanya. Bagaimana sulitnya mereka menjalin cinta disaat keduanya terikat status sebagai saudara. Bagaimana keduanya mencoba bertahan dan menyembunyikan hubungan mereka.

"Dia pasti sudah menungguku Jong In. Sooyoung pasti sedang menunggu untuk aku jemput. Tapi mengapa aku tak memiliki nyali untuk melakukannya? Sekarang aku menjadi takut. Takut jika tindakan yang akan kami ambil dapat menyakiti hati kedua orang tua kami. Aku harus bagaimana?"

Tangis Chanyeol pecah begitu saja. Ia tak mempedulikan lagi jika dirinya tampak lemah kini. Pada dasarnya pria itu memang sangat lemah, ia tidak sekuat yang selama ini orang-orang pikirkan terhadapnya.

~~~

Not Fine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang