Manto Yang Miskin

420 35 3
                                    

Asap mengepul dari atap dapur. Manto menikmati sarapan yang sudah disiapkan oleh istrinya dan duduk di *lincak sebelah meja makan, sebuah tungku dengan api membara terdengar gemrutuk karena ledakan kecil kayu-kayu bakar yang termakan api.

(*lincak : amben kecil terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai tempat duduk.)

Panci besar berisi air putih baru saja dituang oleh Darmi. Cuaca panas membuat semua orang ingin minum lebih banyak dari biasanya, apalagi jika meladang pasti kebutuhan minum air putih sangat besar. Dalam sehari Darmi bisa dua kali merebus air minum.

Asap dapur menyusup ke sela-sela kayu menyelimuti dinding *gedek menuju tiang penopang atap. Rumah itu kelihatan miring dan gentingnya banyak yang berlubang dan pecah. Rumah reot milik Manto itu seolah tidak sanggup lagi menahan terpaan angin kencang dan hujan deras. 

(*gedek : dinding yang terbuat dari anyaman bambu.)

Setiap kali musim hujan keluarga Manto selalu mengungsi di rumah tetangganya karena takut rumah itu akan roboh jika ada angin ribut, sedangkan atapnya yang bolong-bolong membuat air hujan masuk dengan cepat ke dalam rumah, membasahi semua isinya. Namun, hanya itulah yang dimiliki Manto dan Darmi. Mereka tidak mampu memperbaiki rumah itu atau sekedar membuatnya nyaman. Bahkan untuk makan setiap hari saja mereka susah. 

Di rumah warisan orang tuanya ini terdapat serambi kecil di depan rumah dengan tiang bambu yang sudah rapuh. Bagian dalam rumah hanya ada satu kamar yang ditempati Agus anak laki-laki semata wayangnya. Sedangkan Manto dan Darmi tidur di ranjang bambu yang berada di ruang depan menyatu dengan ruang tamu. Ranjang itu hanya ditutup oleh kelambu berwarna hijau yang sudah dijahit dan ditambal di setiap sisinya  untuk melindungi tidurnya dari gigitan nyamuk.

Kehidupan keluarga Manto sangat miskin, dia bersekolah hanya sampai kelas dua sekolah dasar, kemiskinan itu sudah turun-temurun dari nenek moyangnya. Di desa Krangen yang subur itu, hidup Manto yang paling prihatin. Kadang dia sering kali mendapatkan bantuan dari tetangganya.

Untung saja Manto masih memiliki sepetak ladang peninggalan orang tuanya yang telah meninggal. Jika musim kemarau, ladang itu ditanami cabai atau jagung, kalau tiba musim hujan ditanami padi. Menurut cerita bapaknya, ladang itu sudah menjadi milik keluarganya sejak zaman penjajah.

Pesan bapaknya selalu diingatnya,
'Jangan menjual ladang ini walaupun kamu tidak bisa makan sekalipun!'

Maka, meskipun dalam keadaan apapun, Manto tidak pernah berpikir hendak menjual ladang itu. 

Sebagai anak tunggal, Manto tidak punya saudara untuk dimintai bantuan. Hanya keluarga dari istrinya saja yang ia punya. Menurut bapaknya, Kakeknya dulu adalah anak tunggal seperti dirinya, demikian juga kakek buyutnya. 

Di usianya yang ke dua puluh lima tahun simbok dan bapaknya meninggal mendadak tanpa mengalami sakit. Bapaknya meninggal di ladang, dan simboknya meninggal di rumah. Sejak saat itu, Manto tidak punya lagi orang tua maupun saudara. Untung saja dia baru saja menikah dengan Darmi dua bulan sebelum orang tuanya meninggal.

***

Sepiring nasi telah dihabiskan Manto, walaupun hanya makan seadanya perutnya juga sama-sama kenyang seperti memakan makanan lezat lainnya. Darmi membuatkan kopi hitam di sebuah cangkir kecil berwarna putih keabuan, cap bunga yang menempel di sisi cangkir sudah memudar, tinggal bagian atas yang masih tersisa.

"Kang, diminum itu kopinya nanti kalau dingin tidak enak," suruh Darmi kepada suaminya.

"Iya …" jawab Manto langsung mengambil cangkir tanpa pegangan itu, ia menuang kopinya di tatakan piring kecil, meniupnya dan meneguk pelan-pelan kopi hitam yang masih agak panas.

"Apa ceritamu kemarin itu benar, Kang?" tanya Darmi, lalu duduk di lincak dekat Manto.

"Aku cuma bermimpi, Mi. Tapi makhluk yang aku temui dalam mimpiku semalam itu adalah makhluk yang sama yang ditemui Najib. Mungkin saja ada sesuatu yang ingin makhluk itu sampaikan kepadaku, setelah aku pikir-pikir semalaman, dia sangat ingin bertemu lagi denganku, Mi." jelas Manto sambil menyeruput kopinya.

"Begini Kang, bukannya aku tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, tapi jangan sampai terlalu memusatkan perhatianmu ke sesuatu yang ghaib berlebihan. Mereka sudah punya alam sendiri, beda dengan kita." ucap Darmi.

"Makhluk itu bilang, kalau dia dikutuk oleh seseorang di masa lalu, dan sampai sekarang sudah dua ratus lima puluhan tahun wujudnya berubah menjadi genderuwo. Kalau memang benar apa perkataannya, pasti sampai sekarang makhluk itu belum mati, Mi. Dan dia menyebut namanya 'Keman'. Itu yang aku dengar dengan jelas sekali," terang Manto dengan serius.

"Ndak usah di pikir lagi Kang, di desa ini sudah sering ada orang yang cerita di datangi hantu atau melihat hantu, memang beginilah hidup di daerah terpencil seperti desa kita. Tapi, seumur-umur aku juga tidak pernah bertemu atau dijumpai oleh makhluk halus. Amit-amit jabang bayi," ujar Darmi sambil menepuk perut kanannya dua kali.

"Aku mau ke ladang mi, mau mengambil cangkulku yang tertinggal di sana. Mesin pompa airnya juga masih kubiarkan saja tidak kukunci. Bagaimana kalau ada yang mencuri? Mesin itu punya penduduk desa. Kalau sampai hilang dan disuruh mengganti, kemana aku akan mencari uangnya?" Keluh Manto lalu berdiri menuju ruang tamu.

"Mi, si Agus kemana?" tanya Manto begitu melihat pintu kamar Agus yang terbuka.

"Aku suruh dia nyari rumput untuk sapinya lek Sapari! Lumayan kalau dapat satu karung nanti dikasih duit buat bayar sekolahnya," jawab Darmi.

Tanpa menimpali perkataan Darmi, Manto menuju ruang tamu tempat ranjang tidurnya berada. Dia melihat Najib masih tidur pulas dengan suara ngoroknya yang semakin kencang.

Manto melepaskan sarung yang dari tadi di letakkan di punggungnya. Kemudian melangkah keluar rumahnya mengambil sepeda di serambi rumah lalu mengayuhnya  menuju ladang.

Sepanjang perjalanan Manto melamun, benar yang dikatakan istrinya. Tidak perlu memikirkan lagi peristiwa semalam. Pasti hampir semua penduduk desa ini pernah mengalami hal aneh seperti kemarin. Yang penting, dia tidak akan datang lagi ke ladangnya saat malam hari.

Saat Manto asik dengan lamunanya, sepedanya mendadak oleng karena mendadak mengerem setelah melihat  ada kerumunan orang-orang yang ada di belokan jalan setapak di depannya. Manto mempercepat kayuhan sepedanya untuk segera mengetahui apa yang terjadi.

"Kang …, kebetulan Kang Manto datang! Turun dulu Kang! Ini anakmu Agus …." suara orang-orang itu riuh dengan melambai-lambaikan tangannya.

"Ada apa? Jawab Manto turun segera dari sepedanya dan langsung menuju arah kerumunan itu.

"Agus digigit ular Kang! Sekarang dia pingsan!" Teriakan itu seperti menghentikan jantung Manto. Jiwanya seperti dicabut saat itu juga. Dan terasa hanya tinggal tulang-belulangnya yang berjalan menuju tubuh yang tergeletak di atas rumput dibawah pohon turi.

Manto berteriak memanggil anaknya, menggoncang-goncangkan tubuhnya, mencoba mengangkatnya dan berlari.

 
                               ****
 
Bersambung ...
Jangan lupa vote ⭐ dan baca ceritaku yg lain. 🙏

Kutukan Cammon VanderbergTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang