Sebuah Pengampunan

168 29 13
                                    

Happy reading 😘

Hening ...
Air mata menggenang di sudut netra biru makhluk berbulu di depan Manto yang menengadah menatap lukisan di dinding.

"Aku hanya berdiam di sini dan membayangkan senyumnya sepanjang hidupku yang keparat ini!" sergahnya menghentak bersamaan pukulan kepalan tangan yang mendarat di sebuah meja kayu.

"Apa yang terjadi dengan wanita itu?" tanya Manto.

Air mata itu pun meleleh, tubuh gempal genderuwo Keman yang dikenal turun temurun oleh anak cucu Subowo itu bergetar menahan gugu tangisnya. Tangannya membelai pipi sajuring lukisan wanita cantik yang  mengembangkan senyum menatap hidup ke sesiapa yang melihatnya.

"Nawang Sin. Dia telah menemaniku bersama sisa usianya di rumah ini."

"Bagaimana dengan anak-anakmu?" sela Manto.

Kembali Cammon duduk di kursinya, "aku meninggalkannya cukup lama dengan calon bayi diperutnya, kubiarkan dia merana dan putus asa menungguku hingga dia menikah dengan temanku sebelum memutuskan menghabiskan hidupnya denganku. Anakku menemukan seorang ayah yang tepat dan aku melihat cucu cicitku  hidup bahagia hingga sekarang. Dan tubuh sialan ini—tidak juga ikut mati bersama orang-orang yang kucintai. Aku melihat mereka menutup mata satu persatu, kesakitan ini adalah kutukan yang sebenarnya! Bahkan aku sama sekali tidak perduli lagi dengan wujudku, aku hanya ingin mati ndoro ... bisakah—aku minta ampun padamu? Maafkan perbuatanku karena membunuh keluargamu di masa lalu, supaya aku bisa menyusul orang-orang yang kucintai." Papar Cammon sedih.

Tepukan tangan kecil mendarat di punggung Cammon, tidak ada lagi ketakutan di mata Manto, yang ada hanya sorot mata iba. "Aku akan membantumu—melepas kutukan itu, tapi ... aku hanya akan membantu dan tidak mengharapkan imbalanmu. Mengingat semua yang terjadi padamu adalah karena ulah moyangku yang haus harta, semoga tindakanku ini bisa mengampuninya dan menghapus semua perjanjian yang ia buat dahulu. Aku bersedia—dan aku meminta maaf atas nama keluargaku terdahulu, supaya engkau kembali ke wujud aslimu, Keman." Cetus Manto tanpa ragu lagi dengan menatap kedua bola mata Cammon yang basah.

"Terima kasih, Ndoro. Rumah ini sebenarnya tidak pernah ada di alammu, tapi—di bawah tanah sana ada harta peninggalan Subowo. Itu hakmu! Itu milikmu sepenuhnya. Ambilah dan bakarlah semua perjanjian ini maka aku akan bebas."

"Lalu bagaimana dengan anakku, Agus? Apa dia akan selamat?"

"Dia telah pulang ke rumah, kau bisa melihatnya setelah pulang dari sini. Bawalah kotak kayu berisi perjanjian ini dan tidak boleh ada seorang pun yang tahu. Setelah Ndoro pulang buatlah ritual pada malam bulan  purnama nanti di sini, bakarlah kotak itu dan semua akan berakhir ...." tutur Cammon sambil menyerahkan perjanjian pesugihan itu di tangan Manto. "Aku percaya pada Ndoro, pulanglah!"

Setelah Manto menerima kotak kayu itu tubuhnya mendadak lemas, kepalanya seperti berputar. Kuku-kuku jarinya terasa dingin, matanya perlahan terpejam dan kakinya gatal seperti digigit serangga.

Krik ... krik ... krik ....

Manto membuka matanya, sekelilingnya gelap gulita, hanya suara jangkrik. Ia mengibas-ngibaskan kakinya yang digigiti semut. Buku-buku jari kakinya penuh tanah liat sedikit mengering, ia masih duduk di bawah pohon gempol yang rindang—di sudut sawahnya yang sepi.

'Apa yang terjadi—Keman?'
Manto mulai sadar dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali, kesadarannya mulai kembali ketika  sebuah kotak dipangkuannya terjatuh saat ia berdiri dan beranjak dari tempat ia duduk. Kaki kotornya bergetar dan kaku, sangat berat untuk melangkah. Ia membuka kancing bajunya lalu melepasnya dan membungkus kotak itu dengan baju lusuhnya yang sudah penuh lubang. Dengan sisa tenaganya ia berjalan menuju pohon turi tempat sepeda miliknya diletakkan.

Kutukan Cammon VanderbergTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang