Kematian Nyai Utari

226 24 2
                                    

Alunan suara tembang jawa terdengar sayup-sayup di telinga Cammon, setengah sadar dia menyaksikan pemandangan mengerikan di depannya, nyai Utari menggantung dengan lidah terjulur dan wajahnya dipenuhi darah segar. Suara tawa seorang wanita beserta teriakannya menggema!

Makhluk berbulu meloncat dan bergulat dengan hantu perempuan dan berakhir dengan tawa mengerikan diselingi tembang jawa yang menyayat hati. Beberapa penjaga mengangkat tubuh Cammon yang lemas tak berdaya dan membawanya ke kamar.

Mbok Sawitri mengucapkan beberapa mantra seperti berkomunikasi dengan alam gaib, lalu memerintahkan penjaga menurunkan jasad nyai Utari dan membungkusnya dengan jarik.

Teriakan para pelayan bersahutan. Tiga istri Subowo menghambur masuk dan menanyakan apa yang terjadi kepada mbok Sawitri.

Nyai Utari tewas! Setelah merayu Cammon dan membawanya ke kamar dengan memberikan teh bunga kecubung untuk memperdayanya. Dan sebelum dia beraksi dengan perilaku bejatnya, para genderuwo telah melaksanakan tugasnya dengan membunuh siapapun yang mengkhianati tuannya. Utari digantung di langit-langit kamarnya dengan tanpa ampun, bersama teriakan dan tawa hantu Sun yang bergentayangan di rumah itu.

Cammon yang masih merasakan pusing dikepalanya sudah mulai sadar, matanya terbuka dan menemukan Sin berada di sampingnya. Isak tangis Sin terdengar di telinga Cammon. Pukulan kecil mendarat di dadanya yang keras, membuatnya ingin segera terbangun dari tidurnya yang melelahkan.

"Sudah aku bilang Tuan, kau tak pernah mendengarku. Jika hantu Sun tidak segera datang kau juga akan mati ditangan para genderuwo itu!" ucap Sin, terisak.

"Aku ..., tidak apa-apa," jawab Cammon lemah.

"Kita harus hati-hati, Tuan! Jika ndoro Bowo pulang kau harus bersiap menghadapi kemungkinan buruk," bisik Sin ke telinga Cammon.

"Aku sudah tidak takut mati, seandainya nanti terpaksa aku harus melawan, akan aku lakukan," kata Cammon sambil menggerakkan badannya dan bangun.

"Tuan tak perlu duduk jika masih pusing, teh itu masih bekerja melemahkan syarafmu," beber Sin memegang tangan Cammon yang masih gemetar.

"Kau lihat betapa lemahnya aku, Sin. Hanya dengan secangkir teh aku hampir saja diperkosa istri Bowo," ucap Cammon dengan senyum nakalnya.

Sin yang dari tadi khawatir mendadak sedikit marah dan bersungut mendengar perkataan Cammon.

"Apa yang bisa dilakukannya dengan pria tidur! Perempuan itu juga tidak punya otak!"

"Siapa yang mengangkatku kemari? Apa aku memakai baju lengkap? Jangan-jangan perempuan itu sudah melakukan sesuatu! Apa yang harus aku lakukan, Sin?" tanya Cammon pura-pura panik.

"Kau mulai lagi, Tuan!" sungut Sin lalu memutar bola matanya.

"Sepertinya …, aku mendengar suara dan tawa Sun, benarkah dia datang saat genderuwo menggantung nyai Utari?"

"Hanya kau dan nyai Utari yang tahu, sayangnya dia sudah mati."

"Aku akan menemui hantu Sun, bagaimana caranya?"

"Sudahlah, Tuan. Aku yang akan mencari tahu tentang perjanjian genderuwo itu dengan mbok Sawitri, urusan tentang Subowo akan aku coba Meminta bantuannya. Kau harus bisa menghubungi teman-temanmu atau istrimu," jawab Sin lalu pamit pergi namun ditahan oleh Cammon.

"Aku membutuhkanmu, bisakah kau menemaniku di sini?"

"Tuan, sekarang bukan waktunya bercanda."

"Aku sama sekali tidak bercanda! Aku serius mengatakan, jika kita bisa keluar dari sini aku akan membawamu bersamaku."

"Baik, Tuan. Aku akan keluar sekarang! Tidur dan bermimpilah …." jawab Sin tergesa-gesa dan langsung beranjak dari sisi ranjang kemudian berjalan keluar kamar dan berhenti di balik pintu.

'Bagaimana ini? Tak bisa kusembunyikan lagi perasaan ini. Mungkinkah Cammon punya perasaan sama? Itu tidak mungkin! Jangan terlalu bermimpi, Sin'! gumam Sin lalu berjalan menuju dapur untuk menemui mbok Sawitri.

Wanita tua itu duduk termenung menyilangkan kaki keriputnya di kursi kayu di depan meja dapur sambil menyiangi setumpuk kembang turi yang berada di atas selembar daun pisang.

Sin terbayang sikap keras mbok Sawitri kepadanya. Mengikat dan menyekapnya di kamar sempit berhari-hari untuk memaksanya mengikuti ritual genderuwo bulan purnama yang lalu, rasanya aneh jika tiba-tiba dia mendukung pelariannya.

"Mbok, bagaimana dengan mayat Nyai Utari? Apakah pemakamannya menunggu ndoro Bowo?" tanya Sin sambil duduk di hadapan perempuan tua itu.

"Iya, mayatnya akan disimpan di peti mati bawah tanah," jawabnya tanpa bergeming sedikitpun sambil terus memetik.

"Mbok, bagaimana kalau saya pergi sekarang? Saat ndoro Bowo tidak ada? Ini kesempatanku, Mbok. Jìka dia datang akan lebih sulit." Sin berusaha mendekati wanita tua itu dan membantu memetik kembang turi.

"Apa kau mau mati seperti Utari? Dicekik dan digantung genderuwo itu? Jika begitu, pergilah sekarang!" jawab perempuan itu tanpa basa basi.

"Aku tidak tahan, Mbok! Membayangkan dinikahi ndoro Bowo yang sudah tua itu membuatku ingin segera menghabisi nyawanya bagaimanapun caranya."

"Kalau kau ingin tujuanmu itu tercapai kau harus sabar, Bowo tidak akan mati dengan pisau yang kau tancapkan. Tapi dia akan mati jika kau bakar dia hidup-hidup."

"Benarkah, mbok? Lalu perjanjian itu ...?"

"Kita harus mendapatkannya sebelum upacara ritual bulan purnama. Itulah kenapa aku menyuruhmu mau menikah dengannya sebelum ritual itu. Habisi dia sebelum purnama selanjutnya!" seru mbok Sawitri dengan berapi-api.

Sin yang tidak mengerti kenapa mbok Sawitri berubah ingin menyerang Subowo, semakin ingin tahu alasan apa yang mendasarinya balik menyerang pemilik genderuwo itu.

"Apa yang terjadi? Mbok adalah orang kepercayaan ndoro Subowo, mengapa sekarang ingin menghabisinya?"

"Aku sudah menunggu saat ini, aku telah mengharapkan kakakmu Sun untuk menghabisi laki-laki laknat itu setahun yang lalu, namun …, dia menyerah. Dia lari dan tenggelam di laut," ungkap mbok Sawitri mengagetkan Sin.

Mbok Sawitri mengungkap bahwa dulu rencana pembunuhan Subowo telah ia rencanakan saat Sun datang dan akan dijadikan tumbal penyerahan keperawanan, namun dia lari ke laut dan kembali sudah tidak bernyawa.

"Mbok tahu apa isi perjanjian itu?"

"Perjanjian itu tentang harta, kesenangan dan kekuasaan yang diberi genderuwo kepadanya dengan berbagai ritual. Dan semua itu diambil dari keberuntungan dan harta anak cucunya pada sembilan keturunanya. Aku adalah teman dan kerabat istri tertua Subowo yang sekarang pergi dari sini dan entah dimana mereka sekarang," terang mbok Sawitri sedih.

Mbok Sawitri adalah saksi perjalanan Subowo saat dia miskin dan hina, penderitaan telah menggelapkan matanya hingga datang di tempat pesugihan dan melakukan perjanjian setan. Setelah dia memelihara genderuwo hidupnya semakin makmur, hingga keinginannya semakin tinggi, ingin lebih kaya dan lebih berkuasa. Beberapa tumbal gadis-gadis cantik telah dipersembahkan, kemudian beberapa diantaranya dinikahi dan dijadikan gundik. 

Istri Subowo yang pertama menyerah dan pergi meninggalkannya, setelah beberapa waktu sempat menikmati harta dan kekayaan hasil pesugihan suaminya. Subowo semakin jauh terperosok ke lembah setan, dia rakus dan tamak dengan harta.

***

Jangan lupa vote,klik bintang di pojok kiri bawah, thanks 🙏

Kutukan Cammon VanderbergTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang