Harapan

259 22 2
                                    

'Disinilah kami, 
para prajurit yang hanya punya satu nyawa,
jika Tuhan sudah memilih
Kami lepas dari tubuh tak berarti!
Nyawa ini tidak punya harga, 
tak sebesar isi sebuah kantong sang jenderal
Dia hanya punya mulut
Untuk memperjuangkan nyawanya sendiri
Inilah yang tersisa, 
Jasad…
Terdiam dalam sepi
Menyisakan tangis 
Dan lukisan di dinding'

Cammon tertegun di gundukan tanah itu, inilah hal yang sangat menyakitkan selama dia bertugas, tidak pernah terpikir jika dia harus mengalami hal ini begitu cepat.

Peperangan di berbagai penjuru dunia telah dia dengar, namun disinilah dia berada, mungkin saja ini akhirnya. Rasanya lebih baik berakhir seperti mereka yang ada di gundukan itu, daripada menangis dan menyesal seperti yang dia rasakan sekarang.

Mata birunya berkaca-kaca, meski harapan itu hanya separuh dari nyawanya, akan dia coba. Prajurit pantang takut dengan peluru, pantang menyerah oleh rintangan atau apapun yang menghadang di depan matanya.

Dalam lamunannya, Cammon melihat wajah-wajah keluarga dan teman-temanya menjadi potret yang silih berganti hadir di pelupuk matanya.

"Tuan Cammon ...." sapa halus mengagetkan lamunan Cammon.

"Iya …." jawab Cammon mengusap mata sembabnya.

"Apakah anda sedang berdoa?"

"Benar, aku mendoakan mereka supaya tenang di surga."

Cammon berdiri dan mulai berjalan menuju pantai. "Aku ingin berjalan-jalan sebentar, Mantri."

"Silahkan, Tuan."

"Mantri, apakah kau sering melihat kapal melewati laut ini? Apa kau tahu dimana letak dermaga yang terdekat?"

"Saya …, tidak begitu tahu tentang dermaga. Namun, kapal besar sering saya lihat."

"Benarkah?"

"Iya, anak saya nelayan setiap hari mencari ikan. Kapal-kapal itu sepertinya milik kompeni."

"Apa kau dan anakmu bisa membaca? Tulisan apa yang ada di kapalnya?"

"Kami tidak bisa membaca, hanya menerka saja, Tuan. Karena simbolnya mirip dengan yang ada di baju-baju pasukan anda yang telah kami kubur."

Cammon menunduk dan menahan senyum, sedikit harapan dia dapatkan dari kata-kata pengawal yang mengantarkannya itu.

"Sumantri, apa benar tempat ini dikelilingi hutan dan lembah yang mengerikan?"

"Benar, tapi ada beberapa jalan yang bisa dilalui untuk keluar dari tempat ini, Tuan." jawab Sumantri dengan hati-hati.

"Bisakah kau menolongku? Aku ingin segera pergi dari sini. Aku berjanji tidak akan melaporkan apapun kepada kompeni tentang daerah ini. Aku hanya ingin segera pulang. Keluargaku menunggu."

"Tuan, itu sangat sulit! Saya juga sudah terjebak di sini dan tidak bisa kembali ke daerah asal saya di Jepara. Saya hanya bisa ke kota saat mengawasi utusan mengambil barang-barang, setelah itu kembali lagi ke sini. Dan sangat tidak mungkin bagi saya untuk lari, sementara semua keluarga sudah terlanjur ada di sini."

"Aku ingin menitipkan sesuatu kepadamu. Sebuah surat. Aku sangat berterimakasih jika kau bersedia mengirimkannya ke perwakilan kompeni. Atau …, jika kau menjumpai orang Belanda siapapun bisa kau berikan surat itu dan meminta tolong untuk dikirim melalui kantor pos."

Sumantri diam seperti orang bingung, namun perasaan ibanya kepada Cammon tidak bisa disembunyikannya.

"Tuan, sebenarnya banyak diantara kami yang sudah tidak tahan berada di sini. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak karena keselamatan kami terancam. Tapi saya akan usahakan membawa surat anda."

Kutukan Cammon VanderbergTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang