Manto membuka kedua matanya, dia bangun dan meloncat setinggi-tingginya. Mulutnya ingin berteriak tapi tidak bisa bersuara. Matanya melotot mengikuti gerakan kepalanya.
"Jib … Najib … Jib ...."
Mulut Manto mengeluarkan suara lirih, tapi sialnya tidak bisa menggerakkan badannya. Suara pelan tidak akan cukup memanggil adik iparnya mendengar suaranya. Dalam gelap ia mengutuk suasana menegangkan itu, badannya seolah terjebak dalam penjara mimpi, walaupun telah mengerahkan semua kekuatannya untuk berteriak. Namun, hanya suara lemah dari mulutnya yang hanya bisa didengarnya sendiri. Hingga ...
"Gus …, Gus … !!!"
Dari kegelapan, suara Najib terdengar panik dan semakin mendekat ke arah Manto.
"Gus, ayo pu-lang! Mesinnya ma-ti!" ajak Najib. Anehnya—suara anak itu seperti gemetar ketakutan. Tangan Najib terus menarik-narik kedua lengan Manto yang lemas.
Manto mengumpulkan semua kekuatannya, tenaganya seperti habis tak tersisa, ia berusaha bernapas teratur untuk berbicara, komat-kamit mulutnya melafalkan doa-doa.
"Gus, kamu tidak apa-apa? Ayo pulang sekarang! Naik sepedaku saja!" ucap Najib terengah, seperti baru saja lari maraton. Melihat kakak iparnya yang masih lemas, Najib memaksanya untuk segera berdiri, tanpa menunggu jawaban Manto, ia menarik tangan kakak iparnya itu kuat-kuat.
"Bangun, Gus!" Najib seperti menarik batu yang sangat berat, tubuh kakak iparnya itu kaku dan dingin.
Manto seperti bertemu dengan pahlawan dalam hidupnya, mendadak kekuatannya kembali, bahkan teriakannya kencang membelah kesunyian malam,"Najib …! Najib …, a–yo pu–lang!!!"
Bak rem blong, Manto dan Najib berlari kencang menuju sepeda yang menyandar di bawah pohon turi. Dengan cepat Najib menaiki dan mengayuh sepeda itu seperti kesetanan. Manto yang dibonceng di belakangnya meracau tanpa henti, mulutnya melantur mengeluarkan suara-suara aneh yang dia sendiri pun tidak tahu artinya.
Sesampainya di rumah Manto, Najib tidak berani pulang ke rumahnya yang hanya berjarak dua rumah dari tempat kakak iparnya itu. Darmi yang bingung melihat suami dan adiknya mulai menanyakan apa yang telah terjadi.
"Kang, kamu juga, jib! kenapa kalian berdua pucat pasi seperti dikejar setan? Sampai mandi saja ndak mau ke sumur belakang, malah mandi menghabiskan air gentong di dapur," tanya Darmi agak kesal.
Najib membungkus kepalanya dengan sarung, disusul kedua kakinya. "Hushh …! Jangan panggil-panggil nama setan, Yu. Tolong ambilkan aku air minum."
"Air minum ada di kendi itu, ambil saja sendiri!"
Manto masih terdiam, wajahnya pucat. Darmi mencoba membuatkan teh hangat supaya suaminya itu tenang.
"Sekarang jelaskan! Apa yang telah terjadi, Kang?"
Najib mendekati Darmi yang terus bertanya kepada Manto.
"Yu, aku tadi membantu mengairi sawah di ladang Gus Manto, biar cepat selesai karena kami mau pulang bareng. Gus Manto kusuruh istirahat, aku yang menunggui airnya. Tiba-tiba mesin mati. Aku datang ke mesin itu ternyata di sana ada makhluk seperti genderuwo berdiri di samping mesin itu, Yu!" terang Najib.
Darmi tidak langsung percaya dengan perkataan adiknya itu, karena Najib yang dia kenal suka bercanda dan suka membohonginya.
"Heleh …, kamu mau menakut-nakuti aku saja, Jib. Ndak usah cerita macam-macam. Ini malam jumat!" tukas Darmi mengecimus.
"Aku tidak bohong, Yu. Sumpah! A–ku kira tadi itu siapa yang berdiri di dekat mesin pompa air, tak panggil-panggil diam saja. Ternyata setelah kudekati benar-benar me–nge–ri–kan …! Badannya berbulu dan suaranya menggeram seperti em–ma–can. A–ku lari membangunkan kang Mm–manto, tapi dia juga ketakutan. Padahal dia baru bangun dari tidurnya di bawah pohon gempol itu, Yu." terang Najib dengan tergagap karena masih ada sisa-sisa ketakuan di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cammon Vanderberg
TerrorKapten VOC Cammon Vanderberg terdampar di sebuah tempat misterius di pesisir pulau jawa tahun 1770an. Kapal yang dinaikinya tenggelam dan tidak ada yang selamat selain dirinya. Tempatnya terdampar itu dihuni oleh para pemuja pesugihan genderuwo untu...