Rencana Lain

221 20 0
                                    

Sin masuk ke kamarnya dan mengecilkan nyala lampu minyak jarak yang ada di meja. Pintu kamarnya sengaja tidak dikunci karena dia sedang menunggu Cammon datang. Sesekali dia mengintip di balik pintu karena beberapa penjaga masih berkeliling.

Berkali-kali Sin duduk dan berdiri, dia resah menunggu Cammon yang belum juga datang menemuinya, entah kenapa perasaan anehnya ini semakin menjadi. Keinginan untuk terus bertemu dengan Cammon tidak bisa dia pendam dalam hati. Kali ini, banyak hal yang ingin dia sampaikan dan utarakan, termasuk rencana-rencananya dan tentu saja ..., perasaan sukanya bersama Cammon.

Malam semakin larut, Sin sudah lelah menunggu. Mungkin saja Cammon sudah lupa dan dia sedang tertidur sekarang, kemudian dia rebahkan badannya ke tempat tidurnya yang dingin.

Tiba-tiba Sin tertidur di pinggir pantai, merasakan sengatan sinar matahari yang hangat, tangannya memeluk Cammon yang sedang duduk di sampingnya. Sinar matahari itu semakin panas. Diujung laut, tampak sebuah kapal besar berlayar bagaikan lukisan hidup yang bersuara deburan ombak dan teriakan burung bangau. Pipi kirinya memerah semakin panas seperti sebuah cubitan yang semakin lama terasa panas dan nyeri.

"Sin ..., Sin ..., bangunlah ...." suara Cammon terdengar sayup-sayup di telinga Sin.

"Tuan Cammon ...," sin meraih tangan Cammon dan memegangnya erat.

"Sin! Bangun!" seru Cammon.

Mata Sin terbuka dan mendapati Cammon sudah berada di depannya sedang membangunkannya.

"Maaf Tuan, aku tertidur. Maaf ...!" jawab Sin gugup sambil buru-buru bangkit dari tempat tidurnya.

"Tidak apa-apa, sepertinya ..., kau sedang memimpikan seseorang. Aku yakin itu, karena kau tidur sambil tersenyum dan susah dibangunkan."

"Itu bukan salahku, kenapa kau lama sekali!"

"Oh ..., ternyata kau menungguku dengan tidak sabar ya? Baiklah, menurutmu apa yang akan kita lakukan sekarang?" canda pria besar itu sambil terus mendekat.

"Tuan! Sadarlah! Kita bukan di tempat yang aman, untuk bicara saja harus berbisik, dan yang akan kita bicarakan ini tentang rencana kita lari dari sini, bukan bersenang-senang!" bisik Sin agak kesal.

"Aku tahu ..., tapi aku ingin memanfaatkan waktu yang singkat ini setidaknya sedikit indah bersamamu." ungkap Cammon dengan menunduk dan tersenyum simpul namun tidak terlihat oleh gadis naif itu.

Sin mulai iba dan tersentuh, hatinya membenarkan situasi apapun yang bisa merenggut kebahagian yang hanya secuil itu.

"Tuan ..., kenapa kau ungkapkan kata-kata menyedihkan itu?" tanya Sin sedih dan dia tidak ragu lagi untuk memeluk Cammon.

"Maafkan aku, terus terang aku lebih suka kalau kau sering menggodaku daripada menunjukkan kesedihanmu," lanjut Sin.

"Katakan kenapa kau menangis tadi siang?"

Sin melepas pelukannya, dan lebih mengecilkan suaranya.

"Ndoro Bowo memanggilku. Dan aku akan segera menikah."

"Apa? Kau bilang akan menikah satu bulan lagi saat bulan purnama, dan kini kau bilang akan segera menikah. Bukankah menikah dengan genderuwo itu dilakukan setiap bulan purnama?" geram Cammon.

"Aku tidak menikah dengan genderuwo."

"Lalu?"

"Aku akan menikah dengan ndoro Bowo," ungkap Gadis itu sambil berjalan lemah menuju sisi ranjangnya.

"Dasar tua bangka!" geram Cammon mengepalkan kedua tangannya.

"Tolong aku, Tuan! Bawa aku pergi dari sini!" isak Sin.

Sorot mata Cammon menjadi tajam, rencana yang mulai dia susun akan berubah lagi dan dia harus membuat strategi yang melibatkan Sin. Bisa saja dia berecana lari sendiri tanpa Sin. Tapi hatinya sudah mulai tertambat dengan gadis itu. Melihat riwayat kisah Sin yang menyedihkan dan kedatangan hantu saudara kembarnya membuat suatu tugas yang secara gaib dia emban dan tidak bisa dia lepas dan tidak peduli.

"Apa yang bedebah itu katakan?"

"Ndoro Bowo akan mengadakan pesta pernikahan dahulu, dan ritual penyerahan tumbal akan tetap dilakukan saat bulan purnama?"

"Kenapa dia mau menikahimu dahulu? bukankah dulu kau pernah bercerita kalau setiap gadis akan menyerahkan keperawanannya kepada genderuwo setelah itu baru dinikahi Bowo?"

"Dia hanya akan menikahiku dalam suatu prosesi, aku tidak tahu rencananya, Tuan! Aghh ..., aku akan mati seperti Sun! Aku tidak akan mau disentuh manusia tua bangka itu. Akan kubunuh dia dengan tanganku! Aku bersumpah demi nyawa Sun."

"Terus terang aku merasa sangat aneh, kenapa sekarang kau seperti berbaikan dengan mbok Sawitri yang beberapa waktu lalu menyiksamu dan menyekapmu?"

Sin beranjak dari tempat duduknya di sisi ranjang. Dia menghampiri Cammon dan meraih tangannya lalu berbisik, "mbok Sawitri mendukungku lari dari tempat ini."

Cammon menatap Sin, ingin sekali dia meraih tubuh mungilnya itu. Tapi tidak sedikit beberapa pertimbangan menahan perasaannya.

"Baik, kalau begitu kita akan susun rencana supaya pernikahan itu ditunda dengan bantuan mbok Sawitri, atau ..., apa ada rencana yang kau susun dengan dia?"

"Dia bilang, pernikahan itu tidak bisa ditunda atau dibatalkan. Itu keputusan mutlak ndoro Bowo. Aku harus menurutinya, Tuan. Apa yang harus kulakukan?" jawab Sin semakin sedih.

"Kenapa kau harus menurutinya? Jika pernikahannya denganmu karena tujuan tumbal keperawanan yang harus diberikan kepada genderuwonya seharusnya dia tidak bisa memilikimu dahulu."

"Itu benar, Tuan. Dia pasti merencanakan sesuatu. Aku akan mendatangi istri-istri ndoro Bowo untuk mencari tahu."

"Menurutmu, Apa yang sangat berarti dari sebuah kesucian bagi mereka? Kenapa itu dijadikan suatu tumbal? Bagiku ..., itu hanya sebuah alasan yang tidak masuk akal!"

"Tuan, kau tidak lahir dan tumbuh di dunia kami. Orang-orang berkulit putih sepertimu mungkin lebih memakai akal tapi kami berbeda. Setiap perjalanan hidup selalu dihubungkan dengan perhitungan baik buruknya dan tentu saja hal mistis."

"Apa yang terjadi jika kau ..., tidak suci lagi? Atau ..., maaf bukan maksudku untuk..-"

"Apa anda bercanda lagi dengan suasana genting ini? Itu sangat canggung, Tuan." jawab Sin dengan wajah merahnya.

"Kau tahu? Kehidupanku di Belanda ..., sama sekali tidak ada ritual tentang keperawanan. Bahkan aku tidak pernah bertanya istriku suci atau tidak waktu aku nikahi, ini benar-benar konyol," ungkap Cammon tersenyum sinis.

"Jadi, kesucian sama sekali tidak berarti bagimu, Tuan? Berarti kau tidak mencintai istrimu, atau tidak peduli?" tanya Sin geram mendengar perkataan Cammon.

"Cinta tidak bisa diukur dari itu, Sin. Baiklah ..., kita memang hidup di dunia yang berbeda dan pemikiran yang tidak sama. Lagipula ..., aku tidak peduli dengan semua itu. Bahkan soal cinta!"

Sin terdiam, menatap aneh pria di depannya itu. Mungkin saja benar yang sering dia katakan, dia sama sekali tidak percaya cinta. Bahkan kasih sayangnya kepada istrinya dianggap sebagai suatu tanggung jawab semata.

"Bagaimana jika aku tetap menikah saja, Tuan? Aku akan membunuhnya jika dia berani menyentuhku! Lalu, kita akan lari dan minta bantuan mbok Sawitri, dia bisa mengendalikan para genderuwo itu dengan memberikan makanan kesukaanya."

"Aku masih belum yakin kamu bisa melakukannya."

"Aku tidak peduli! jiwa kemanusiaanku sudah tidak tersisa menghadapi tua bangka itu."

"Apa ada cara lain?"

"Mbok Sawitri bilang, ada suatu perjanjian genderuwo di suatu tempat tapi hanya ndoro Bowo saja yang tahu. Jika perjanjian itu jatuh ke tangan orang lain, para genderuwo akan berpaling darinya dan mengikuti semua perintah yang memegangnya perjanjian itu ..., kadang aku berpikir untuk mendekati Bowo dan mencari dimana perjanjian itu," jawab Sin penuh harap, dan mulai menemukan ide cara menghadapi kekuatan Subowo.


***

Kutukan Cammon VanderbergTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang