Panas matahari menyengat di desa Kranggen. Petani cabai berkelompok membungkuk dengan menggunakan caping bambu, tangan mereka bekerja cepat memetik buah pedas yang memerah dengan kedua tangan terbungkus sarung tangan kumal.
Terik matahari semakin membakar kulit, tanpa hembusan angin yang mendinginkan tubuh petani di tengah sawah. Peluh berjatuhan membasahi wajah dan punggungnya.
Diantara petak-petak ladang cabai desa itu, sepasang petani duduk di bawah rindangnya pohon gempol yang berdiri gagah di sudut ladang cabainya, sebagian buahnya memerah, tapi sebagian lagi banyak juga yang layu dan hampir mati.
Manto dan istrinya-Darmi, membuka bungkusan daun pisang yang berisi nasi sekepalan tangan dengan sedikit ikan asin di atasnya. Perut lapar Manto tidak bisa menunggu lebih lama lagi karena siang ini istrinya baru datang mengantarkan sarapan paginya yang terlambat. Meskipun sedang marah Manto tetap menanyakan kenapa Darmi terlambat mengantarkan sarapannya.
Seteguk air ia minum. Namun, rasa hausnya tidak juga menghilang. "Mi..., apa kamu lupa sudah jam berapa ini? Teganya kamu membiarkan suamimu kelaparan di tengah sawah," tanya Manto kemudian menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Maaf, Kang-aku baru saja dapat pinjaman beras dari yu Ginem, beras kita habis dan aku tidak punya uang sama sekali untuk membelinya," jawab Darmi sedih.
"Harusnya kamu rebus singkong di belakang rumah itu, Mi." sahut Manto sambil menelan kunyahannya. Serasa seret masuk kerongkongannya.
"Sudah kurebus, Kang." Darmi lalu meneguk air minumnya yang ia taruh pada botol bekas air mineral.
"Apa Agus juga sudah makan?"
"Agus sejak pagi tadi kusuruh dolan ke rumah temannya, supaya bisa makan disana."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku tidak lapar, sebentar lagi juga makan siang."
Manto menandaskan sesuap lagi nasi di ujung jemarinya, kini rasa perih di lambungnya tidak lagi ia rasakan.
"Cabai kita hari ini banyak yang mati, aku rasa kekurangan air, Mi. Nanti malam akan aku airi dengan pompa air."
"Kita ndak punya uang buat beli bensin, Kang." keluh Darmi.
"Bagaimana kalau hasil jual cabai hari ini sebagian akan kupakai untuk mengairi sawah? kalau tidak segera diairi, cabai kita bisa mati semua."
"Terserah, Kang. Yang penting jangan lupa beli beras. Persediaan beras sudah ndak ada lagi. Aku tidak mau terus berhutang di warung."
"Iya, kalau begitu-sekarang bantu aku menyelesaikan petik cabainya. Tinggal dua baris lagi sudah selesai."
Setelah sarapan, Manto dan istrinya bergegas menyelesaikan memetik cabai yang tinggal beberapa baris lagi. Siang yang terik itu tidak terasa melelahkan lagi bagi Manto, karena ada istri yang menemaninya di ladang. Setelah Darmi pulang ke rumah, Manto masih di sawah untuk mencabuti rumput-rumput yang mulai rimbun hampir menutupi pohon cabainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cammon Vanderberg
HorrorKapten VOC Cammon Vanderberg terdampar di sebuah tempat misterius di pesisir pulau jawa tahun 1770an. Kapal yang dinaikinya tenggelam dan tidak ada yang selamat selain dirinya. Tempatnya terdampar itu dihuni oleh para pemuja pesugihan genderuwo untu...