Rumah Subowo semakin mencekam, jasad nyai Utari telah diletakkan di peti bawah tanah yang letaknya di dekat hutan kamboja. Suasana hening semakin parah saat malam hari, tidak ada yang keluar dari kamarnya setelah matahari tenggelam. Ketakutan semakin membayang pada raut-raut wajah pelayan dan penjaga.
Nawang Sin membawa sebuah baki gerabah yang berisi beberapa makanan dan obat yang dibawanya menuju kamar Cammon. Saat memasuki kamar Cammon, Sin melihat laki-laki itu memegang senapan yang diarahkannya ke luar jendela. Sin hanya meletakkan baki itu di atas meja.
"Tuan, makanlah, dan minumlah obat ini supaya kau bisa secepatnya pulih. Pengaruh kecubung itu akan membuatmu sering berhalusinasi. Jika kau sering minum ramuan ini pengaruhnya akan cepat mengembalikan keadaanmu," sapa Sin memandang lekat punggung bidang Cammon.
Pria itu tidak membalas perkataan Sin, dia hanya sibuk dengan senapan lontak yang ada di tangannya. Sin terheran, darimana dia mendapatkan senapan itu? Selama bertemu dengan Cammon, baru kali ini Sin melihat senapan itu.
"Tuan Cammon...!" seru Sin lagi.
"Hem! Iya Sin, ada apa?" tanya Cammon melirik sebentar lalu kembali mengotak atik senapannya.
"Kau tidak mendengarku, Tuan? Darimana anda mendapatkan senapan itu?"
"Dari mbok Sawitri, dia mendapatkannya dari Sumantri saat mereka menemukan barang-barang di pantai bekas kapalku yang tenggelam. Dia menyimpannya dan ..., menyerahkan kepadaku kemarin. Senapan ini ..., pasti milik salah satu pasukanku," papar Cammon.
"Lalu senapanmu?"
"Aku punya pistol, setiap kapten memilikinya, tapi pistolku hilang!"
"Apa yang akan kau lakukan dengan senapan itu? Benarkah masih bisa digunakan? Apa kau akan menembak Subowo sebagai percobaan?" terka Sin sambil tersenyum.
"Hahah ..., kau bilang dia kebal senjata?" celetuk Cammon tertawa kecut.
"Benar, tapi mbok Sawitri mengatakan dia hanya bisa mati saat dibakar hidup-hidup. Mungkin ..., senapanmu bisa membantu," ucap Sin terus mencuri pandang ke arah Cammon, rambut pria Belanda itu semakin memanjang dan cambangnya mulai tumbuh subur di wajah putihnya. Tidak ada pemandangan yang lebih indah bagi Sin selain melihat pria itu berada di depan matanya.
"Kau benar, Sin. sepertinya senapan ini punya takdir yang berguna untuk masa depan kita ...," kata Cammon sambil tersenyum simpul.
"Aku yakin senapan itu punya sejarah panjang hingga bisa sampai ke sini. Bagaimana mbok Sawitri bisa membawanya?"
"Dia hanya menyelipkannya di kain jendela. Dia memang sangat luar biasa untuk seorang wanita tua. Dan aku ..., selalu mengaguminya karena kekuatan misterius yang dia punya."
"Aku setuju, tidak sembarang orang bisa seberani dia, kadang aku saja sering mengukur kemampuanku, bisakah menjadi sehebat dia saat aku tua nanti ...," lirih Sin menatap kosong luar jendela.
"Kau akan menjadi nenek Sin yang cantik di usia senjamu, aku yakin!" canda Cammon menatap nakal gadis berambut panjang itu.
"Aku harap, tapi itu kata-kata yang mengharukan, Kapten! Ehm ..., makanlah jika kau tak ingin makanan ini dingin!" suruh Sin sambil mengambilkan piring yang berisi nasi dan beberapa potong ayam panggang.
"Apa kau tidak menyukai makananmu, Tuan?" tanya Sin lagi kemudian duduk di kursi dekat jendela.
Cammon terlihat memandangi makanan di piring itu. "Aku ..., ingat anak laki-lakiku, aku ingat saat makan dia selalu rewel dan menangis. Aku, sangat merindukannya."
Cammon meletakkan kembali piring di meja dan memandang Sin.
"Aku sangat ingin kembali pulang," lanjutnya sambil menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangannya.
Sin berdiri lalu menghampiri Cammon dan berusaha menguatkannya. "Kita sedang berusaha lepas dari sini, Tuan Cammon. Istri dan anakmu akan mengerti!"
"Yang aku takutkan adalah, dia sudah menganggapku mati dan kembali ke Belanda saat ini."
"Apa yang bisa kita harapkan, Tuan? Aku selalu takut berharap, aku tak mau kecewa pada akhirnya, itu sangat sakit rasanya," keluh Sin lalu mendekati pria itu.
"Bolehkah aku jujur?"
Cammon menarik kedua tangan Sin.
"Apa itu?"
"Aku jujur kalau ingin membawamu bersamaku, aku tidak peduli reaksi istriku seperti apa, tapi mungkin saja akan buruk tapi ..., lebih buruk lagi jika aku melepaskanmu," ungkap Cammon menatap lekat gadis cantik yang sedang berdiri di depannya.
Mata Sin berkaca-kaca, perasaannya tak menentu. Dia bahagia, dia juga sedih dan parahnya lagi ungkapan Cammon ingin membawanya turut bersamanya itu bisa saja tidak pernah terjadi karena kondisi saat ini. Tapi Sin bahagia, dia melayang ..., saat ini! Yah waktu sekarang ini, dia harap berhenti dan tidak lagi berputar kedepan atau ke belakang. Hanya saat inilah waktu itu ada, dia tidak mau berhenti dan hilang besok.
"Aku tidak mau memikirkan masa depan, aku mau kau mengingat bahwa hari ini aku mengaku. Aku mencintaimu! Ini sudah membuatku cukup bahagia. Jika suatu saat kau tidak bersamaku, cukup kau ingat saja di suatu tempat yang menakutkan ada gadis bodoh yang mengungkapkan cinta," ucap Sin dengan bibir bergetar.
Cammon meraih tangan itu lebih dalam dan memeluk gadis itu tanpa tahu apa yang harus diperbuat lagi. Terlalu berat. Menggambarkan perasaan rumit itu, yang mestinya hanya sederhana saja ungkapan cinta dua orang yang sama mempunyai perasaan yang sama.
"Aku tidak akan menyerah! Selama hidupku aku tidak pernah memiliki perasaan seperti ini pada siapapun. Bahkan istriku yang selalu aku lihat tidur dengan Albert kekasihnya selama kami di Belanda, dan entah dengan siapa lagi dia melakukannya. Cinta ...? itu hanya omong kosong untuk kami! Tapi kini, aku percaya cinta saat menemukanmu."
Cammon mengungkapkan semua perasaanya kepada Sin, dia berpikir mungkin saja ini waktu yang tepat, karena entah berapa lama lagi waktu yang mereka miliki bersama. Ciuman, pelukan, hasrat ..., atau apapun yang bisa mereka lakukan. Tanpa ragu lagi menyatukan hati dan tubuh yang rindu sentuhan tertahan tiap jelajah mata dan angan yang menguasai pikiran masing-masing ketika berpandangan satu sama lain.
Malam yang seharusnya milik para genderuwo menikmati tumbal keperawanan gadis murni secantik dewi Nawang Sin telah berakhir.
Tumbal kesucian itu diberikannya untuk Cammon yang sedemikian larut dalam asmara yang sudah membuncah. Dia menikmati setiap jengkal halus yang masih murni belum pernah tersentuh.
Tidak ada yang yang bisa menghalanginya bahkan kekuatan Subowo yang tidak sekuat cinta yang dimiliki dua orang yang sedang jatuh cinta.
"Kau milikku, tidak ada siapapun yang bisa melepasmu dari pelukanku!" desah Cammon saat semua rasa indahnya terungkapkan sempurna.
Suara gemretak gigi Sin yang menahan kengiluan dan perih. Berakhir lenguhan panjang berulang sampai ujung malam.
Rintihan itu tersembunyi direlung hati, desahan panjang hanya ada dalam pikiran. Hanya napas yang saling berpacu membias terlindung oleh suara jangkrik yang lebih merajai kesunyian.
♡♡♡
Pagi yang cerah tidak membuat suasana mencekam rumah Subowo menjadi ceria. Hanya sebuah kamar yang dipenuhi bunga-bunga cinta, hanya penghuni kamar itu yang bahagia dengan dunianya. Merekalah pemiliknya.
Cammon dan Sin membuka mata di ruang yang sama pagi ini. Entah besok atau nanti, persetan dengan besok! Yang penting hari ini!
Hari esok itu tidak boleh mereka pikirkan saat ini. Apakah itu sedih mungkin juga bahagia, persetan dengan itu sekali lagi! yang penting sekarang mereka bersama.
Senapan lontak itu masih menggantung di sana, biar hanya dia saja yang tahu. Dia akan tetap diam karena tidak punya mata dan mulut. Cammon tersenyum dan merasa nyaman melihat gadis bodoh itu masih terpejam di sisinya. Hari ini dia akan bertekat, siap dengan hal yang terburuk dan membiarkan apapun berjalan begitu saja dengan pasrah.
●●●
Aku menulis ini sambil mendengar lagu 'death bed' by powfu Beabadoobee dan berkaca - kaca 😢
D*mn! Siapa yang potong bawang di sekitar sini! 😭🤧
Spoiler : cerita sedih melandahhjangan lupa vote😊
love u.😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cammon Vanderberg
HorrorKapten VOC Cammon Vanderberg terdampar di sebuah tempat misterius di pesisir pulau jawa tahun 1770an. Kapal yang dinaikinya tenggelam dan tidak ada yang selamat selain dirinya. Tempatnya terdampar itu dihuni oleh para pemuja pesugihan genderuwo untu...