Cammon berhenti sebentar di tepi pantai tempat dia dan pasukannya ditemukan, cuaca sangat cerah di sore menjelang malam itu, ombak sangat landai, sama sekali tidak ada ombak yang membahayakan seperti yang dialaminya saat kapal itu tenggelam. Laut jawa selalu tenang, tidak berombak besar seperti laut selatan. Namun kapal Rosewijk dengan persenjataan lengkap lenyap dengan sangat mudah seperti tanpa perlawanan.
Diantara seratus delapan puluh pasukan dan beberapa awak kapal serta para wanita yang ikut di dalamnya hanya Cammon yang selamat, dia yakin ada beberapa pasukan yang menjadi penyintas di daerah terpencil yang mungkin saja sedang mencari jalan pulang.
Napas Cammon berat seperti tertahan di dadanya. Di tempat yang sama sekali tidak dia kenal itu tubuhnya terdampar. Bagaimana akan kembali ke Batavia dengan keadaan tanpa apa-apa dan tidak punya siapa-siapa. Rambut hitamnya mulai memanjang, kulitnya yang putih kemerahan sekarang terbungkus pakaian pribumi yang sederhana namun tidak melunturkan sisi kegagahan dan ketampanannya. Setiap dia berada di rumah Subowo para abdi dan bahkan istri-istrinya selalu mencuri-curi pandang melihatnya.
Cammon berjalan masuk ke rumah tamu pesanggrahan Subowo yang megah, di rumah utama yang paling besar itu Subowo tinggal bersama empat istrinya.
Rumah Subowo yang terdiri dari sepuluh rumah dengan bermacam-macam bentuk dan fungsinya masing-masing dirawat dan dibersihkan oleh beberapa pelayannya. Suasana ramai di rumah itu menunjukkan betapa kaya dan berkuasanyasa sang pemilik rumah.
Malam itu, Cammon akan diundang Subowo untuk makan malam. Dia akan memanfaatkan momen itu menyampaikan maksudnya ingin segera kembali ke Batavia dan segera melaporkan bahwa kapalnya tenggelam kepada petinggi VOC.
Cammon melihat baju kaptennya tergantung di dinding kamarnya, ingin sekali dia memakainya dan segera naik kuda sekencang-kencangnya menuju rumah yang dirindukannya. Menceritakan semua yang telah terjadi kepada Sarah sambil menggodanya hingga dia marah dan memukulnya.
Entah kenapa omelan istrinya itu sekarang dia rindukan teramat sangat. Hal-hal kecil yang biasa saja membuatnya rindu dengan istrinya itu lebih dari yang dia kira. Untuk saat ini yang dia rasakan adalah, tidak ada yang lebih nyaman dari rumah yang dia miliki selain rumah yang ditinggali keluarganya.
Meja makan panjang dan besar berisi hidangan berbagai macam masakan tertata rapi menggugah selera. Kursi-kursi kayu jati berukir, berbaris, diisi oleh anak dan istri Subowo yang berpakaian seperti keluarga keraton. Sapaan ramah menyambut kedatangan Cammon yang memakai pakaian bangsawan jawa yang telah diberikan oleh pelayan.
Aura terpancar dari pesona seorang pria tampan berbadan tegap yang sangat tinggi itu membuka setiap mata dan mulut para wanita Subowo. Mata biru Cammon menjadi daya tarik utama setiap orang yang melihatnya, seperti mata yang sangat teduh dan penuh kasih.
"Silahkan duduk, Tuan Cammon ...," sapa Subowo.
Cammon duduk di kursi yang telah disediakan khusus untuknya, dan setiap mata melirik ke arahnya.
"Terimakasih Tuan Subowo, saya sangat senang dengan undangan anda."
"Bagaimana dengan keadaanmu, Tuan? Apakah sudah pulih seperti sedia kala?"
"Berkat usaha anda merawat saya, sekarang saya pulih kembali, Tuan. Dan saya bermaksud untuk menyampaikan bahwa, saya ingin kembali ke Batavia secepatnya. Kiranya Tuan Subowo bisa membantu saya untuk keberangkatan saya ke dermaga menuju Batavia karena saya tidak tahu arah jalan ke sana. Kebaikan Tuan akan saya balas nanti sebagai dedikasi terbesar untuk kompeni," terang Cammon sambil berdiri kemudian membungkuk sebentar dengan tangan di dadanya sebagai ungkapan penghormatan dan terima kasihnya.
"Itu akan kita bicarakan nanti, Tuan Cammon. Sekarang santaplah makanan lezat ini dulu. Nikmatilah jamuan kami ini sebagai suka cita kami menyambut kapten kompeni yang tampan," sambut Subowo tersenyum.
"Terima kasih ..., anda terlalu memuji Tuan, saya tidak sebaik itu," jawab Cammon tersenyum simpul.
Sambil makan, Cammon diperkenalkan dengan para istri dan anaknya. Empat istri dengan tiga belas anak yang membuat Cammon menggelengkan kepalanya dan takjub.
Setelah selesai makan malam, Cammon berjalan-jalan menyusuri taman rumah yang besar itu. Ada banyak bangunan besar dan kecil berjejer di sekitar rumah besar Subowo. Tidak heran jika komplek rumah yang berada di tengah hutan itu banyak karena dihuni oleh empat istri, anak-anak Subowo dan para abdi. Mbok Sawitri menceritakan bahwa tidak hanya disitu rumah-rumah milik Subowo, namun ada yang sedikit ke tengah hutan yang dihuni oleh para gundik dan sebagai tempat pemujaan.
Cammon semakin jauh berjalan-jalan menyusuri setiap jalan di rumah Subowo, matanya melihat keanehan di rumah yang terpencil jauh dari rumah- rumah yang lain, tampak dari kejauhan sebuah bangunan tidak begitu besar dengan lampu minyak menyala di dalamnya.
Cammon mendekat karena ada sekelebat bayangan masuk ke sana. Dengan hati-hati, Cammon mulai menyelidiki apa yang terjadi di sana. Semakin mendekat, Cammon mencium bau dupa yang sangat menyengat. Hati kecilnya mengatakan, mungkin itu adalah tempat pemujaan atau ibadah keluarga Subowo. Namun, ada suara teriakan di sana. Suara itu semakin jelas di telinga Cammon seperti ada yang disiksa di dalam sana.
Perlahan dengan mengendap-endap Cammon menempelkan telingannya ke dinding kayu rumah itu. Suara rintihan seorang wanita yang terdengar menyayat hati.
"Lepaskan aku, ampun ..., aku takut! Tolong ..., aku mau pulang!" teriak wanita yang ada di rumah itu.
Deru napas Cammon yang mulai tidak terkendali karena penasarannya terhadap isi rumah itu ia tahan perlahan supaya tidak ada yang tahu kalau dia menyelinap di balik sisi gelap dinding kayu.
"Jika aku dipaksa, aku akan mati ...! Aku akan membunuh diriku sendiri! Dan kalian akan tahu akibatnya," teriak wanita itu sekali lagi. Kemudian Cammon mengintip di sela-sela kayu yang sedikit berlubang, tampak di dalam rumah itu terlihat remang-remang seorang gadis sedang diikat di ranjangnya dan dua orang pengawal Subowo sedang berada di depannya. Di samping gadis itu ada Sawitri, seorang pelayan tua yang kemarin pernah merawat Cammon.
"Cah ayu ..., manut ya, ini tidak akan sakit! Jika kamu manut hidupmu akan senang. Keluargamu akan makmur, dan kamu akan menjadi istri ndoro Bowo yang sangat disayangi, Nduk ...." suara Sawitri terdengar sayup-sayup.
Cammon semakin penasaran, apa yang telah mereka lakukan kepada gadis itu, gelagat Sawitri sangat aneh, karena ada dupa yang diletakkan tepat di depan gadis itu.
"Jika kamu tidak suka rela memberikan keperawananmu di bulan purnama, itu semua akan ditunda sampai bulan purnama berikutnya, kau akan lebih menderita karena tidak hanya satu genderuwo yang akan melakukannya. Pikirkan hal itu, Sin!" sambung Sawitri sambil meneriakkan kata-kata menyeramkan itu di telinganya.
'Genderuwo...?' Apa yang mereka bicarakan?' gumam Cammon.
"Sepertinya, hari ini kamu perlu merenungkan kembali, Sin. Keluargamu akan kelaparan! Kakakmu Sun sudah pergi dan dia tidak peduli lagi, yang tersisa hanya kamu! Jika kamu tidak segera mengambil keputusan nasib keluargamu akan hancur. Adik-adikmu akan mati!"
"Tidak ...! Kenapa kalian memilihku? Kalian bisa mencari orang lain, tolong lepaskan aku!" teriak Sin berujung tamparan tangan Sawitri.
Plakkk!! plakkk!!
Cammon terkejut, wanita tua yang telah merawatnya itu ternyata tega menyakiti seorang gadis yang tidak berdaya.
"Kamu lahir di hari yang sangat diinginkan para peliharaan ndoro Bowo, Nduk cah ayu! Kamu jangan bodoh seperti kakakmu yang bunuh diri sebelum upacara penyerahan keperawanannya. Aku harap kamu akan menurut supaya keluargamu aman, Nduk!" Ungkap Sawitri yang menyebabkan Cammon tersentak dan menahan napas di balik pintu.
***hai hai...makin penasaran kan dg ceritanya 😁😁
sstt...jangan lupa like,vomentnya ya😘Thanks 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cammon Vanderberg
TerrorKapten VOC Cammon Vanderberg terdampar di sebuah tempat misterius di pesisir pulau jawa tahun 1770an. Kapal yang dinaikinya tenggelam dan tidak ada yang selamat selain dirinya. Tempatnya terdampar itu dihuni oleh para pemuja pesugihan genderuwo untu...