Tenggelamnya Kapal Rosewijk

283 26 10
                                    

Riuh awak kapal dan para pasukan yang saling berteriak memanggil dan memerintah seperti kawanan perang yang siap menuju ke medan tempur. Petir menyambar tiang kapal dan membakar layar hingga merembet ke talinya. 

Cammon berteriak memanggil Pietter Jacobsz yang belum juga keluar dari dalam kabin. Ada gulungan ombak sangat besar berada di ujung mata teleskop Cammon. Sesuatu yang besar dan sangat berbahaya akan dia alami. Teriakan parau para awak menandakan bahwa mereka masih dipengaruhi minuman keras yang belum lama ini mereka tenggak. Petir kembali menggelegar di atas kapal yang semakin terombang ambing oleh badai yang semakin menjadi.

"Gelombang besar ...!!"

"Kencangkan tali …!"

"Pasang layar …!"

Teriak Cammon tanpa henti! Laut jawa yang terkenal tenang dan sangat jarang ada ombak besar, saat itu gelombangnya melebihi ombak di samudera Hindia. Seratus delapan puluh pasukan VOC hilang kendali di atas kapal Rosewijk yang baru lima hari mereka tumpangi. 

Cammon susah payah memasuki kabin untuk mencari Jacobsz diiringi dengan deburan ombak dahsyat yang menghancurkan sebagian besar persenjataan juga barang-barang bawaan.

Mata Cammon menelisik ke beberapa ranjang yang porak poranda. Wajah-wajah ketakutan wanita pemuas nafsu pasukannya itu mulai merintih, memohon untuk diselamatkan. Teriak Cammon berhenti. Melihat sesosok laki-laki setengah baya terkulai lemas di karpet merah kabin kapal itu. 

"Jacobsz…!"

Darah mengalir di pipi kiri Pietter Jacobsz, bulu-bulu aneh berada di sekitar lehernya. Terlihat bayangan hitam menyelinap di balik pintu kabin yang gelap. Lalu gelombang sangat besar memakan kapal Rosewijk ke dalam mulutnya, Cammon merasa berada di perut sebuah makhluk yang akan mengunyah kapal yang dia tumapangi itu bulat-bulat. Dengan cepat air menerjang tubuhnya yang tidak berdaya.

Bayangan wajah istrinya berada tepat di pelupuk matanya, kesadarannya kembali dia dapatkan dan tangannya meraih sebuah dinding kayu yang membawanya kembali ke permukaan.

Napas Cammon hampir terputus. Terjangan badai dan gelombang semakin menjadi. Kedua tangannya sudah ditancapkannya ke pinggir sekoci yang tidak sengaja dia raih. Hanya kepalanya yang seolah berada di tengah laut seperti sebuah pusaran yang ingin memakan setengah tubuhnya.

Cammmon tidak melihat lagi kapal besar Rosewijk yang dia tumpangi, di laut yang sunyi itu hanya dia sendiri yang masih berteriak tanpa henti. Hingga suaranya parau, semakin mengecil dan hilang ditelan suara deburan ombak.

***

Mata Cammon perlahan terbuka, sakit di sekujur tubuhnya membuatnya mengerang. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya sangat berat.

"Kamu sudah bangun?" tanya seseorang di samping Cammon.

"Eghh …, dimana aku?" Cammon menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang akan memberikannya minum.

"Tenanglah, kamu sudah terbaring tiga hari di sini, minum dulu airnya supaya badanmu segar," jawab perempuan tua itu.

"Di–dimana aku? Siapa anda?"

"Tuan berada di rumah ndoro Bowo, saya mbok Sawitri, pelayannya. Tuan ditemukan oleh para penjaga saat sedang di pantai, banyak ditemukan mayat-mayat orang Belanda di sana, dan hanya Tuan yang masih hidup," jelas wanita tua itu lagi.

Cammon melotot dan terkejut, kapalnya tenggelam, anak buah serta beberapa awak telah mati.

"Aku harus ke sana, aku ingin melihat mereka, tolong antarkan aku ke sana!"

"Maaf Tuan, semua mayat sudah dikubur di satu lubang dekat pantai. Kalau Tuan sudah sembuh nanti akan saya antar ke sana," jawab mbok Sawitri.

"Aghh … aghh …, aku yakin masih ada yang tersisa. Tolong sampaikan Tuanmu bahwa aku ingin melihat pasukanku."

"Ndoro Bowo sedang dalam perjalanan ke sini, Tuan. Saya sudah menyuruh orang untuk memberitahunya setelah anda siuman," jelas mbok Sawitri lalu memapah tubuh lemah Cammon duduk di kursi sebelah ranjang.

Pintu dibuka dari luar, beberapa orang masuk ke ruangan yang Cammon tempati. Diantara orang-orang itu ada pria setengah baya memakai pakaian bagus dan membawa cerutu masuk lebih dulu.

"Selamat datang di rumah saya, Tuan …. Saya Subowo, syukurlah anda selamat dan sekarang telah bangun, saya harap anda memulihkan kesehatan lebih cepat," sapa laki - laki itu dengan senyum di mulutnya.

"Anda tidak ingin tahu siapa saya? Kenapa sikap anda baik kepada kompeni?" tanya Cammon dengan lemah.

Subowo mendekat dan duduk di kursi sebelah jendela ruangan itu.

"Begini Meneer, di dermaga yang jaraknya beberapa malam dari tempat ini sering ada kapal kompeni yang datang untuk mengambil barang dagangan. Mereka menukar perak dan tembaga dengan hasil tanah kami. Saya tahu, kapal anda tenggelam di laut dan saya berharap bisa membantu anda untuk kembali ke pasukan VOC," jelas Subowo.

"Untuk sekarang, beristirahatlah …, pulihkan luka-lukamu. Setelah itu saya akan bawa anda ke dermaga," lanjut perkataan Subowo.

Laki-laki itu kemudian pamit pergi bersama pengikutnya. Ada perasaan aneh menyelimuti hati Cammon, seperti ada sesuatu di balik senyum sapa Subowo yang terlihat ramah itu.

***

Seminggu sudah Cammon dirawat oleh para pembantu Subowo, kini keadaannya telah pulih kembali, sudah tidak sabar rasanya dia ingin melihat kuburan para pasukannya yang berada di dekat pantai. Apalagi keinginanya untuk segera pulang ke rumahnya agar bertemu dengan istri dan anaknya.

Cammon menunduk sedih di gundukan besar yang berada di bawah pohon bambu, di sinilah para pasukannya dikuburkan secara massal. Air matanya menetes, dia teringat temannya Jan dan Tuan Jacobsz yang mungkin saja berada di bawah tanah itu sedang berbaring. Lalu …, dia juga teringat dengan satu nama sebelum peristiwa naas itu terjadi. 

'Sun …, Nawang Sun!' gumamnya dalam hati.

'Entah dimana gadis itu, apakah dia juga berbaring di dalam sana?'

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Cammon, yang sudah pasti dia ingat adalah kematian Jacobsz. Saat kapal Rosewijk belum tenggelam, dia melihat ada sesosok bayangan baru saja membunuh Jacobsz. Bayangan itu pergi meninggalkan jejak darah di mulut Jacobsz dan jejak kaki yang sangat besar berlumuran darah berada tepat di sebelah tubuhnya yang sudah tidak bernyawa. 

'Jika memang benar bayangan itu membunuh Jacobsz, berarti dia juga menjadi korban tenggelamnya kapal Rosewijk ini. Lalu apa tujuannya membunuh Jacobsz?'

Bulu kuduk Cammon berdiri, suasana kuburan massal itu mendadak seperti berkabut, sebuah panggilan lirih dari belakang mengaketkannya.

"Tuan …, Tuan Cammon …."

"Si–siapa?" jawab Cammon penasaran sambil menoleh ke belakang.

"Saya Sumantri Tuan, ayo segera kembali, hari semakin sore …," jawab Sumantri, pengikut Subowo yang mengantarkan Cammon.

"Baiklah …, aku ingin melihat beberapa barang yang mereka kenakan atau yang tercecer di pantai, siapa tahu aku bisa mengenal mereka dan akan memberitahukan ini kepada keluarganya di Batavia."

"Tidak ada , Tuan. Semua pakaian sudah dikubur bersama dengan jasadnya. Barang-barang yang tergeletak di pantai sudah diambil oleh beberapa penduduk. Dan kapal yang Tuan maksudkan itu tenggelam jauh di sana, nelayan juga tidak ada yang tahu kalau saat itu ada badai," terang Sumantri.

"Kami tenggelam karena badai yang sangat kuat, belum pernah selama aku berlayar menghadapi badai yang sangat mengerikan seperti beberapa hari lalu saat kapalku tenggelam." 

"Itu tidak mungkin, Tuan. Di laut kami ini tidak pernah ada badai yang Tuan maksud. Paling parah ada ombak besar tapi tidak pernah sampai menenggelamkan perahu-perahu nelayan. Di hari anda tenggelam, anak saya juga sedang mencari ikan, namun tidak ada badai sama sekali. Dia malah mendapatkan ikan yang sangat banyak," ungkap Sumantri.

Cammon terkejut mendengar cerita Sumantri, matanya terbelalak dan napasnya mulai memburu karena tidak percaya dengan yang diceritakan Sumantri.

Suatu hal yang sangat aneh, kenyataan bahwa tenggelamnya kapal Rosewijk yang dia alami sendiri adalah karena badai yang dahsyat, namun penduduk sekitar menyangkal hal itu karena pada saat kejadian mereka juga berlayar mencari ikan dan tidak ada badai sama sekali.

 
                                 ***

Kutukan Cammon VanderbergTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang