Lima Belas

1.4K 134 5
                                    

tokk tokk tokk tokk

tokk tokk tokk tokk

Arthit mendengus kesal mendengar ketukan menyebalkan di pintu kamarnya. Kenapa juga anak tidak sopan seperti Prem bertingkah sopan seperti ini? Menyebalkan!

"Kenapa tidak sekalian hancurkan saja pintu kamarku?! Sudah tahu kakiku sakit, bukannya langsung masuk saja! Pintunya tidak di kunci Prem, sialan! "

Ceklekk!

Kongpob membuka pintu kamar Arthit dengan hati-hati. Dia terdiam sesaat melihat isi kamar Arthit yang sudah jadi misteri baginya sejak kongpob sadar mereka satu kondo.

Agak mengejutkan memang melihat pemandangan kamar ini. Kongpob tak menyangka Arthit memiliki kamar yang jauh dari perkiraannya.

Lihat saja poster band-band legendaris tertempel di balik pintu kamarnya. Arthit punya lemari khusus untuk meletakkan koleksinya, mulai dari robot mini rakitan, miniatur mobil-mobilan dan karakter super hero. Ada juga jejeran komik yang diatur rapi sesuai volume serinya.

Bagaimana hal ini tak membuat Kongpob takjub? Tak menyangka saja kalau senior galaknya ini ternyata masih menyukai hal-hal yang harusnya digemari anak kecil.

Kongpob melangkah semakin ke dalam, memindai ruangan itu dengan lebih jelas. Kembali dia menemukan hal lain, gitar bersandar di dinding dekat lemari, TV plasma menyala dengan peralatan PS disekitarnya, meja belajar di dekat jendela kamar lengkap dengan jadwal hariannya.

Bukankah lamar ini lebih mirip kamar bocah SMP ketimbang seorang ketua tim hazer??
Rasa penasaran Kongpob dengan isi kamar Arthit selama ini terjawab sudah.

Kongpob tersenyum diakhir penjelajahannya  saat melihat sosok pemuda tengah terbaring membaca komik di ranjangnya.

"Kenapa kau lama sekali? Harusnya bisa lebih cepat, aku sudah lapar! Mana bubur ku?"

Kongpob tertegun sesaat mendengar suara Arthit yang serak. Pemuda itu masih tunduk membaca komik ditangannya, tak menyadari kalau orang yang masuk kamarnya bukan Prem.

Kongpob kembali mengulum senyum tipis. Dia tak pernah membayangkan Arthit kalau sedang santai bisa berwajah seimut ini, sangat cocok dijadikan istri, batinnya.

Hati Kongpob senang bisa melihat P' Arthit-nya masih bisa bersikap galak seperti biasa. Dia sempat berpikir hukuman yang dijalankan Arthit kemarin dapat membuat pemuda terbaring lemah tak berdaya untuk beberapa hari ke depan.

"Sawatdee Khab, P' Arthit" sapa Kongpob sopan, membuat Arthit spontan mendongak ke pemuda rupawan yang sedang berdiri di depan ranjangnya.

Sesuai dugaan, Arthit terkejut melihat kehadiran Kongpob di kamarnya. Matanya kecilnya membulat lebar, menatap keberadaan Kongpob antara tak percaya dan merasa terganggu karenanya.

Arthit menutup komik dalam pegangannya. Begitu saja kehilangan suara untuk sekedar bertanya atau membentak Kongpob.

Namun untuk Kongpob, waktu seakan membeku. Bertemu tatap dengan Arthit terasa begitu mendebarkan dalam artian yang bagus. Kongpob ingin mengunci tatapan mata Arthit dalam pandangannya, agar mereka bisa bertatapan selamanya. Apa ini terdengar menakutkan?

"Kenapa kau bisa disini?" Tanya Arthit setelah sekian lama kehilangan suara. Arthit masih menatap tak suka pada Kongpob.

"Aku bertemu P' Prem di kedai. Dia sepertinya ada urusan penting jadi memintaku mengantarkan bubur dan minuman untuk P' " balas Kongpob apa adanya.

[Republish] Another Story of: SOTUS the seriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang