Dua Puluh Sembilan

2.6K 273 31
                                    

Kenangan terngiang bak komedi putar. Kongpob sedih mengenang semua kejadian yang telah berlalu.

Ia tak membohongi diri, selalu bahagia tiap mengingat senyum Arthit untuknya. Diantara banyaknya patah hati yang ia rasakan, dia bersyukur pernah melewati masa menyenangkan bersama Arthit.

Klise? Tapi jika kalian paham, mungkin seperti inilah cara cinta bekerja.

Sudah di sakiti, masih juga mencintai, itulah Kongpob saat ini.

Lelaki itu menarik nafas berat lagi dan lagi. Kakinya menjejaki ruangan tempat ospek dulu, dimana pertama kali dia melihat sosok Arthit dalam balutan seragam kebesaran teknik. Disinilah awal mula Kongpob menaruh rasa benci pada sang senior, mungkin juga pertama kali jatuh cinta pada orang yang sama.

Lama, Kongpob mengarungi kembali kenangannya di tempat itu.

Mungkin galau yang membuat Kongpob kehilangan kepekaannya. Dia tak sadar sudah berapa kali Wad, Em bahkan Oak— yang terkenal paling malas menambah tagihan ponselnya—  berusaha menghubunginya siang itu.

Tugas dari dosen kali ini tidak mudah dan orang yang bisa teman-temannya andalkan hanya Kongpob. Mereka bisa saja mengerjakannya sendiri, hanya saja tak ingin mengambil resiko bila ada kekeliruan dalam tugasnya. Itulah kenapa peran Kongpob sangat dibutuhkan, anak itu cerdas dan jarang membuat kesalahan.

"Baiklah, tunggu aku" balas Kongpob lemas setelah mendengar ocehan panjang lebar dari Em di telepon. Setelah puluhan kali mencoba, usaha menghubungi Kongpob akhirnya berhasil.

Mau tidak mau Kongpob menyeret langkahnya ke perpustakaan. Dari penjelasan Em, ada Oak, Tiw, Wad dan Dee sedang menunggunya di perpustakaan. Setibanya di sana pun, Kongpob harus sabar mendengar ocehan tak berguna teman-temannya, mereka membicarakan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan tugas kuliah. Kongpob juga heran, kapan teman-temannya bisa berhenti bermain-main dan fokus belajar.

Tak butuh waktu lama bagi Kongpob memberi pencerahan pada tugas yang dikeluhkaan teman-temannya. Setelah dari sana, dia lebih memilih untuk berdiam di perpustakaan dari pada beranjak ke kantin.

Sedang membolak-balikan lembar buku dengan malas, sosok Knott terekam pengelihatan Kongpob sedang melewati rak buku yang tak jauh darinya. Buru-buru Kongpob menghampiri pemuda itu.

"P'Knott, bisa aku minta bantuan?" Kata Kongpob langsung seusai memberi wai pada seniornya ini.

"Tentang apa?"

"Aku ingin mengembalikan buku milik P' Arthit, tapi aku tidak yakin akan bertemu dengannya hari ini. Bisakah aku menitipkannya pada P' Knott?"

Knott teringat kejadian sebelum dia datang ke perpustakaan, awalnya Arthit ingin ikut—— begitu mendengar ada banyak mahasiswa tahun pertama, dia mengurungkan niatnya. Knott pikir dia bisa menebak apa alasan sikap aneh Arthit belakangan ini.

"Baiklah.. berikan saja padaku" kata Knott menyanggupi.

"Akan aku ambil" ucap Kongpob sebelum meninggalkan Knott.

Tak butuh waktu lama, Kongpob kembali dengan tumpukan buku di tangannya. Kumpulan komik yang Arthit berikan padanya pun ia kembalikan. Bukan tak ingin menyimpan barang milik Arthit, tapi karena hubungan mereka yang jadi aneh, Kongpob tak ingin membuat Arthit semakin tidak nyaman.

Malam itu, via telepon. Kongpob tahu dia sudah ditolak meski tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Arthit sudah menegaskan posisi mereka, dan Kongpob tak bisa memaksakan perasaannya pada Arthit lebih dari ini.

Sudah berakhir. Ini harusnya jadi halaman terakhir kisahnya untuk Arthit. Kongpob harus menyerah karena yang dikejar  bahkan tak mau memberi cela untuk masuk.

[Republish] Another Story of: SOTUS the seriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang