Chapter 1.0 - First Encounter

334 51 101
                                    

Barandal Valley, Arlukha. Perbatasan Utara hutan Morgult.

Udara dingin mulai menggigit kulitnya yang telanjang hingga ia harus menggosok-gosok kedua lengan yang memiliki tonjolan-tonjolan keras meski jauh dari bentuk ideal para binaragawan di luar sana.

Toh, tetap masih bisa dibanggakan karena salah satu ciri maskulitas seorang pria, didapatnya tanpa perlu menghabiskan waktu dan melempar uang banyak kepada pemilik gym yang bertebaran di kota dengan menjanjikan bentuk tubuh yang akan membuat hati para wanita kebat-kebit tidak karuan.

Sayang, upaya yang digerakkan insting tersebut tidak cukup berhasil menghangatkan dirinya. "Ke mana si Maniak Tua itu! Kenapa dia belum muncul juga, sih!" Kekesalan Schifar akhirnya menyembur keluar.

"Menyadari bila aku penting di hatimu?" Suara berat dan rendah yang sangat dikenali, menggetarkan gendang telinga Schifar yang langsung menoleh ke belakang. Ia menangkap dua potong pakaian yang dilemparkan dan dengan cekatan memakainya.

Pria tinggi berbadan kekar berjalan mendekati Schifar lalu menoleh ke arah serigala hitam besar dari balik kaca mata hitam yang selalu bertengger manis di pangkal hidungnya yang mancung. Makhluk tersebut terlihat masih berusaha mempertahankan hidup meski embusan napasnya semakin pelan dan lemah.

"Payah, kau membiarkanku menunggu dalam kebosanan selama dua jam dan dia belum dibereskan juga?"

"Jangan melebih-lebihkan! Aku tahu kau baru tiba di sini tak lebih dari lima menit yang lalu!"

Hanya dengan nadanya saja Schifar bisa membayangkan air muka sang paman. Pria berambut cokelat tua dan sedikit bergelombang itu pasti tengah mencebik sambil mengangkat alis yang setebal ekor serigala laknat di depan mereka.

"Jadi kapan akan kau bereskan makhluk bau itu?" Gunther menjepit lubang hidung dengan jari telunjuk dan jempol. Suatu tindakan yang mempertegaskan ketidaksukaannya pada ras serigala ini.

"Seharusnya binatang laknat ini sudah lenyap dari tadi bila kau tidak terlambat datang ke sini!"

Schifar melempar pandangan 'itu semua salahmu, Paman menyebalkan!' ke arah Gunther yang malah memamerkan senyum tiga jari sambil terkekeh, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah, bahkan terlalu santai menghadapi kegusaran keponakannya.

Entah sudah berapa kali Schifar berpikir bila sang paman tidak pernah serius dalam menjalani hidup yang keras dan cenderung menyiksa segala makhluk bernapas di dalamnya. Namun, di balik kedongkolan yang sering mencekik sanubari, ia sangat mengagumi satu-satunya keluarga yang masih tersisa di dunia ini.

Gunther menyerahkan sebilah karambit merah berujung bengkok yang terdapat ukiran simbol klan Wulfric pada bagian gagang. Bagian hulunya terdapat sebuah lubang untuk disisipi jari pengguna dengan tujuan mengamankan posisinya sehingga tidak mungkin lepas dari genggaman.

Hanya Gunther yang mampu membuat karambit tersebut diselubungi oleh aura merah menyala dan benda inilah yang ditunggu-tunggu oleh Schifar untuk melenyapkan musuh yang sudah dirobohkannya beberapa jam lalu.

Schifar mendekat perlahan-lahan, penuh antisipasi. Mata sosok yang tengah terbaring itu tiba-tiba terbuka hingga mereka bertatapan. Mata galak yang membelalak besar itu dipenuhi angkara murka. Meski sekarat, tatapannya jelas mengirim pesan 'aku tidak akan mati sendirian malam ini!'

Gunther sangat hafal dengan tatapan yang hanya dipenuhi kebencian dan dendam kesumat. Ia menengadah, memandang tirai awan hitam yang disibakkan perlahan oleh tiupan angin, membantu dewi pucat di atas sana untuk mengintip dan memuaskan rasa ingin tahunya terhadap kegaduhan yang terjadi. "Sebaiknya cepat sebelum ia bergerak dan mengarahkan dahinya ke atas sana."

"Aku tahu." Schifar mengubah posisi karambitnya untuk menusuk. Ia melompat dan mendarat di dahi serigala hitam yang menggunakan sisa-sisa tenaga untuk menggerakkan kepala ke arah ekornya yang terkena bias pertama pendar keperakan dari penghias malam.

Cahaya bulan purnama terus bergerak cepat seiring dengan semakin tersibaknya awan hingga hampir mencapai bagian kepala makhluk bertaring itu. Schifar tahu ia tidak boleh membuang waktu lebih lama, bila tidak ingin keadaan yang menguntungkan baginya menjadi terbalik. Ujung tajam karambit tersebut melesak masuk ke sebuah tanda berbentuk bulan sabit keemasan di dahinya, seolah-olah tanda tersebut terbuat dari mentega.

Bila cahaya putih keperakan di atas sana sempat mengenai tanda ini, Schifar dan Gunther—pria bertato daun shamrock besar di lengan kirinya yang telanjang—benar-benar berada dalam masalah besar.

Seberkas cahaya merah menyeruak keluar dari tanda tersebut setelah Schifar mencabut karambitnya dan melompat sejauh mungkin dari tubuh binatang yang mengerang penuh derita.

Ia berhasil mendarat di atas hamparan rumput yang berjarak sekitar dua meter dari si calon bangkai dan langsung merosot jatuh, seluruh tenaganya tersedot oleh karambit milik Gunther.

Karena sudah di atas angin, Schifar langsung merebahkan diri dan menatap bulan purnama yang tergantung di atas sana. Gunther mendekati Schifar dan mengambil kembali pusaka miliknya yang sudah kembali ke status awal, sebuah kalung bermata merah. Sewaktu diselubungi oleh aura merah, karambit tersebut membesar tiga kali lipat dari ukuran normalnya yang hanya sebesar pisau lipat saku.

Perlahan-lahan tubuh serigala besar di ujung mata mereka terurai seperti dimakan oleh segerombolan rayap yang bergerak dengan kecepatan 200 mil per jam, meninggalkan jejak abu hitam yang langsung diterbangkan angin. Dalam sekejap, tubuh besar itu hilang tak berbekas. Satu-satunya bukti bahwa binatang itu pernah ada beberapa saat lalu hanyalah rerumputan yang rebah karena timpaan tubuh seukuran truk kontainer.

"Aku akan mengambil mobil." Gunther Orveyn Convel bergegas pergi meninggalkan Schifar yang sampai sekarang masih tidak mengerti kebiasaan paman eksentrik satu ini yang selalu mengenakan kaca mata hitam, meski di tengah malam begini dan dengan sangat mudah menembus pepohonan lebat di sekitar mereka. Tidak sekali pun ia menabrak sebatang pohon besar. Ironisnya ia pernah menabrak sesuatu tanpa mengenakan kaca gelap tersebut.

Bila dipikir-pikir kaca mata tersebut tidak pernah lepas dari wajah Gunther dalam kesempatan apa pun. Bahkan ketika tidur, ia tetap membebat matanya dengan kaca mata tidur. Entah sudah berapa kali Schifar mempertanyakan kegemaran tak wajar yang menjurus ke obsesi Gunther terhadap benda satu ini.

Jawaban terkonyol yang pernah didapat adalah untuk mengendalikan libido. Tentu saja Schifar tidak percaya begitu saja karena instingnya mengatakan Gunther menyembunyikan sesuatu. Sampai sekarang tidak ada yang tahu apa yang ada di balik kaca mata hitam tersebut dan Gunther menolak mentah-mentah permintaan Schifar untuk melepas barang kesayangannya itu.

==================================

Galeri:

Bagian atas, bentuk asli dari karambit milik Gunther, sebuah kalung garnet

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian atas, bentuk asli dari karambit milik Gunther, sebuah kalung garnet.

Tengah, bentuk umum pisau karambit. Bayangin aja bilahnya merah (dari garnet soalnya), gagangnya perak dengan ukiran klan Wulfric. Lingkarannya warna merah juga.

Bawah, cara menggunakan karambit. Karena Schifar pake buat nusuk, jadi arah melengkungnya ke dalam, tidak keluar seperti di gambar.

==================================

Note: Dear reader kalo enjoy ama ceritanya, jangan lupa klik tanda bintang (buat VOTE) dan komen ya... C ya on next chapter. ^_^v

VIRMAID - ARC I: The Beginning [Pindah ke Work Baru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang