Chapter 7.1 - A New Reality

20 8 4
                                    

Aithne mendorong bahu Lysandra sampai di depan sebuah cermin yang berdiri di dekat rak buku. Awalnya Excelsis terus mengawasi mereka berdua karena penasaran sekaligus cemas pada nasib Lysandra. Namun, setelah beberapa saat menyadari bila kehadirannya sama sekali tidak dibutuhkan di sini, toh sang sahabat masih dalam keadaan utuh. Karena tidak dilibatkan, ia meraih sebuah buku tebal dan membuka acak lalu menyumpal telinganya dengan earphone.

Sebagai seseorang yang bisa melakukan sesuatu sekaligus, Excelsis bisa dengan mudahnya membaca sambil menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama lagu dan sesekali melantunkan lirik dari deretan penyanyi favorit yang tersimpan di ponsel. Ia bahkan masih sempat berpikir perannya di ruangan kedap suara yang menyebarkan aroma kayu dan buku tua ini.

Lysandra melihat bercak merah di ruas tulang leher melalui pantuan cermin duduk yang dipegang Aithne. Sekonyong-konyong kejadian di toilet menghampiri benaknya. "Makhluk kurang ajar, sudah mengambil tubuh orang tanpa izin masih mencederai kulitku pula!" makinya sengit.

Jelas dirinya naik pitam begitu mengetahui kuit mulus yang selalu dibanggakan sekarang dinodai bercak merah yang akan menjadi cacat yang tidak indah dipandang, ditambah model rambutnya yang kepalang pendek di bagian belakang.

"Makhluk?" Mata Aithne menyipit. Kecurigaannya mulai mendapat titik terang.

"Ceritanya panjang, Tante." Lysandra enggan menceritakan kejadian kemarin karena khawatir Aithne tidak akan percaya dan mungkin menudingnya berhalusinasi secara liar yang menjurus pada gejala Tidakwaras gilanensis, alias penyakit tidak sehatnya akal seseorang.

"Kalau begitu bisa dimulai sekarang." Aithne melirik jam dinding antik yang tergantung di atas bola globe.

Bila sudah berada dalam cengkeraman Aithne, jangan harap bisa meloloskan diri dengan mudah. Apalagi bila targetnya hanya tikus kecil seperti Lysandra yang sudah tak berkutik. Mulut Lysandra bergerak menceritakan detail kejadian yang menimpanya kemarin, tapi menyembunyikan peristiwa di restoran kecil dan pengejaran di hutan pinus.

Lysandra takut identitas Schifar terbongkar lalu Excelsis akan mengejar 'calon potensialnya' karena ia tahu persis bila Schifar yang pemberani dan gagah seperti kemarin adalah tipe lelaki pendamping yang pasti disukai Excelsis. Asumsinya, kesigapan Schifar seperti yang ditunjukkan kemarin sangat tepat dimanfaatkan untuk mendapatkan makanan favorit Excelsis di kantin dan pasti lambat laun akan meluluhkan hati si Tuan Putri yang jarang tersenyum ini.

Tubuh Excelsis memang tidak pernah bereaksi sedikit pun terhadap lelaki ganteng itu, kecuali bila ia tengah kelaparan akut dan Schifar kebetulan berada bersama mereka. Reaksi seperti seluruh tulang keropos hingga sulit menyangga tubuhnya sendiri pasti karena kelaparan bukan yang lain.

Namun, tidak ada yang tahu pasti bagaimana Excelsis memandang si rambut biru yang mungkin bisa menenggelamkan diri dalam air mata bila sisi melankolis tahu-tahu datang dan membajak hatinya. Apakah sedikit demi sedikit ia sudah memandang Schifar sebagai calon potensial yang bisa mengenalkan dirinya pada cinta, atau hanya sebagai seseorang yang selalu ada untuk menolong seperti petugas sosial.

"Kau yakin sudah menceritakan semuanya?" Celak hitam beraksen sayap di sudut mata mempertegas mata Aithne yang berujung tajam, membuatnya semakin terlihat galak.

"I—iya." Mata Lysandra bergerak-gerak, tidak yakin untuk melanjutkan kontak mata atau segera melarikan diri dari tatapan menusuk penuh selidik Aithne. Yang pasti bila memilih opsi kedua, Aithne langsung mengendus ketidakjujurannya dan inilah yang paling ia takutkan. Bagaimana bila wanita yang dalam sekejap waktu menjadi tidak ramah ini terus mencecar sebelum rasa ingin tahunya terpuaskan. Bisa-bisa ia tertahan hingga malam di sini. Lysandra tidak keberatan untuk menikmati hidangan makan malam, tapi tetap saja intinya bukan itu.

"Kau tidak masuk ke wilayah hutan di selatan?" Aithne melirik tangan Lysandra yang meremas rok dan menyanjung keberaniannya dalam hati. Si pendek yang hanya sebahunya ini tidak gentar untuk menunjukkan bila ia tidak menyembunyikan sesuatu, padahal bagian tubuh yang lain malah sukses mengkhianati.

Wilayah selatan? Letak hutan pinus, kan?

Lysandra berkelit, "Oh, tidak ... tentu saja tidak." 

Dari gelengan yang tidak mantap, suara yang bergetar, dan senyum yang dipaksa saja Aithne sudah tahu usaha sia-sia Lysandra. Aithne merubah strategi dengan harapan bisa membuatnya lebih terbuka. Seraya memegang bahu Lysandra, Aithne melembutkan suara. "Lysandra, ini hal yang sangat penting. Jadi kuharap kau benar-benar jujur soal ini."

Lysandra menjerit di dalam hati bahwa menyembunyikan identitas Schifar adalah hal yang jauh lebih penting, kalau perlu dijaga sampai mati.

Ekor mata Excelsis menangkap gelagat Lysandra yang tertekan, sementara Aithne juga seperti polisi yang sedang mengintimidasi dengan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan jawaban. Ia hafal betul dengan kelakuan yang mamanya yang suka memaksakan kehendak pada orang lain seperti sekarang.

Excelsis melepaskan penyumpal di salah satu telinganya. "Mama, bukankah mama sendiri yang bilang memaksakan kehendak pada orang lain bukan hal yang baik."

"Bisa dan baik apabila itu demi kepentingan orang lain, bukan untuk diri kita sendiri." Aithne mengangkat satu alisnya sambil bersedekap dan menyunggingkan senyum kaku, tanda tidak ingin dibantah.

"Peraturan nomor satu—Orang tua selalu benar," gumam Excelsis sambil menyetop lagu lalu bangkit dan berjalan menuju pintu. Berita buruk, Aithne tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa diinginkannya.

Excelsis memegang kenop pintu dan berpaling. "Lysa, cepat selesaikan perbicangan kalian. Kutunggu di atas."

VIRMAID - ARC I: The Beginning [Pindah ke Work Baru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang