Excelsis mengunci mulut, mencoba mencerna semua informasi yang dijejali paksa ke dalam kepalanya hari ini. Wajah Lysandra lewat begitu saja seperti sehelai daun yang ditiup angin.
Apa Lysa tahu semua ini?
Mereka berdua memang setali tiga uang untuk pelajaran sejarah. Pelajaran yang setara dongeng pengantar tidur yang cukup didengar saja tanpa perlu dicerna atau dikaji lebih serius karena sudah terjadi. Bila sejarah berulang kembali itu tidak jauh berbeda seperti halnya matahari yang tiap hari terbit di timur dan tenggelam di barat. Hal yang biasa, karena manusia adalah makhluk yang sulit berubah dari perilaku dasarnya.
"Baiklah. Hampir jam sembilan. Aku harus meneruskan tugas Biologiku." Excelsis berdiri lalu mencium pipi kedua orang tuanya dan menaiki tangga.
"Apa anak itu tertekan karena mengetahui hal ini?" Aithne melanjutkan kegiatan belanjanya dan sekarang sibuk menggeser ujung jarinya pada layar sentuh ponsel untuk mencari model sepatu terbaru.
"Kurasa begitu. Pasti sulit untuk menerima semua ini karena bertahun-tahun hidup normal sebagai Aethra. " Maeveen memandang ke luar jendela.
***Di dalam kamar, Excelsis sibuk berselancar di dunia maya. Ia ingin mengetahui tentang Vampire dan Vyraswulf. Informasi mengenai Vampire mudah didapat, tapi tidak halnya Vyraswulf, apalagi hasil perkawinan dari kedua ras ini.
"Hufhhh ... kenapa tidak ada informasi mengenai diriku, sih! Apa hanya aku satu-satunya yang hibrida?" Excelsis mengacak-acak rambut sambil melengoskan frustasi melalui hidungnya.
Salah satu helai rambutnya jatuh dan hinggap di atas papan ketik yang hitam legam, mengontraskan surai sehalus sutra yang nyaris putih seperti salju itu. Warna yang sangat berbeda dari semua teman sekolah atau mungkin seluruh kota. "Apa karena aku hibrida makanya warna rambutku seperti ini?"
Excelsis menjepit helaian rambutnya dengan ujung telunjuk dan jempol lalu mengangkat hingga setinggi mata, memusatkan seluruh perhatian. "Tapi, rambut papa hitam—apa karena dicat? Rambut mama ... sedikit ungu, apa karena di cat juga. Mereka mengecat rambut supaya tidak terlihat nyentrik begitu?"
"Argh, buat apa mempersoalkan rambut. Bisa saja rambutku ini juga dicat, kan?" Sudut bibir Excelsis terangkat, membentuk senyum kaku. Ia berusaha merasa puas dengan kesimpulan sederhana yang terpikirkan olehnya."Sekarang, saatnya membuktikan—"Excelsis mengedarkan pandangan untuk mencari sesuatu yang tergambar dalam jelas dalam benaknya.
Sesuatu yang dicari itu membaur bersama alat-alat tulis lain di kotak penyimpan di rak teratas meja belajar. Tangan Excelsis terulur untuk meraih benda yang gagang ungunya membungkus separuh bahan berbahan metal. "Coba kita lihat apa aku bisa menyembuhkan lukaku sendiri."
Excelsis menempelkan bagian tajam dari gunting kertas tersebut ke pergelangan tangan sendiri dan bersiap menggores permukaan kulitnya sendiri. Namun, sebelum bilah tipis tersebut bergeser, kepala Aithne menyembul dari balik pintu yang dibuka seperlunya.
"Apakah aku mengganggu?"
Excelsis terhenyat dari bangku dan menjatuhkan gunting yang sempat menggores kulitnya hingga berdarah. "Ah, ti—tidak, sama sekali tidak. Ada apa, Ma?"Ugh! Kenapa Mama datang di saat tidak tepat begini.
Excelsis buru-buru menangkup pergelangan tangannya supaya tesembunyi dari mata Aithne.
"Lysa telepon tadi, kupikir kau sudah tidur."
"Ada apa bocah itu mencariku malam-malam begini," gumam Excelsis untuk dirinya sendiri.
"Ada yang sedang kau pikirkan?" Aithne terlalu jeli untuk tidak menangkap kegalauan yang menggayuti putrinya sendiri.
"Ya."
"Boleh tahu?"
"Dari kalian berdua, siapa yang rambutnya seperti—sebelum dicat?"
Aithne sedikit terkutik menerima pertanyaan Excelsis. Dirinya bertanya-tanya dari mana gadis ini memiliki pikiran rambut mereka dicat. "Kau pikir rambut kami telah beruban sehingga harus dicat?"
"Apa! Maksud mama rambutku ini uban semua?" Excelsis membelalak mengetahui fakta bahwa rambutnya adalah uban seperti yang ada di kepala seseorang yang sudah lanjut usia.
Aithne tertawa renyah. "Bukan begitu, sayang. Rambut kita asli, tidak perlu dicat. Karena cat tersebut akan hilang dengan sendirinya sewaktu kita berada dalam wujud kita yang asli."
"Maksud mama?"
"Maeveen memiliki rambut hitam seperti arang. Bila ia sedang dalam wujud Vampire, rambutnya akan berubah menjadi abu-abu gelap. Dan warna rambutku akan menjadi lebih terang."
"Ungu?"
"Ya."
"Jadi itu bukan karena dicat?"
"Bukan."
"Lalu, kenapa rambutku seperti ini? "Excelsis menggoyang-goyang ujung rambutnya."Entahlah. Mungkin karena pertempuran gen, sehingga kau hampir menjadi albino."
"Mama ... aku serius ...."
"Aku tidak tahu. Itu bukan hal yang harus dipusingkan, bukan? Yang pasti kau tetap putri kami." Aithne menghampiri dan memeluk Excelsis sambil membelai-belai rambut Excelsis.
"Mama benar." Excelsis memeluk pinggang Aithne yang ramping.
"Ma."
"Ya?""Kapan aku punya adik?"
Aithne yang tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang mengejutkan ini hanya terdiam. "EG. Sudah malam, tidurlah."
Excelsis bingung dengan sikap Aithne yang langsung membebaskan diri dari pelukannya dan berjalan ke arah pintu. "Ada yang salah dengan pertanyaanku?" gumamnya sambil menggaruk-garuk pelipis.
***Yeah! Selesai juga chapter 7 ini dengan Excelsis yang masih bingung dengan warna rambutnya. Jangan lupa pencet vote dan komen ya.
Sampai bertemu di chapter 8 >>
KAMU SEDANG MEMBACA
VIRMAID - ARC I: The Beginning [Pindah ke Work Baru]
Fantasy[Karya Original ini dipindahkan ke Work baru dengan judul yang sama, tapi dengan versi yang sudah direvisi. Silakan kunjungi link di bawah. Terima kasih.] Link: https://www.wattpad.com/myworks/314800084-virmaid-arc-i-the-beginning-grand-revision ***...