Bab 7

8K 837 17
                                    

"Hidup adalah serangkaian perubahan yang alami dan spontan. Jangan tolak mereka karena itu hanya membuat penyesalan dan duka. Biarkan realita menjadi realita. Biarkan sesuatu mengalir dengan alami ke manapun mereka suka.” - Lao Tzu.

______________________________________
Jadikan Al qur'an sebagai bacaan utama

Nanti malam Jum'at, jangan lupa Al Kahfinya yah😊

Happy reading🤗
.
.
.
.
.
.
.

Sudah menjadi hal biasa bagi seorang Abidzar Alka Bachtiar lembur hingga tengah malam seperti ini. Jemarinya dengan lincah menari-nari diatas keyboard. Sesekali mengusap hidung mancungnya saat sedang berpikir keras. Netranya sedari tadi tak pernah lepas dari layar monitor dihadapannya.

Suara ketukan pintu terdengar. Membuat pria bertubuh jangkung itu menghentikan aktivitasnya.

"Belum pulang Bos? Udah tengah malam lho ini,"ucap seorang pria berkemeja biru langit. Pria itu melangkah mendekati meja Abidzar.

"Lo sendiri belum pulang?"Bukannya menjawab, Abidzar malah balik tanya.

Dion Bagaskara. Orang kepercayaan Abidzar   sejak tujuh tahun lalu. Pria itu bekerja sebagai asisten sekaligus sekretaris Abidzar yang baru, tepatnya setelah kepergian sang istri. Dion baru berusia 27 tahun dan berstatus lajang.

"Yeuy, ditanya malah balik tanya!"pria itu berkacak pinggang.

"Lo kenapa sih? Gue perhatiin akhir-akhir ini, lo jarang banget pulang. Kalo gak ke apatermen ya dikantor. Gak sayang apa sama rumah lo?"
Okeh. Pegawai yang satu ini tidak ada formal-formalnya. Berbicara asal nyablak. Mungkin karena terlalu akrab dengan Bos-nya, jadi ya seperti ini. Tapi itu lah Dion.

Abidzar tak menghiraukan ucapan asistennya. Pria itu beranjak dari duduk kemudian berdiri didekat jendela ruangannya. Menatap pemandangan malam yang ditemani kerlap-kerlip lampu jalanan. Tampak ramai memang. Ditambah beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang ditengah malam seperti ini. Tidak heran, karena kehidupan di Ibukota memang seperti itu.

"Zar, dianggurin sama dikacangin tuh gak enak tau. Lebih enak diapel'in."kata Dion asal. Pria itu berdecak sebal. Sedari tadi ia mengoceh, tapi Abidzar tak merespon samasekali.

Sepi. Itulah alasan mengapa Abidzar belum mau pulang. Ia lebih betah menghabiskan waktunya dikantor daripada dirumah. Berkutat dihadapan laptop sekedar menghilangkan jenuh. Jika dulu ia pulang kerja akan ada seulas senyum manis yang menyambutnya, memasakkannya, dan melayaninya. Sekarang tidak lagi. Meski istrinya juga bekerja sama seperti dirinya, tapi wanita itu tidak pernah melupakan perannya sebagai seorang istri. Lebih tepatnya istrinya itu juga merupakan sekretarisnya sendiri.

Keenara Azalea Rafanda. Wanita yang berhasil menelusup relung hati Abidzar hingga sedalam ini. Kehilangan wanita itu, membuat hidup Abidzar berubah. Bahkan sampai sekarang nama  itu masih terukir indah dihati Abidzar. Meski raganya sudah tidak lagi bersamanya.

Menikah lagi? Abidzar belum siap. Menyembuhkan luka karena ditinggal mendiang istrinya saja ia belum sepenuhnya bisa. Bukannya belum ikhlas, hanya saja Abidzar membutuhkan waktu. Bukankah semuanya butuh proses? Melupakan seorang yang kita cintai tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ralat, bukan melupakan. Lebih tepatnya merelakan. Sampai kapanpun Abidzar tak akan mampu melupakan wanita itu.

"Sepi. Lagian gak ada juga yang gue kangenin  dirumah."suara itu membuat Dion tersenyum tipis. Netra Abidzar menerawang lurus kedepan.

Dion paham betul dengan perasaan atasannya itu. Ditinggal oleh kekasih  bukanlah hal yang mudah. Belum lagi banyak kenangan selama hidup bersama.

"Lo belum move on?"
Sedikit banyak Dion cukup tahu tentang kehidupan Abidzar.

Abidzar memasukkan tangannya pada saku celana.
"Gue gak akan pernah move on dari dia."

Dion menghela nafasnya pelan. Pria itu menepuk pundhak Abidzar berulang kali.
"Belum ikhlas yah?"

Abidzar mengulas senyum tipis. Ikhlas? Bukankah kata itu tak harus diucapkan. Karena mungkin jika mulut berkata demikian maka hati belum tentu sama. Perkara ikhlas biarlah ia sendiri dan Allah yang tahu.

"Kata 'ikhlas' gak harus gue ucapin kan? Percuma kalau mulut gue bilang ikhlas, tapi hati bertolak belakang. Masalah itu, biar gue dan Allah yang tahu. "Abidzar menyahut dengan nada dingin.

Dion mengangkat sebelah sudut bibirnya.
"Bertahun-tahun  setelah kepergian Nara, lo masih begini Zar? Coba buka hati lo buat cewek lain! Apa sesulit itu? Gue yakin diluaran sana masih banyak cewek yang mau nerima lo meskipun status lo adalah duda. Apalagi lo tampan, kaya, punya segalanya. Kurang apalagi Zar?"
Jujur, Dion gemas sendiri melihat tingkah Abidzar.

"Gue gak punya apa-apa Yon. Semua harta yang gue miliki sejatinya adalah milik Allah. Wajah gue yang lo bilang tampan yang juga milik-Nya. Sewaktu-waktu bisa saja Allah ambil apa yang gue punya jika Dia sudah berkehendak. Lalu untuk apa gue berbangga dengan semua itu?"balas Abidzar datar. Bibir Dion terkatup jika Abidzar sudah membawa-bawa nama Allah. Tidak bisa dipungkiri bahwa yang Abidzar katakan ada benarnya juga. Semua yang kita miliki didunia ini hanyalah titipan. Tidak pantas untuk kita sombongkan.

Dion meringis. Ia sadar, ilmu agama yang ia miliki tidak sebanding dengan pria disampingnya itu. Meski penampilan Abidzar terkesan sedikit amburadul jika diluar kantor, dan garis wajah yang terkesan arrogant, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa pria itu cukup religius. Niat ingin menceramahi saudaranya, yang ada Dion sendiri malah yang diberi siraman rohani oleh Abidzar. Miris.

"Iya gue tahu Bos. Tapi bisa nggak sih kalo ngomong sama gue nggak usah bawa-bawa nama Allah dulu?!"ketus Dion.

"Memang kenyataannya kan?"

Dion hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan perkataan Abidzar. Malas saja jika harus berdebat. Lagipula sepandai apapun ia bicara, tetap saja kalah dari Abidzar.

"Buat sekarang gue lagi belum ingin nikah lagi. Susah cari istri yang benar-benar tulus dengan kita. Diluar sana emang banyak cewek yang ngejar gue, cari perhatian sama gue, bahkan tanpa segan ada yang ngungkapin cinta. Tapi itu semua karena harta. Bukan dari lubuk hati mereka yang paling dalam." Pria itu menjeda ucapannya sejenak. "Gak kayak Nara. Dia cewek paling beda yang pernah gue temui. Disaat yang lain ngemis cinta ke gue justru dia sebaliknya. Bahkan sikapnya aja terkesan ketus. Waktu nikah sama gue aja, dia gak pernah minta yang neko-neko. Jangankan minta gue kasih aja kadang ditolak."lanjut Abidzar sembari mengingat masa lalu yang masih terekam jelas dimemorynya.

Dion mendengarkan dengan seksama.
"Gak ada salahnya kan kalo dicoba dulu?"

"Kenapa sih kalian semua hobi banget nyudutin gue buat nikah lagi? Lo pikir nikah cuma sejam dua jam selesai? Gak gitu Yon, nikah perkara yang dijalankan seumur hidup. Gue gak mau kalo gue nikah tapi hati dan pikiran gue masih fokus sama Nara. Gue gak mau nyakitin istri gue nantinya karena gue jarang merhatiin dia."

"Bu---"

"Boleh gue minta tolong sama Lo?"tanya Abidzar memotong pembicaraan Dion.

Pria itu mengernyitkan dahinya bingung.
"Apa?"

"Pintu keluar ada disana kalo lo lupa."Abidzar mengarahkan telunjuknya  pada daun pintu yang terbuka lebar.

"Lo ngusir gue?"Dion menunjuk dirinya dengan mata yang membelalak lebar.

"Gue gak ngusir."

"Ya tapi secara gak langsung lo ngusir gue!"sungut Dion.

"Gue pingin sediri. Tolong jangan ganggu gue dulu."pinta Abidzar

Dion menatap datar Abidzar.
Pria itu mendengus sebal. Sedetik kemudian Dion sudah berlalu dari hadapan Abidzar.

______________________________________

Terima kasih sudah membaca cerita ini
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen

See you net oart

Syukron

Arsha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang