Bab 18

7.8K 836 48
                                    

"Tidak ada salahnya bukan, memperjuangkan seseorang yang kita sayang?"

_____________________________________________

Jadikan Al qur'an sebagai bacaan utama

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.

"Jadi kamu yang namanya Ana?"Shanum bertanya pada gadis berbaju coklat dihadapannya.

"Iya Mbak, saya Ana. Sedikit banyak mungkin Bu Asih sudah bercerita. Boleh nggak kalau saya ngelamar kerja disini?"jawabnya penuh harap seraya memilin ujung baju yang is kenakan.

Shanum menelisik penampilan gadis itu dari atas hingga bawah. Rambutnya dikepang dua, berkacamata, memiliki tubuh yang ramping. Kulitnya kuning kecoklatan, ditambah postur tubuh yang tidak terlalu tinggi. Khas sekali perawakan remaja.

"Kalau boleh tahu, umur kamu berapa?"

Ana mendongak. Menatap Shanum yang juga tengah menatapnya lembut.

"Sembilan belas tahun."katanya lirih kembali menunduk.

"Masih muda ya, lulus SMA sekitar dua tahun lalu?" Shanum menebak.

Namun, yang ia dapatkan adalah gelengan dari Ana.
"Saya putus sekolah."cicitnya.
Jujur saja, Ana takut tidak diterima oleh Shanum. Pasalnya ia sudah berpengalaman melamar pekerjaan sana-sini, namun semuanya menolak. Alasan yang paling jelas ya karena dirinya belum mempunyai ijazah SMA. Ia juga paham mencari pekerjaan dikota metropolitan tidaklah mudah.

"Kenapa?"

"Nggak ada biaya."
Shanum tertegun. Ternyata masih ada orang yang kurang beruntung daripada dirinya. Bersyukur, ia sempat merasakan duduk dibangku kuliah dulu meski cuma setahun.

Wanita itu hanya tersenyum tipis. Tidak banyak bertanya, takut menyinggung perasaan Ana.

"Kamu yakin mau kerja disini?"tanya Shanum berhati-hati.

"Iya, Mbak."

"Tapi gajinya kecil lho, toko ini juga belum lama buka. Masih proses berkembang."Bukannya apa, Shanum hanya tidak mau Ana menyesal.

"Nggak masalah. Yang penting saya dapat pekerjaan biar bisa bantu Ibu berobat,"balasnya mantap.

"Berobat? Memang Ibu kamu sakit apa?" Sungguh, Shanum ingin tahu lebih banyak tentang remaja itu.

"Ibu sakit gagal ginjal. Bapak udah meninggal lima tahun yang lalu. Itulah alasan saya putus sekolah. Semenjak bapak meninggal, ibu kerja keras siang malam cari uang buat sekolah saya. Sampai akhirnya beliau sakit-sakitan dan saya mengalah untuk tidak melanjutkan pendidikan. Saya anak tunggal, mau nggak mau harus jadi tulang punggung keluarga sekarang."Jelasnya. Hati Shanum terenyuh mendengar penuturan gadis itu. Ana anak yang baik. Ia rela mengorbankan masa remajanya demi membantu sang ibu.

Tangannya terulur mengusap bahu Ana yang sudah bergetar. Ana terisak, mengingat pahitnya kehidupan yang harus dijalaninya.

"Kamu yang sabar yah,"ujar Shanum. Bagaimanapun ia juga tahu perasaan Ana. Sedikit banyak ia pun pernah mengalami hal serupa dengan remaja itu.

Ana mengusap air matanya seraya mengangkat wajah.
"Jadi, Mbak Shanum nerima saya atau enggak?"

Shanum tersenyum ramah.
"Iya, kamu boleh kerja disini."

Bola mata yang semula menyiratkan kesenduan, kini berbinar bahagia.

"Mbak serius?"tanyanya antusias.

Arsha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang