Bab 10

9.1K 865 31
                                    

Bahagia itu bukan karena tidak ada masalah, tapi karena kemampuan untuk menghadapi masalah.

_________________________________________

Follow Ig aku yuk, @Aniesfah08

Happy reading🤗
.
.
.
.
.
.
.
.

Afif menatap Abidzar sengit. Sedari tadi  pria itu tak henti - henti mencuri pandang kepada Shanum. Namun wanita itu tak menyadarinya, karena Shanum tengah sibuk melayani pelanggan.

Tangan Afif terkepal erat. Sesekali netranya bertemu pandang pada Shanum yang tak sengaja juga tengah menatapnya. Hanya saja, Shanum memilih untuk memutuskan kontak mata terlebih dahulu daripada Afif.

"Silahkan dinikmati." ucap Shanum pada salah satu pelanggannya. Tidak lupa senyum manis yang selalu ia suguhkan. Sebisa mungkin Shanum melayani para pelanggannya sebaik mungkin, karena menurut slogan yang pernah ia baca, pembeli adalah raja.

Tanpa sadar, Abidzar yang sedari tadi mengamati setiap pergerakan wanita itu ikut menarik sudut bibirnya. Jika diperhatikan, sikap Shanum sedikit mirip dengan mendiang istrinya, Nara. Mereka sama-sama polos dan suka ceplas-ceplos. Sifat Shanum yang periang kembali mengingatkan kenangannya dengan Nara beberapa tahun lalu. Kedua wanita itu mempunyai cara tersendiri untuk membuatnya tersenyum. Jujur saja, selama berdekatan dengan Shanum, pria itu kembali merasakan detak jantung yang tak biasa. Meski baru beberapa kali bertemu, tapi tak bisa ditampik bawa kehadiran Shanum membawa warna tersendiri dihidupnya. Apalagi setelah kejadian di mall kala itu. Percayalah, sikap dingin dan ketus yang sering Abidzar tunjukkan kepada Shanum bukan berarti ia tak peduli. Justru dengan cara itulah Abidzar menutupi rasa gugup yang sering hinggap saat Shanum berada didekatnya. Karena jujur, Abidzar hanya belum siap untuk membuka hati lagi. Bukan ia tak percaya akan takdir yang ia jalani, hanya saja Abidzar ingn lebih memantapkan hati.

Afif mendesah pelan. Ternyata ucapan yang ia katakan pada Bagas tempo lalu sangat bertolak belakang dengan hatinya. Pikirannya ingin melupakan, tapi hatinya menolak. Wanita itu, memang sangat pandai memporak-porandakan kehidupannya. Karena Shanum, Ia menenal cinta. Karena Shanum, ia tahu rasanya cemburu. Dan karena Shanum juga, Ia tahu bagaimana rasanya sakit hati.

"Fif,"teriak Bagas dari ambang pintu pembatas dapur.

Afif mendengus sebal.
Pria itu menoleh, mengalihkan pandangannya dari Shanum.
"Apa?!"sahutnya ketus.

"Antar pesanan gih, udah ditunggu sama yang punya rumah."ucap Bagas. Pria itu sibuk membersihkan tepung yang mengotori tangannya. Bagas itu koki, jadi wajar jika sering kotor-kotoran seperti ini.

Afif menghela nafas berat. Meski malas, pria itu tetap menjalankan pekerjaannya.
"Gue siap-siap dulu."

Sebuah tepukan menyapa pundhak Abidzar. Pria itu berjenggit kaget. Untung saja dirinya tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
"Kebiasaan banget sih Za, ngagetin orang."kesalnya

Eza menyengir tanpa dosa. Pria itu menarik kursi lantas duduk dihadapan sahabatnya.
"Lagi liatin apa sih, serius amat."ledek Eza melipat kedua tangannya diatas meja dengan nada meledek.

"Nggak ada!"sergah Abidzar.

Eza mencebikan bibirnya.
"Pasti lagi liatin Shanum yah,"Eza memainkan alisnya.

"Sok tau lo!"

Eza menoyor kepala Abidzar pelan.
"Lo mulai ada rasa yah, sama tuh cewek?"

Abidzar menatap Eza tajam.
"Kepo banget sih,"

"Jujur aja kali. Lo sering dateng ke cafe ini, otomatis lo juga sering ketemu sama dia. Nggak menutup kemungkinan 'kan kalo perlahan, lo ada rasa?"Eza semakin gencar menggoda sahabatnya. Ingin sekali Abidzar membuang pria itu ketepi jurang.

Arsha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang