[22] Feel special

2.4K 263 35
                                    

-

“MELAN!” sambungan telepon yang baru saja diangkat Melan menyalurkan suara teriakan Jihan. “Elo dimana?”

“Melan lo dimana? Bilang atau gue beritahu Kak Ichal kalau lo bolos?” Jihan mengeram. “Gila lo, gue sampai bohong sama Bu Lia kalau lo kepeleset di kamar mandi, jadi sekarang lagi di rawat di UKS!”

Melan merunduk, memanyunkan bibirnya kesal. “Gue di ujung lab kimia.”

“Lo ngapain disana?” Jihan berteriak. “Lo tahu nggak disana angker, nyet? Dulu katanya ada yang bunuh diri—”

“Jih?” Melan memangil, karena suara Jihan tak terdengar lagi, sekarang hanya ada suara-suara berisik yang memekakkan telinga. “Jihan?”

Suara-suara berisik itu perlahan mengecil, sepertinya Jihan bergerak menjauh dari sana. “Melan ... Kak Gito sama Gelan berantem di lapangan.”

Melan merasakan shock, dia mengercap, menetralisasi sesuatu dihatinya yang berdebar-debar. Entah karena apa, tapi sekarang pikirannya dipenuhi Gelan. Semoga Gelan tak apa-apa, semoga Gelan tak terluka, semoga Gelan baik-baik saja.

“Dimana?” Melan buru-buru bangkit dari duduknya, dia berlari cepat meninggalkan tempat duduknya tadi.

“Lapangan,” suara Jihan menjawab. “Lo nangis?” tanya Jihan memastikan bahwa suara Melan bergetar.

Melan mematikan sambungan telepon, dadanya berdesir cepat. Langkahnya kian cepat, hingga dia sampai di lapangan, tak peduli orang-orang memandangnya aneh, tak peduli orang-orang melirik matanya yang bengkak.

Gadis itu melirik kedepan, Gelan dan Gito masih saling melayangkan tinjuan masing-masing. Melan tak tahu, namun ketika dia mendekat dia mendengar Gelan menyebut namanya yang membuat Melan seketika merasa tak suka.

“Jauhin Melan, berani gue lihat lo dekatin dia lo bakal berakhir lebih dari ini.”

“Gue nggak suka diatur-atur, gue bukan barang elo,” jawab Melan, membantu Gito yang sudah kesusahan berdiri.

“Lo nggak ngerti apa tujuan dia dekatin lo.” Gelan menyahut dingin, sedikit merasa sakit ketika Melan lebih peduli pada Gito, bagaimana gadis itu menghapus darah di sudut bibir Gito dengan sapu tangan yang tadi diberikannya pada gadis itu.

“Yang penting, dia nggak bakalan sakitin gue kayak apa yang lo lakuin, kan?” Melan menatap Gelan, menaikan sebelah alisnya.

Gelan membuang nafas gusar. Dia membuang-buang waktu dan tenaganya untuk sesuatu yang percuma. Seharusnya, ketika dia memutuskan menjauhi Melan, dia tak perlu lagi ikut campur dengan hal-hal yang berkaitan dengan hidup gadis itu. Namun, kenapa Gelan merasa begitu panas, ketika Gito mengatakan akan menembak Melan sebentar, ditambah alasannya mendekati gadis itu yang sudah diketahui Gelan membuat Gelan begitu tak suka.

Gelan tak ingin Melan kenapa-kenapa, dia ingin menjaga Melan, namun dari sudut pandangnya sendiri.

“Oke.” Gelan menjawab, menghapus darah di pelipisnya. Kemudian berbalik dan meningalkan Melan disana yang matanya sudah berkaca-kaca ... lagi.

Dasar gadis cengeng, Gelan tak bisa memikirkan bagaimana dia menangis setelah masuk lebih dalam ke permainan Gito.

Karena itu, Gelan berbalik, menyambar tangan Melan kasar dan membawanya pergi ... bersamanya.

***

A/n:

Aku mau revisi cerita ini karena setelah aku baca ulang, cerita ini penuh dengan typo dan bahkan kesalahan nama tokoh lainnya, aku nggak nyangka, tulis nama Abang Melan dengan 'Ichsan dan 'Ichal' menurut kalian, bagusan Ichsan apa Ichal, dan satu hal lagi, menurut kalian aku revisinya sekarang, apa setelah tamat?

And, anyway, emang pendek, cuma 400+ word :)

Xoxo,

Carlyyynnn.

16 Agustus 2020.

Gelan & MelanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang