“Makasih, Kak.”
Taeyong mengangguk dan tersenyum tipis. “Kalau ada apa-apa tinggal telpon aja, ya.”
Junghwan mengacungkan jempol setara dengan dagu. Bibirnya terkulum amat lebar sampai ke mata, membuat pipinya yang chubby tampak menggemaskan. Belum lagi bibir penuh merah mudanya kelihatan menawan saat tersenyum.
Setelah mengantarkan teman sang kakak, Junghwan langsung berbalik masuk rumah. Nggak lupa untuk menutup gerbang, sembari bersiul, ia melangkah penuh riang.
“Adek, anterin makanan ke kakak, gih.” Mama memanggil, minta tolong supaya membawakan nampan berisi makan siang untuk sang kakak, yang empat hari ini jarang keluar kamar. Bukan lagi mengurungkan diri, memang dia sedang nggak ada mood—barangkali—buat keluar kamar, semenjak kematian Sowon. Dia keluar seperlunya saja walaupun kerap melewatkan makan siang. Untung mama belakangan ini berdiam di rumah.
Beliau pasti menyadari duka yang masih dirasa oleh putrinya. Kehilangan seorang teman telah memukul telak empatinya. Apalagi yang pergi untuk selamanya merupakan teman karib, membuatnya patah hati. Terlebih kematiannya terasa janggal. Sampai-sampai menyebabkan dirinya terus memikirkan hal tersebut.
Jisoo tersentak dari lamunan saat Junghwan mendorong pintu kamar tanpa mengetuk. Atau barangkali remaja itu sudah mengetuk, tapi dia nggak mendengar.
“Taruh meja aja, Wan.”
Sang adik menurut sambil lalu menyisik cemas Jisoo yang terduduk dengan bengong di ranjangnya. Di pangkuannya terdapat album foto berukuran sedang. Junghwan dapat menebak isinya lantaran album itulah yang belakangan ini mencuri penuh perhatian kakaknya. Rasanya dia ingin menyusul dan bertanya, tapi roman sang kakak seolah mengusir dirinya bahkan sebelum bertindak.
“Barusan Kak Taeyong kemari.”
“Iya, udah tahu,” balasnya, pelan sekali.
“Masa sih, masih teman kalau Kak Taeyong rajin main ke rumah?”
Lalu tiba-tiba Jisoo menoleh ke arahnya. Mengagetkan Junghwan seketika sebab tatapan sang kakak tampak melotot mengerikan. Mendadak saja dia takut bertemu mata dengannya, menyebabkan remaja itu menunduk cepat, dan tak sabar ingin keluar dari kamar ini.
“Nggak usah kepo. Sana, keluar!”
Tanpa membalas, Junghwan bergegas keluar, dan saking tergesanya, dia sampai lupa menutup pintu kamar. Sempat pula ingin kembali, tapi niatnya sekadar niat belaka karena saat itu juga, dia langsung terbirit-birit menjauh.
Kakaknya aneh, itu yang dipikirkannya belakangan ini. Junghwan mulai meragukan tinggal berdua bersama Jisoo apabila orangtuanya kembali pergi ke luar kota nanti.
Keanehan kakaknya juga sudah dia laporkan sama Taeyong, setiap kali cowok itu bertamu. Biarpun dia takut sekaligus khawatir, Junghwan juga ingin tahu penyebab kakaknya begitu. Akan tetapi, cowok yang mengaku sebagai teman kakaknya itu, cuma meminta supaya dia jangan cerita pada orangtuanya, cukup perhatikan saja selama kakaknya nggak berbuat aneh-aneh.
Jauh di lubuk hatinya, Junghwan ingin sekali memberikan laporan kepada orangtuanya tentang keanehan sang kakak.
Selain Jisoo mendadak punya tatapan mengerikan, dia juga acapkali menyenandungkan nada-nada aneh. Junghwan pernah mendengar tiga kali saat berpapasan dengan kakaknya yang lagi berada di ruang tengah kala itu. Bahkan, saat di dapur dan mandi pun Junghwan sempat mendengar nada sumbang hasil senandung sang kakak.
Junghwan berharap kakaknya baik-baik saja. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya.
...
Taeyong tiba di kediaman Bobby siang itu, dan langsung diserbu oleh tiga orang sekaligus. Mereka kelihatannya tidak sabar ingin mendengar langsung kabar darinya, rutinitas yang mulai terjadi sejak tiga hari ini.
“Gimana?” tanya Bobby mewakilkan wajah-wajah penasaran di kedua sisinya.
“Nggak separah Jimin,” jawabnya agak lesu kedengarannya. “Sejauh ini belum apa-apa.”
Bobby dan lain pun tampak lega sesaat. Namun, cepat juga raut mereka berubah menjadi wartawan dadakan. Alias wajah-wajah ingin tahu akan segala hal dari narasumbernya.
“Kayaknya kita mesti bawa mereka ke tempat itu lagi deh,” usul Hwasa, merasa bersalah. Semua berawal dari ajakan berlibur yang berubah menjadi bencana. Bahkan, mereka belum ada satu hari tinggal di sana, tapi sudah mendapatkan hal demikian memprihatinkan.
Seolhyun mengangguk setuju. “Bona aja udah kayak begitu.” Ini kedua kali baginya melantangkan pernyataan demikian. Beberapa hari lalu pernah menyatakan sesuatu yang serupa, tapi berujung pada amukan seorang pacar lantaran mengira dirinya menuduh Bona aneh.
Empat hari sudah berlalu, mereka mengira sepulang dari tempai itu akan baik-baik saja setelah mengalami insiden hilangnya kedua teman. Justru pulang menyebabkan peristiwa lain yang mengejutkan, yang mana duka masih bergelung di hati masing-masing kawan. Lalu sekarang, ada keanehan lain, salah satunya teman mereka yang hendak gantung diri di rumah.
Beberapa hari lalu, Jimin nyaris melakukan percobaan bunih diri dengan mengantungkan dirinya di kamar. Andaikata orangtuanya tidak memergoki aksinya tersebut, barangkali pemuda itu sudah mati. Kemudian Bona acapkali menyayat kulit tangan hingga Scoups terpaksa menjaga cewek itu setiap detik tanpa kenal lelah.
Lalu terakhir, Jisoo.
Yah, walaupun dia tidak melihatkan keanehan seperti dua hal temannya. Taeyong menyakini sendiri bahwa hal itu tidak akan lama terjadi. Junghwan cuma menceritakan keanehan sikap sang kakak dan tabiatnya saja. Sebab itu pula, dia rajin bertamu cuma sekadar melihat walau seringkali dikecewakan lantaran cewek itu enggan bertemu.
“Gue nggak tega sama bokap nyokapnya Jimin,” ujar Taehyung tampak lesu. Dia juga seringkali ke rumah Jimin untuk melihat keadaan temannya itu, kadangkala pergi bersama Yuta dan Bobby.
Taeyong mendesah bimbang. Dia sendiri belum yakin sepenuhnya tentang mereka bertiga ini, atau lebih tepatnya hanya pada Jisoo saja. Untuk Jimin dan Bona dia sudah menyimpulkan bersama Yuta dan Siyeon penyebab perubahan perilaku mereka, sementara Jisoo, Taeyong masih meragukan penyebab cewek itu berubah sikap.
Bahkan, Junkyu tidak dapat banyak membantu. Dia mengaku sendiri kalau tempat itu berbeda dari lainnya, seolah ada kekuatan besar yang menutupi kebenaran di sana.
“Gimana, Yong? Kita bawa mereka ke sana aja nih?” tanya Hwasa.
Taeyong menatapnya lalu bergantian ke yang lainnya. Kalau sudah begini, mau tak mau, dia memang harus mengiyakan.
“Jangan bilang apa pun sama keluarganya. Buat alasan senatural mungkin. Oke?”
Semua mengangguk mengerti, kecuali Nayeon yang sepertinya tidak akan ikutserta. Dia masih berduka sejak kepergian Sowon. Kedatangannya kemari pun atas paksaan Seolhyun yang menyusul ke rumahnya. Niatan hendak menghibur, tapi hasilnya nihil lantaran cewek itu tak kunjung jua melihatkan senyumnya.
...
Aku sedang mengusahakan rajin update nih 🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
Di sini ada setan | taesoo ft. 95L [✔]
FanfictionBerawal dari ajakan temannya membuat klub pencari hantu. Kehidupan Jisoo mendadak berubah menjadi petualangan mistis, berburu, dan mengungkap kematian seseorang. Bersama teman-temannya, juga Taeyong, cowok yang dapat melihat hantu. ©2020 | Hippoyeaa