Otak

2.1K 194 11
                                    

"Bu Nirma, bisa tolong antar saya beli kemenyan?"

"Hah? Nggak salah dengar, nih? Bu Yilya mau manggil setan, ya?" tanya Bu Eni, salah satu tetangga Yilya yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Bu Eni memang selalu bersikap demikian. Perkataannya selalu membuat orang di sekitar merasa tidak nyaman berada di dekatnya.

"Jangan jawab perkataan Bu Eni. Yuk, kita pergi aja," bisik Bu Nirma dengan cepat.

"Tapi ... apa benar kata Bu Eni kalau kemenyan itu buat manggil--"

"Enggak, Bu Yilya pasti tahu jawabannya nanti. Nggak usah khawatir." Yilya mengangguk, berusaha untuk tetap tenang.

Bu Eni merasa kesal ketika perkataannya sama sekali tidak dijawab. Ia berkata, "Dasar orang baru nggak tahu diri! Sombong banget, sih. Liat aja nanti, saya sebarkan pada semua orang di kampung ini kalau kamu melihara makhluk tak kasat mata!"

"Mulut kamu itu kayaknya harus disulam, ya! Licik banget jadi orang. Pergi sana!"

Bu Nirma tampak sudah biasa menghadapi perkataan tetangganya yang tidak bisa menjaga perkataan. Namun, Yilya masih beradaptasi dengan semua orang yang ia temui. Tidak mudah baginya untuk mengenal orang lain dan percaya begitu saja. Apalagi, jika orang tersebut seperti Bu Eni.

***

Kedatangan Mas Arthur membuat suasana rumah menjadi lebih nyaman. Kyna berlari menuju pelukan ayahnya sembari melontarkan senyum yang sangat manis. Mas Arthur memang selalu menjadi sosok yang mampu membuat semua terasa tenang dan aman. Setiap menjelang malam, Kyna selalu bersikeras untuk tetap menunggu ayahnya pulang. Mereka memang sangat dekat, terutama Mas Arthur pun sangat menyayangi putri kecilnya.

"Ayah, tadi Kyna ngeliat—"

"Kyna, Sayang. Ayah baru pulang kerja, Nak. Ceritanya nanti dulu ya, ayah pasti masih cape," ujar Yilya dengan cepat sebelum putrinya mengatakan sesuatu.

Entah mengapa, Yilya kembali teringat dengan perkataan Ki Barjo yang mengatakan bahwa ia tidak boleh mengatakan kejadian apapun yang ada di rumah ini. Itu tandanya, Kyna tidak boleh mengatakan pada Mas Arthur agar tidak mendapatkan resiko buruk di kemudian hari. Yilya percaya jika suatu saat, semua misteri ini akan terbongkar olehnya.

"Ayah mandi dulu, ya, Sayang. Kyna main sama adik dulu, ya."

"Iya, Ayah," balas Kyna sembari melepas pelukannya.

Kyna berjalan mendekati Dama, adik kecilnya yang hanya berbeda dua tahun. Sementara Yilya dan Mas Arthur berjalan menuju kamar. Tidak ada suatu yang janggal sebelum akhirnya Mas Arthur membuka lemari. Darah segar menetes begitu saja dari dalam lemari, baju-baju yang disusun rapi tampak tidak jelas susunannya.

Yilya menghela napas berat seraya memejamkan mata karena menahan kesal atas kejadian aneh yang selalu saja menghampirinya. Namun, Mas Arthur tampak berbeda, ia menatap cemas tetesan darah tersebut. Mas Arthur terlihat berbeda, raut wajahnya menunjukan sesuatu yang belum diketahui maknanya.

"Mas ...."

"Mas nggak ngelakuin ... ah, maksudnya ... ini kenapa, Sayang?" tanya Mas Arthur gelagapan, ia tampak sangat cemas.

"Aku nggak tahu, Mas, kenapa banyak darah di sini," jawab Yilya menutupi jawaban yang pada dasarnya ia ketahui.

"Kita bersihkan saja," imbuh Mas Artur. Namun, entah mengapa jemarinya justru meremas baju, Mas Arthur tampak sangat cemas.

"Tenang aja, Mas. Biar aku bersihin." Yilya berusaha menenangkan suaminya.

Yilya menggenggam jemari Mas Arthur untuk menenangkannya, tetapi, siapa sangka jika Yilya merasa ada sesuatu yang berbeda. Jemari Mas Arthur terasa lebih berkerut.

"Ayo bersihkan, Sayang."

Yilya mengangguk dan mulai bangkit untuk mengambil lap kain. Namun, ada sesuatu yang terjadi di luar dugaannya, ada seorang perempuan berwajah pucat yang tiba-tiba muncul dan berusaha mencekik lehernya. Yilya meronta ketakukan, perempuan berwajah pucat itu terus mencekik Yilya. Mas Arthur yang melihat kejadian tersebut segera berusaha melepaskan cekikan dari leher istrinya.

"Mas ... sakit." Yilya berusaha menghirup udara meski sulit rasanya.

"Pergi, kau! Pergi!" seru Mas Arthur seraya menjambak rambut panjang dari perempuan berwajah pucat tersebut.

Perempuan tersebut mematahkan kepala di hadapan Yilya dan Mas Arthur seraya berterik, "Nyawa dibalas nyawa! Akan kuhabisi kalian!"

Yilya tampak tidak mengerti dengan perkataan yang perempuan tersebut lontarlan. Apa maksudnya? Siapa sebenarnya yang sudah membunuh perempuan berwajah sendu tersebut sampai akhirnya ia muncul dihadapan Yilya dan mengusik keluarganya? Yilya sama sekali tidak mengerti, dirinya tidak pernah memiliki musuh. Jangankan membunuh manusia lain, Yilya bahkan sangat tidak tega ketika melihat orang lain kesakitan.

Lalu, apa maksud dari perkataan perempuan berwajah pucat tersebut?

"Jangan pernah kau sentuh tubuh anak dan istriku!" bentak Mas Arthur.

"Jangan munafik!"

Perempuan tersebut mengambil suatu organ dalam yang berada di kepalanya sembari tertawa mengerikan. Ia mengeluarkan otak manusia yang sudah hancur dan bercampur dengan darah. Yilya menutup mulut menahan mual dari bau darah yang begitu menyengat. Bertahun-tahun dirinya hidup, Yilya baru pertama kali melihat organ tubuh manusia yang sudah hancur dan tampak sangat menjijikan.

"Kalian masih mempunyai otak yang dapat berfungsi dengan baik. Tidak sehancur ini! Seharusnya kalian dapat berpikir dengan jernih!"

Selepas bentakan dari perempuan berwajah sendu itu dilontarkan, ia langsung menghilang begitu saja. Berbeda dengan kejadian sebelumnya, jejak bekas terjadinya hal aneh itu ternyata sama sekali tidak menghilang. Justru, kamar yang seharusnya dijadikan tempat Yilya dan Mas Arthur beristirahat, malah menjadi kotor dan berlumuran darah.

"Mas, sebenarnya ada apa ini?" tanya Yilya mulai merasa resah dengan kejadian yang selalu terjadi di rumah ini.

"Mas ... nggak tau, Sayang," balas Mas Arthur pelan.

Yilya merasa ada yang aneh dengan Mas Arthur. Tidak biasanya ia tampak begitu gelisah dengan sesuatu. Mas Athur selalu bisa menyikapi sesuatu dengan tenang, tetapi, mengapa kali ini tidak? Bahkan, keringatnya terus menetes dengan deras.

Satu hal yang sangat Yilya ingin tahu. Mengapa jemari Mas Arthur terasa lebih berkerut ketika disentuh olehnya?

Yilya sama sekali belum pernah menyentuh jemari yang benar-benar berkerut. Kecuali ... Ki Barjo. Kerutan tersebut rasanya sama dengan lengan Ki Barjo yang selalu Yilya salami jika dirinya berkunjung. Namun, apa artinya? Usia Mas Arthur dengan Ki Barjo tentu saja berbeda sangat jauh. Kejadian yang berulang kali terjadi di hari yang sama ini membuat Yilya lebih menguatkan tekat untuk berusaha mengungkap semua misteri yang ada pada rumah ini. Bukan hanya itu, hal utama terletak pada sumur di belakang rumah.

Yilya sangat yakin, ada puluhan mayat di dalam sumur tersebut. Mayat-mayat tersebut nantinya akan selalu membuat kehidupan Yilya beserta keluarganya menjadi tidak tenang. Ini sebuah tantangan, Yilya harus dapat menghadapi semua seperti apa yang di katakan oleh Ki Barjo. Meski Yilya tidak tahu, siapa yang harus ia sadarkan.

Mayat Dalam Sumur (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang