Menyusun rencana

1.5K 173 1
                                    

Wajah Bu Eni tampak sangat pucat. Aura yang terpancar dari sorot matanya penuh dengan kebencian. Yilya tahu, sosok yang kini berada dihadapannya itu bukanlah manusia.

"Aku mau kau pun ikut mati ...." Suara Bu Eni terdengar lemah.

Benar dugaan Yilya, sosok yang ada dihadapannya ini bukanlah manusia! Seketika Bu Eni melepaskan kepala dari tubuh, memeluk kepala tersebut kemudian menyodorkan ke arah Yilya. Sementara itu, Yilya belum sanggup mengeluarkan sepatah kata apapun. Ia tetap bungkam, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi kini.

"Tolong simpan kepala ini, Yilya. Suamimu telah menghabisiku. Tanpa sedikitpun memberikan belas kasihan, ia menghancurkan tubuhku!"

Dengan cepat Yilya membalikan tubuh dan berusaha untuk pergi. Namun, di luar dugaannya, Bu Eni muncul di hadapan Yilya sembali membuka mulut. Yilya bergidik ngeri, dari mulut Bu Eni terdapat ribuan belatung yang, seolah mulut tersebut menjadi tempat para belatung tersebut berkembang biak.

Yilya berusaha untuk kembali mengatur napas, ia merasa mual ketika belatung tersebut mulai tumpah dari mulut Bu Eni. Apakah belatung tersebut bersarang karena mulut Bu Eni selalu berkata buruk, membicarakan orang lain, dan sering kali menyakiti orang lain? Yilya tidak mengerti, ia tetap terdiam dan mematung.

Brak!

Seketika Bu Eni menghilang.

Mas Arthur masuk ke dalam kamar sembari menatap Yilya heran.

"Ada apa?"

"Eung ... nggak, Mas."

"Duduk, Mas mau bicara," lanjut Mas Arthur mengalihkan pembicaraan.

"Kasihan Bu—"

"Mas mau bicara, Sayang."

"Bicara apa?" tanya Yilya sembari berusaha melupakan kejadian yang baru saja dialami olehnya.

"Mas ada bisnis di luar kota. Kemungkinan sampai beberapa hari. Jadi—"

"Mas mau izin?"

"Iya, Sayang. Mas ajak Nida juga, soalnya Nida ada juga ada urusan di sana. Jadi, kita berangkat sekalian."

"Aku, sih, nggak masalah, Mas. Berapa lama?" tanya Yilya berusaha menutupi rasa bahagianya.

Bagaimana mungkin Yilya tidak senang jika Mas Arthur dan Nida pergi untuk sementara dari rumah? Dengan begitu, Yilya dapat menyelesaikan urusannya secepat mungkin.

"Beberapa hari aja, nanti Mas akan segera kabari kamu. Mas harus berkemas sekarang."

"Mas berangkat besok? Kenapa mendadak?"

"Semua memang mendadak, Sayang. Mas bisa jaga diri, kok."

Yilya mengangguk cepat, dalam batinnya ia berkata, "Pasti bisa jaga diri, lah. Aku mempercayaimu, Mas. Orang yang akan menyakitimu sudah pasti segera kau bunuh terlebih dahulu."

Tidak butuh waktu lama, Yilya segera mengemasi keperluan Mas Athur. Meski tidak sepenuhnya ia kemasi, Yilya sangat yakin jika Mas Arthur pun memiliki tujuan atas kepergian ini. Yilya dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda pada suaminya. Kebohongan itu tidak bisa sepenuhnya ditutupi.

***

Mas Arthur mengecup singkat pipi Kyna—putri kecilnya—seraya berkata, "Kyna baik-baik di sini, ya, Sayang. Ayah nggak lama, kok. Jagain Dama juga, ya, Nak."

"Iya, Ayah. Kalau nanti pulang, Ayah beliin Kyna sama Dama boneka beruang, ya."

"Iya, Sayang." Mas Arthur tersenyum.

Senyum yang Mas Arthur lontarkan terlihat sangat tulus dan penuh cinta. Namun, mengapa Mas Arthur memiliki satu sisi yang sangat buruk? Sorot mata Mas Arthur pada Yilya dan kedua buah hatinya selalu menenangkan. Yilya sama sekali tidak menyangka jika selama ini, Mas Arthur ialah seorang pembunuh.

Perlakuan manis Mas Athur sama sekai tidak pernah membuat Yilya menaruh curiga selama ini. Yilya sama sekali tidak pernah melihat Mas Arthur melakukan tindakan kekerasan. Namun, kejadian malam itu membuat Yilya berpikir keras. Mengapa Mas Arthur melakukan hal tersebut?

"Mas pamit dulu, ya, Sayang."

"Aku juga, pamit, Mbak," lanjut Nida sembari tersenyum penuh arti.

"Hati-hati," balas Yilya singkat.

Mas Arthur dan Nida berlalu pergi. Yilya tersenyum penuh kemenangan. Ia tidak peduli dengan rencana suami dan adik iparnya. Yang terpenting, kini Yilya harus segera menyelesaikan masalahnya. Tanpa membuang waktu, Yilya segera berjalan menuju dapur. Untung saja dirinya telah menyiapkan perangkap tikus. Yilya selalu ingat jika dirinya memiliki kewajiban untuk memberikan Nyai Lie beberapa mayat tikus.

Tidak membutuhkan waktu lama, tikus-tikus yang ada di dapur telah masuk dalam perangkap. Namun, Yilya merasa bingung dengan tikus tersebut. Apakah dirinya harus memotong tikus tersebut menggunakan pusau? Oh, tidak. Yilya menggelengkan kepala cepat. Ia kembali mengingat tentang kejadian mengerikan yang dilakukan oleh Mas Arthur pada mayat Bu Eni.

"Terima kasih, Yilya." Suara itu terdengar tidak asing di telinga Yilya. Ia segera membalikan tubuh.

"Terima kasih untuk apa, Nyai?" tanya Yilya sembari meletakan kembali perangkap tersebut.

"Untuk tikus-tikus ini ... sekarang aku benar-benar yakin, hanya kau satu-satunya perempuan berhati malaikat yang mampu ... ah, sudahlah."

"Ada apa, Nyai? Tolong katakan!"

"Tidak, Yilya." Nyai Lie menggeleng cepat, ia mengambil perangkap tikus milik Yilya.

Sebelum membuka perangkap tikus tersebut, Nyai Lie meliuk-liukan tubuh sembari mengucapkan suatu perkataan yang sama sekali tidak Yilya ketahui maknanya. Yilya hanya diam ketika melihat tubuh Nyai Lie terus berputar-putar seperti manusia yang hilang akal.

Tidak lama setelah itu, Nyai Lie membuka perangkap tikus tersebut, kemudian mengambil satu persatu tikus tersebut dan memasukannya ke dalam mulut. Yilya menatap Nyai Lie dengan tatapan heran, Nyai Lie menggigit tikus tersebut, membuat banyak darah keluar dari mulut Nyai Lie. Seketika, Yilya menutup mulut menahan mual. Ini terlihat sangat menjijikan. Nyai Lie benar-benar memakan dan menghabisi tikus tersebut satu persatu.

Yilya benar-benar merasa mual. Untung saja ia tidak menumpahkan seluruh isi perutnya. Nyai Lie terlihat sangat buas, ia kembali menari di hadapan Yilya. Tarian yang dilakukan Nyai Lie membuat cipratan darah tikus dalam mulut Nyai Lie mengenai Yilya. Namun, Yilya tetap diam. Hingga akhirnya Nyai Lie membersihkan darah tersebut menggunakan selendang yang ia kenakan.

"Jangan takut, Yilya. Ini baru permulaan." Nyai Lie tersenyum tenang.

"Lalu, bagaimana dengan lelaki itu, Nyai? Aku belum—"

"Masih ada waktu, Yilya. Gunakan sebaik mungkin. Jangan biarkan dirimu terlambat menyadari semua."

"Bantu aku, Nyai. Malam ini aku harus mengungkap semuanya. Jika tidak, aku sama sekali tidak berani membayangkan kejadian itu nanti."

"Bantuan yang aku berikan tidak sepenuhnya dapat membantumu menyelesaikan perkara ini. Hanya kamu, perempuan berhati malaikat yang mampu menyelesaikan semua. Aku sangat yakin dan menyimpan harap yang besar padamu."

Yilya menghela napas seraya tersenyum kaku, ia berkata, "Semoga perkataanmu benar, Nyai."

"Lihat ... kau harus tahu akan hal ini." Nyai Lie menunjukan salah satu potongan jari manusia.

"Apa ini, Nyai?" tanya Yilya, ia tidak menyangka jika dirinya bisa melihat potongan tubuh manusia dengan jarak yang begitu dekat.

"Kau ingat Bu Eni? Dia akan terus menyimpan dendam pada suamimu. Dengan begitu, Bu Eni akan melakukan sesuatu yang buruk nanti. Berhati-hatilah."

"Aku sudah menduganya, Nyai." Yilya tersenyum tipis.

"Aku pergi dulu, sampai jumpa malam ini. Siapkan tanah kuburan yang masih basah sebagai pelengkap."

Nyai Lie menghilang dengan cepat.

Mayat Dalam Sumur (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang