Dendam

1.3K 144 4
                                    

"Kurang ajar kamu, Arthur! Berani-beraninya kamu—"

"Ada apa ini?" Suara gaduh Ki Barjo dan Mas Arthur membuat Yilya seketika menghampiri.

Tidak biasanya Ki Barjo dan Mas Arthur bergaduh. Bahkan Ki Barjo sampai menggunakan nada bicara yang sangat tinggi. Yilya sangat khawatir jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Meski air mata masih membasahi pipi, Yilya tetap berusaha meleraikan mereka.

Mas Arthur tampak salah tingkah. Ia menjawab, "Kamu istirahat saja, Sayang. Mas lagi ngobrol sama Ki Barjo."

"Ngobrol sampai teriak-teriak begitu, Mas?"

"Kita lagi membicarakan sesuatu. Kamu istirahat, ya. Keadaan kamu sekarang belum pulih. Mas tahu, kamu pasti masih kehilangan Kyna."

"Benar, Mas. Tapi ... apa Mas juga nggak ngerasa kehilangan Kyna?"

Ki Barjo tersenyum tipis ketika mendengar perkataan yang terlontar dari bibir Yilya. Melihat keadaan Yilya yang semakin memburuk, Ki Barjo mengurungkan niat terlebih dahulu untuk menceritakan yang sesungguhnya.

"Mas sangat kehilangan, Sayang. Mas—"

"Aku sama sekali nggak merasakan bahwa Mas benar-benar kehilangan Kyna!" seru Yilya kesal. "Maaf, Ki. Yilya masuk dulu," lanjutnya berpamitan pada Ki Barjo.

Ki Barjo mengangguk cepat. Ia terus memperhatikan pergerakan Yilya.

"Aku menyuruh Nyai Lie untuk membunuh Kyna karena dia—" ujar Mas Arthur kembali melanjutkan pembicaraan. Namun, belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, Yilya memotong perkataan itu dengan cepat.

"Apa?!" Napas Yilya tersenggal.

Mas Arthur mengusap wajah gusar. Ia menyesali kalimat yang keluar begitu saja tanpa melihat situasi. Padahal, ia merasa jika jarak antara dirinya berdiri dengan langkah kaki Yilya sudah cukup jauh. Namun, ternyata pendengaran Yilya sangat tajam. Air mata Yilya seketika berjatuhan, ia mendengar dengan jelas jika Mas Arthur-lah yang menyuruh Nyai Lie untuk membunuh buah hatinya. Perasaan Yilya hancur.

Pikirannya melayang jauh, berusaha menangkap satu per satu pertanyaan yang seketika muncul dalam benaknya. Yilya kembali melangkahkan kaki mendekat. Tubuhnya gemetar hebat, ia sangat tidak menyangka jika Mas Arthur ada kaitannya dengan kematian Kyna. Ayah macam apa dia? Bisa-bisanya terlintas dalam benak Mas Arthur untuk membunuh Kyna. Bocah kecil itu tidak tahu apapun!

"JELASKAN MAKSUD PERKATAANMU, MAS!"

Mas Arthur memejamkan mata sebentar, ia sangat merasa kacau. Sementara itu, Ki Barjo tetap bergeming. Yilya tidak peduli lagi jika ia menumpahkan kemarahannya di depan Ki Barjo. Yilya benar-benar merasa kecewa, marah, dan benci.

"Perkataan apa, Sayang ...?" tanya Mas Arthur dengan sangat lirih. Ia sangat berharap jika Yilya sama sekali tidak mendengar sesuatu yang keluar dari bibirnya. Padahal, kini Yilya tampak marah besar.

"Nggak usah berpura-pura, Mas! Aku dengar!"

Mas Arthur mulai gelagapan.

"Sayang ... maksud Mas—"

"Ki pulang dulu, Yilya. Selesaikan urusanmu dengan Arthur. Setelah itu, segera temui Ki untuk mengetahui kebenarannya. Mulai hari ini, Ki tidak akan menutupi sesuatu darimu. Binatang lebih terhormat dibandingkan dengan seorang ayah yang tega membunuh anaknya," jelas Ki Barjo sembari melontarkan senyum.

Yilya berusaha mencerna perkataan Ki Barjo. Namun, untuk saat ini ia tidak bisa. Pikirannya terlalu kacau untuk dapat mencerna perkataan orang lain jika lebih dari satu. Emosinya tidak stabil. Bayangan ketika dirinya mengandung dan melahirkan Kyna terus menghampiri. Pedih sekali!

"Mas ...  selama ini aku tidak pernah menanggapi semua pikiran buruk tentang kamu! Padahal, aku sudah tahu sebelumnya kalau Mas-lah seseorang yang membunuh Bu Eni!"

Mas Arthur semakin tercekat. Selama ini, ia memang menyadari jika Yilya mengetahui perbuatan kejinya. Tapi, Mas Arthur sangat tidak menyangka jika Yilya akan mengatakan hal tersebut dihadapannya. Selama ini, Yilya selalu bersikap baik. Ia sangat berusaha untuk bersabar dengan Mas Arthur. Namun, perkataan yang didengarnya mampu membuat Yilya sangat kalap.

"Mas tidak—"

"Dengar aku dulu, Mas!" bentak Yilya. Kini, ia sama sekali tidak dapat menahan emosi.

"Kyna itu anak kita! Dia darah daging kita, Mas. Orangtua mana yang tega membunuh darah dagingnya sendiri? Kamu masih punya akal, kan, Mas?"

"Yilya, kamu juga harus denger penjelasan Mas." Mas Arthur menatap lekat kedua bola mata Yilya. Namun, Yilya merasa sangat muak dengan tatapan itu. Padahal biasanya ia selalu menyukai tatapan menenangkan dari Mas Arthur.

"Penjelasan apa lagi, Mas? Sekarang aku tanya. Kamu korbanin Kyna? Untuk apa, Mas? Kenapa kamu jahat banget, sih?"

"Aku nggak ngorbanin Kyna, Sayang. Aku ... ak–aku ...."

"Aku apa, Mas? Kalau kamu nggak salah, kamu nggak akan kelihatan takut seperti ini. Aku nggak nyangka, ya. Mas berbanding jauh dengan apa yang ada di dalam benak aku! Selama ini, aku selalu berusaha melupakan kejadian malam itu. Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri kalau Mas dan Nida memutilasi mayat Bu Eni!"

Yilya berusaha mengatur napas. "Ternyata ini jawaban dari semua pertanyaan aku tentang mayat dalam sumur yang selama ini. Mas itu—"

"Jangan lancang, Sayang. Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, lebih baik diam." Mas Arthur mulai melontarkan sorot mata tidak suka. Ia mulai merasa kesal dengan perkataan istrinya.

"Mas, Kyna meninggal itu karena—"

"Karena kamu!" bentak Mas Arthur seketika meluapkan emosi.

Yilya terperangah dengan bentakan Mas Arthur. Bisa-bisanya ia menyalahkan Yilya? Sementara Mas Arthur-lah si pembunuh itu!

"Apa maksud kamu, Mas? KYNA MENINGGAL KARENA KAMU!"

"Kalau kamu tidak ikut campur tentang sumur itu, Kyna nggak akan pergi!"

"Dan kalau Mas nggak nyuruh Nyai Lie bunuh Kyna, dia juga nggak akan pergi, Mas! Aku benci sama Mas! Ternyata, Mas lebih jahat dari semua makhluk yang pernah aku temui, Mas! Mas—"

Plak!

Perkataan Yilya terhenti seketika. Jemarinya memegang pipi kanan yang terasa sangat perih. Mas Arthur tega menampar Yilya dalam kondisi seperti ini. Luka akibat kehilangan buah hatinya semakin bertambah. Ini kali pertama Mas Arthur bersikap kasar terhadap Yilya.

"Mas ...," lirih Yilya sembari menggelengkan kepala. Ia sangat tidak menyangka jika Mas Arthur akan setega itu.

"Mas peringati, ya, Sayang. Lebih baik kamu urusi hidupmu dibandingkan dengan ikut campur masalah orang lain!"

"Orang lain kamu bilang, Mas? Aku ini istrimu!"

"Kamu emang istriku, tapi kamu nggak berhak ikut campur urusan Mas! Ini akibatnya jika kamu ceroboh. Mas peringati sekali lagi, ya, Sayang. Jangan pernah ikut campur dengan kejadian yang ada pada sumur! Jika tidak—"

"Jika tidak, apa?" tanya Yilya cepat.

"Kamu akan tahu sendiri akibatnya!" bentak Mas Arthur. Ia berlalu pergi meski pembicaraan belum selesai.

Yilya menggerutu dalam hati. Ia merasa sesak dan sangat terluka. Yilya berjalan gontai menuju kamar Dama sembari memegang dada yang terasa sesak. Ia berharap ketika memeluk Dama, rasa sakitnya sedikit mereda.

"Sayang, maaf ... Bunda nggak bisa jagain Kak Kyna, Bunda udah buat Dama kehilasngan Kakak." Yilya terus menangis. Ia sangat tidak kuasa menahan rasa sakitnya.

"Bunda kenapa nangis?"

"Bunda nggak papa, Sayang ...." Dama tidak lagi menjawab perkataan bundanya.

Yilya mengepal kedua tangan. Dalam hati, ia berkata, "Aku akan membuatmu menyusul Kyna, Mas!"

Mayat Dalam Sumur (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang