Mas Arthur menyeret paksa tubuh Dama dari tempat tidurnya. Seorang ayah yang tidak memiliki hati nurani itu sama sekali tidak merasakan iba. Si kecil yang tengah tertidur pulas, seketika terkejut dan berusaha meronta, meski ia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Kakek ini siapa …?” lirihnya sembari mengejapkan mata. Tubuh kecil Dama di seret secara kasar hingga lorong dapur.
Yilya tampak sangat lemas saat melihat Dama diperlakukan buruk. Ia berusaha mengambil Dama dari tangan lelaki yang sudah berubah wujud menjadi tua itu. Bahkan putranya sendiri pun tidak dapat mengenali wajah asli ayahnya.
“Mas, lepasin Dama!” seru Yilya sembari merentangkan tangan, berusaha menghalangi Mas Arthur.
“Ini akibatnya! Kamu terlalu ikut campur urusanku!” Mas Arthur mendorong Yilya dengan kasar.
Mas Arthur kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini, Dama mulai berani berteriak, terutama saat ia melihat bundanya didorong begitu saja. Dama juga berusaha melepaskan diri, ia menggeliatkan tubuh. Namun apa daya, kekuatan Yilya saja tidak mampu menyaingi Mas Arthur, apalagi seorang bocah.
“Lepasin Dama! Lepasin!” seru Dama.
Dari pintu belakang, Ki Barjo menatap Arthur sembari menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir jika temannya itu tetap bersikeras melakukan tindakan bodoh yang akan merugikan dirinya. Ki Barjo melipat dada, ia mengangkat wajah, membuat rahangnya tampak jelas.
Dengan posisi demikian, wajah keriput Mas Arthur mulai menegang. Namun, keangkuhan yang melekat pada dirinya tidak pernah berubah. Mas Arthur mengeratkan gengaman tangannya pada Dama, membuat bocah itu meringis kesakitan. Teriakan Dama semakin histeris, merasakan nyeri disekitar pergelangan tangan.
“Kau ingat berapa mayat yang sudah mati di tangan mulusmu?”
Pertanyaan Ki Barjo mampu membuat pikiran Mas Arthur melayang jauh. Semenjak kejiwaannya terganggu, Mas Arthur sangat sulit mendengarkan orang lain. Ia menjadi pribadi yang keras dan bahkan lebih dari itu. Mas Arthur sudah membunuh puluhan mayat dengan sangat keji. Ia sama sekali tidak memikirkan kehidupan orang lain. Hanya karena kesenangannya, Mas Arthur menjadi manusia berhati iblis.
“Nida, simpan jari-jari ini. Aku mau buat sup daging manusia lagi besok.” Mas Arthur menggelengkan kepala ketika mengingat suatu percakapan antara dirinya dengan Nida.
“Baik, Mas. Jangan lupa juga, kita harus minum darah-darah ini untuk merawat kecantikan wajah dan tubuh,” balas Nida sembari memberikan sebuah teko yang erisikan darah manusia.
Seiring berjalannya waktu, Mas Arthur mulai menggunakan beberapa peralatan mengerikan untuk membantunya menghabisi nyawa perempuan muda. Ia melirik suatu ruangan yang terletak berhadapan dengan dapur, ruangan itu selalu tertutup rapat. Entah apa yang merasukinya, tiba-tiba Mas Arthur melepaskan genggaman tangannya pada Dama.
Mas Arthur menatap kosong ruangan itu.
Tanpa menunggu lama, Yilya segera meraih tubuh kecil Dama, ia memeluk buah hatinya dengan sangat erat. Yilya berusaha membuat ketakutan Dama mereda, pelukannya diharapkan dapat memberikan rasa aman pada Dama, seolah semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk.
Sementara itu, Mas Arthur tetap menatap kosong ruangan itu. Sampai akhirnya, perlahan tapi pasti, Mas Arthur membuka pintu itu dengan sekali sentuhan. Setelah pintu terbuka, ia melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan.
“Ki,” ujar Yilya menatap Ki Barjo. Tatapan itu seolah dipenuhi dengan tanya.
“Perhatikan saja, Yilya,” tegas Ki Barjo.
“Tapi, Ki, apa yang akan Mas Arthur lakukan?”
“Tidak ada, selain mengakhiri segalanya.” Ki Barjo tersenyum tipis. Pandangannya terus memperhatikan setiap langkah Mas Arthur.
“Mas!” seru Nida mengikuti langkah Mas Arthur. Wajah Nida sangat keriput dan kurus. Tampak jauh berbeda dengan wujudnya yang lalu.
Rambutnya yang hitam legam juga penuh pesona itu tergantikan dengan rambut putih, tidak terawat. Kantung mata Nida juga terlihat besar dan menghitam. Rupanya sangat berbeda, tidak ada aura memesona yang terpancar, Nida seperti perempuan lanjut usia yang tinggal menunggu kematian.
“Nida, lihat itu,” ujar Mas Arthur pelan. Ia menujukan lorong gelap yang menjadi jalan.
Lorong itu berada di bawah anak tangga. Tepatnya, ada sebuah ruangan yang lebih luas di bawah tanah.
“Aku sudah hapal setiap sudut ruangan ini, Mas. Ayolah, apa yang terjadi?” tanya Nida sembari mengangkat bahu.
“Tidak ada, Nida. Tapi, apa kamu pernah memikirkan sesuatu yang selama ini kupikirkan?”
“Apa?”
“Apa kamu pernah beranggapan kalau aku ini manusia berhati iblis?”
Nida menggeleng cepat. “Tentu saja tidak, Mas. Apa yang kita lakukan pun untuk kebaikan.”
“Bukankah semua itu tindak kejahatan?” ujar Ki Barjo menimpali permbicaraan mereka.
Ki Barjo sengaja mengajak Yilya dan Dama masuk ke dalam ruangan itu. Namun entah mengapa, di setiap langkah Yilya, ia terus mengingat kejadian yang dulu pernah ia hadapi. Yilya merasa bahwa dirinya pernah masuk ke dalam ruangan ini.
“Aku sangat yakin, aku pernah datang dan masuk ke dalam ruangan ini, tapi kapan?” batin Yilya bertanya.
“Diam, Barjo. Dan kau, tidak bisakah untuk berhenti mengikutcampuri urusanku?!” seru Mas Arthur sembari menunjuk wajah Yilya.
Yilya menghela napas kasar. Jemarinya tidak luput memeluk tubuh kecil Dama. Bocah kecil itu tampak kebingungan. Namun, ia dipaksa untuk bungkam saat itu.
“Lihat aku, Arthur! Sampai kapan kamu mau menghabisi nyawa perempuan muda yang ada di dunia ini? Lambat laun, bagaimana pun, kau akan tetap mendapat balasan.”
Ki Barjo mengakali sesuatu, ia harus berusaha membuat Mas Arthur meninggalkan segala tindak keahatannya. Dengan tatapan yang Ki Barjo berikan, ia menggunakan kekuasannya. Dengan begitu, setidaknya ia dapat membuat Mas Arthur berpikir bahwa tindakannya itu salah.
“Kamu lihat Yilya dan Dama. Bukankah kamu sangat mencintai mereka, Arthur? Jangan karena ego, kamu dapat kehilangan semuanya.” Ki Barjo menunjuk Yilya, membuat sang pemilik nama turut menatap Mas Arthur.
“Untuk apa aku masih mencintai perempuan kurang ajar seperti dia?”
“Hatimu sudah mati, Arthur. Tidakkah kamu melihat kasih sayang yang berbeda? Bagaimana mungkin kamu tidak dapat merasakan segalanya?”
Mas Arthur menghela napas. Ia melirik Yilya sekejap, setelah itu pandangannya kembali menuju lorong itu. Ia tidak lagi peduli jika Ki Barjo dan Yilya harus turut mengikutinya. Yilya harus menghadapi kejadian yang mungkin akan berlaku buruk padanya.
Sementara itu, bulir bening di pelupuk mata Dama sudah tidak dapat lagi tertampung. Akhirnya, tangis bocah itu pecah. Ia merengek ketakutan. Sampai Ki Barjo mengelus perlahan pucuk kepala Dama, membuat bocah itu tidak sadarkan diri dalam waktu yang sangat singkat.
“Dama,” seru Yilya merasa cemas.
“Dama berada di dalam peganganku. Jangan khawatir, setelah bangun nanti dia tidak akan mengingat segala kejadian malam ini.”
“Terima kasih Ki,” Yilya mengeratkan pelukannya, sesekali ia membenarkan posisi agar Dama tetap aman dalam pelukan.
Ketika mereka berjalan di dalam lorong itu, pikiran Yilya semakin terganggu.
“Ah, iya, pembunuh itu ternyata benar-benar Mas Arthur.” Yilya mulai ingat suatu kejadian yang pernah dialaminya bersama dengan Nyai Lie dulu.
Yilya mulai menatap satu persatu jemari Mas Arthur yang sudah dipenuhi banyak kerutan kasar. Ternyata benar, salah satu di antara jari itu memiliki cabang. Sulit dipercaya, saat itu Yilya merasa bahwa dirinya sangatlah bodoh.
“Bagaimana mungkin aku lambat menyadari semua ini?”
Setelah lorong itu terlewati, Mas Arthur menghentikan langkah tepat di depan alat pemenggal manusia yang sangat mengerikan.
Alat itu terbuat dari kayu, tampak sederhana. Setiap sisi alat dipenuhi dengan mata pisau tajam. Yilya tidak menyangka jika dirinya akan melihat dengan mata dan kepalanya sendiri jika ada alat yang dapat menghabisi nyawa manusia dengan sangat keji. Di bawah alat tersebut terdapat sebuah tempat berukuran sedang, bentuknya sama seperti mangkuk.
Tempat tersebut biasa digunakan untuk mengumpulkan darah manusia yang bercecer.
“Apa di antara kalian berdua ingin merasakan bagaimana sensasi berada dalam alat ini?” tanya Mas Arthur sembari memberikan tatapan mengerikan.
“Jangan mengada-ngada.” Bukan Yilya yang menjawab perkataan Mas Arthur, melainkan Ki Barjo.
“Di antara semua alat pemenggal manusia yang kurakit di jaman dahulu, aku sangat menyukai alat ini. Kau tahu kenapa?” Mas Arthur tidak melimpali perkataan Ki Barjo. Ia justru melontarkan pertanyan pada Nida.
“Kenapa, Mas?”
“Karena dengan alat ini, aku akan mendapatkan darah yang begitu banyak.”
“Tentu saja, kita tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk membuat—”
“Untuk membuat nyawa manusia lain mati di tangan kalian?” tanya Yilya menimpali.
“Kau pintar, Yilya. Tapi kau juga bodoh karena sudah bersikap seperti ini. Apa keuntungan yang akan kau dapatkan jika berhasil menyadarkan kami?” tanya Nida mulai berani untuk membuka suara. Lebih tepatnya, berani untuk bertanya pada Yilya.
“Aku dapat membuat ratusan nyawa manusia lain selamat. Kalian bukanlah Yang Maha Kuasa. Tiada berhak untuk membuat manusia lain kehilangan nyawa.” Penjelasan Yilya mampu membuat Nida diam.
“Kalau begitu, sekali lagi aku memberimu penawaran Yilya, apa kamu ingin merasakan bagaimana sensasi berada di dalam alat ini?”
“Tubuhmu akan merasakan sesuatu berbeda. Semua mata pisau akan menusuk kulitmu dalam waktu yang bersama. Setelah itu, kau akan merasa berputar dan dicabik-cabik. Sampai akirnya, tusukan demi tusukan itu akan membuat tubuhmu hancur,” lanjut Mas Arthur menjelaskan.
“Bukan hanya itu, kamu juga akan merasakan bagaimana perihnya. Ketika Yang Maha Kuasa belum bengizinkanmu untuk menghadapnya, kamu akan merasakan sakit yang luar baiasa,” jelas Nida melanjutkan perkataan Mas Arthur.
“Semua korbanku pasti meringis kesakitan. Bagaimana denganmu?” tanya Mas Arthur sembari berjalan mendekat Yilya.
Tubuh Mas Arthur sudah sangat bungkuk, bahkan tinggi badannya pun sudah sangat jauh dengan Yilya. Padahal biasanya Mas Arthur selalu tampak gagah dan berwibawa.
Mas Arthur mencolek dagu Yilya. Perlakuan itu tentu saja langsung Yilya tepiskan, Yilya merasakan lelaki itu bukanlah Mas Arthur. Selama ini, Mas Arthur selalu bersikap lembut, tidak licik seperti apa yang ia lihat saat ini
“Berhenti, Mas. Kenapa sangat berat untuk kamu menyudahi semuanya?” Suara Yilya terdengar lirih.
“Sekali lagi aku tekankan, ini bukan urusan kamu, Yilya!”
“Ini akan terus menjadi urusanku!” seru Yilya menegaskan perkataannya.
“Jadi, kau mau bermain-main denganku?” Mas Arthur kembali mendekat, ia memberikan tatapan yang tidak dapat dijelaskan.
Saat itu, Ki Barjo hanya diam memperhatikan. Ia sudah tahu, apa yang akan terjadi berikutnya. Terutama ketika Mas Arthur menjambak rambut panjang Yilya dengan tiba-tiba.
“Apa-apaan kamu, Mas?”
“Ayo kita bermain.” Mas Arthur tersenyum licik.
Lengan tua Mas Arthur kembali menarik tubuh Dama dalam pelukan Yilya, membuat Yilya sangat panik dan berusaha untuk lebih mengeratkan pelukannya. Dalam hati Yilya berharap cemas jika Mas Arthur melakukan suatu tindakan lagi.
“Mas, lepas!”
“Apa salahnya kalau kita barmain?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat Dalam Sumur (TERBIT)
Misterio / Suspenso"Kematian akan selalu mengintai keluarga kecilmu. Jangan sampai kau biarkan Kyna mati dalam keadaan yang mengenaskan!"