"Cuma kucing." Sayup terdengar suara Nida.
Yilya menghela napas lega. Ia bersembunyi di balik pintu setelah mendorong kucing tersebut. Ia masih merasa takut dan lemas ketika melihat dengan kedua bola matanya sendiri bahwa lelaki yang selama ini dicinta ternyata seorang pembunuh yang sama sekali tidak memiliki perasaan.
Dengan gerakan perlahan, Yilya berusaha bangkit untuk meninggalkan tempat di mana dirinya menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan. Yilya mulai memikirkan kelangsungan hidupnya. Bagaimana mungkin selama ini dirinya dapat menjalankan rumah tangga bersama Mas Arthur tanpa merasa ada sesuatu yang aneh darinya?
***
Seperti dugaan Yilya, kabar mengenai kematian Bu Eni mulai menyebar hingga ke sudut kampung. Bukan hanya tentang mayat Bu Eni yang belum ditemukan, tetapi ketika ada salah satu warga yang menaruh curiga pada Mas Yono. Mas Yono ini seorang pendatang baru saja yang menetap. Semenjak kedatangan Mas Yono, banyak terjadi kejanggalan-kejanggalan. Salah satunya, kematian Bu Eni yang terbilang sangat tidak masuk akal meski pada dasarnya, Mas Arthur-lah si pembunuh itu.
"Mau ke mana?" tanya Mas Arthur sembari menyeruput kopi hitam yang sudah Yilya sediakan.
"Ke rumah Bu Eni. Pasti banyak warga datang untuk mencari pelaku dari hilangnya mayat Bu Eni."
"Mayat? Bu Eni meninggal?"
"Nggak usah pura-pura, Mas. Satu kampung sudah tahu kalau Bu Eni sudah meninggal meski mayatnya belum ditemukan."
"Gosip dari mana itu? Bukannya Bu Eni cuma hilang, ya? Gimana ceritanya orang-orang bisa tahu kalau Bu Eni ini sudah meninggal kalau mayatnya saja belum ditemukan?"
"Nggak tahu, Mas. Aku pergi dulu, ya." Yilya beranjak keluar dari rumah.
Bu Eni pergi karena pembunuhan malam itu. Namun, Mas Arthur seolah tampak sama sekali tidak merasa bersalah. Sepertinya, Mas Arthur sudah biasa dengan korban-korban yang sudah ia habisi nyawanya. Mas Arthur benar-benar bisa menyembunyikan jiwanya yang tidak masuk akal itu. Bahkan, wajahnya sama sekali tidak terlihat cemas dan khawatir akibat hal yang baru saja diperbuat.
Yilya pergi bersama Bu Nirma. Sepanjang perjalanan, mereka saling bercakap satu sama lain hingga sampai di rumah Bu Eni. Banyak warga yang berkumpul. Di antara mereka, beberapa orang sibuk bertanya satu sama lain mengenai hilangnya Bu Eni untuk proses penyelidikan. Sesekali Yilya merasa cemas, bagaimana jika hasil penyelidikan itu mengungkap bahwa Mas Arthur-lah si pembunuh? Bagaimana pun, Mas Arthur tetaplah suaminya.
"Silakan duduk, Bu," ujar salah satu perempuan remaja–anak dari Bu Eni–dengan mata sendu.
Dapat terlihat dengan jelas, sorot matanya penuh dengan kesedihan. Yilya merasa, perempuan tersebut merasa takut dan cemas atas kabar buruk yang menimpa orang tuanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Bu Nirma mulai membuka suara.
"Dari semalam, Bu Eni belum pulang. Salah satu penjaga kampung bilang, dia menemukan banyak darah di bawah pohon yang berada di jalan sepi."
"Apa mungkin Bu Eni korban tabrak lari?"
"Sepertinya tidak, akses jalan tersebut tidak banyak dilewati kendaraan."
"Lalu bagai—"
"Mayat Bu Eni sudah ditemukan!"
Semua orang yang berada di dalam ruangan segera menoleh ke asal suara. Kabar tersebut tentu saja membuat Yilya semakin merasa heran dan cemas.
"Di mana? Ibu saya masih hidup! Jangan seenaknya kalau bicara!" bentak putri Bu Eni sembari mengusap air matanya yang terus membasahi pipi.
"Maaf, Nak. Ibumu ... sudah tiada."
"TIDAK! IBU MASIH HIDUP!"
Yilya merasa sesak atas apa yang dilihatnya. Entah mengapa, seketika ia mengingat ancaman yang diterima jika dalam kurun waktu yang sudah ditentukan dirinya belum menemukan lelaki yang sudah membunuh mayat-mayat tersebut, nyawa Yilya yang akan menjadi taruhannya. Yilya tidak habis pikir bagaimana jika Kyna dan Dama pun merasa kehilangan sosok yang dicinta.
"Duduklah! Katakan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Bu Nirma.
"Bu Eni sudah ditemukan! Sungguh! Ada banyak orang di dekat sungai kampung. Mereka menyaksikan sendiri bahwa mayat Bu Eni berada di dalam sebuah kardus mie instan dalam keadaan yang sangat hancur!"
"Astagfirullah ...." Semua orang yang mendengarkan berita tersebut tampak sangat terkejut dan tidak percaya dengan berita yang baru saja mereka dengar.
"Saya rasa, Bu Eni ini korban mutilasi."
Dada Yilya terasa sangat sesak. Ia mulai cemas, bagaimana jika seluruh warga mengetahui jika Mas Arthur-lah si pembunuh itu?
"Mayat Bu Eni sangat memprihatinkan. Tubuhnya hancur, bahkan wajahnya sudah tidak lagi dapat dikenali. Namun, suami Bu Eni mengatakan bahwa itu benarlah mayat istrinya karena terdapat tanda lahir di bagian pinggang yang masih dapat terlihat."
"Ini tidak bisa dibiarkan! Siapa pun pembunuh itu, harus mendapatkan balasan yang setimpal!" teriak seorang perempuan yang usianya sudah lanjut. Perempuan tersebut merupakan orang tua–ibu–dari Bu Eni.
Bu Nirma menoleh ke arah Yilya seraya menggenggan jemarinya. Ia berkata, "Saya tahu jika Bu Yilya merssa cemas. Jangan tunjukan raut wajah seperti itu dihadapan orang lain. Bersikaplah tenang, jangan membuat orang lain merasa ada kejanggalan di sini."
"Bu Nirma—"
"Saya tahu." Yilya mengangguk cepat.
Yilya merasa ada yang aneh dengan Bu Nirma. Sebenarnya, Bu Nirma itu siapa? Mengapa dirinya selalu mengetahui apapun yang sudah terjadi.
Tidak lama kemudian, datanglah beberapa orang dengan raut wajah kesal. Ia berteriak, "Warga baru itu seorang pembunuh! Aku sangat yakin jika Bu Eni pergi dengan alasan!"
"Warga baru?" ujar Yilya pelan sembari meremas ujung baju.
"Mas Yono! Dia baru datang ke kampung ini kemarin. Semenjak kedatangannya, banyak sekali kejanggalan di kampung ini. Sampai hari ini, kejadian buruk menimpa Bu Eni."
"Mas Yono yang tinggal di dekat pedagang pecel?"
"Iya, benar! Dia pasti pembunuh!"
Keributan mulai terjadi. Banyak sekali perbedaan pendapat yang terjadi akibat dugaan semrntara bahwa Mas Yono merupakan pembunuh dari mayat Bu Eni. Padahal, si pembunuh itu tanpa merasa berdosa hanya diam di rumah sembari meminum secangkir kopi.
Yilya dan Bu Nirma segera berpamitan untuk pulang. Sepanjang perjalanan, kini mereka hanya diam dan sibuj bergelut dengan pikiran masing-masing. Sementara itu, sesampainya di rumah, Yilya melihat Nida memberikan pisau pada Mas Athur.
"Apa lagi yang akan mereka lakukan?" Batin Yilya berucap.
"Jangan lupa, ya, harga jual pisau ini nggak bisa lebih murah. Sudah harga pas," ujar Mas Arthur terlihat panik dan berusaha mengalihkan pembicaraan ketika melihat Yilya memasuki rumah.
"Siap, Mas. Kalau pisau ini pasti bisa laku dengan harga yang cukup mahal, sih." Terlihat dengsn jelas bahwa Nida pun mulau mengerti dan mengikuti drama yang Mas Arthur lakukan.
Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Yilya tidak mengubris obrolan palsu yang keluar dari Mas Arthur dan adik iparnya. Ia bergegas masuk ke dalam kamar.
Namun, betapa terkejut dirinya saat melihat Bu Eni berada di sudut ruangan sembari tersenyum padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat Dalam Sumur (TERBIT)
Misterio / Suspenso"Kematian akan selalu mengintai keluarga kecilmu. Jangan sampai kau biarkan Kyna mati dalam keadaan yang mengenaskan!"