Selamat tinggal, Bunda

1.4K 151 4
                                    

Dama membuka kedua bola mata perlahan ketika ia sudah sadar. Jemarinya memegang alat penutup mata yang sengaja Yilya pakaikan agar buah hatinya tidak dapat melihat mayat-mayat itu.

"Bunda, Dama nggak bisa lihat ...," lirih Dama menahan tangis. "Kenapa mata Dama ditutupin?"

"Dama, jangan dibuka, Sayang. Dama tenang, ya. Bunda ada di sini, kok." Yilya berusaha menenangkan Dama ketika bocah itu berusaha membuka tutup mata.

"Tapi, Dama takut, Bunda," ujar Dama sembari mengeratkan pelukan.

"Nggak papa, kok, Sayang," balas Yilya menjeda perkataannya. "Dama mau nurut sama bunda nggak?"

"Kenapa, Bunda?"

"Gimana kalau malam ini Dama nginep di rumah Kiki Barjo?"

Dama tampak terkejut mendengar ucapan bundanya. Namun, hal tersebut Yilya lakukan agar Dama tidak dapat melihat kejadian mengerikan yang ada dalam rumah. Yilya tidak mau Dama lebih merasa takut. Ia terlalu kecil, bahkan orang dewasa pun belum tentu dapat sanggup menghadapi kejadian mengerikan ini. Berada dalam rumah yang dipenuhi oleh puluhan mayat, sampai setiap sudut ruangan dipenuhi dengan darah segar dan makhluk menjijikan.

"Sama Kak Kyna juga?" tanya Dama.

"Emm ...." Yilya kebingungan ketika mendengar pertanyaan buah hatinya.

"Kita berdua, kan, Bun? Dama nggak mau nginep kalau sendiri."

"Kak Kyna itu ...."

"Apa, Bunda?"

"Kak Kyna nginep di rumah Bu Nirma. Dama nginep di rumah Kiki Barjo, ya, Nak."

"Emangnya, kenapa Dama harus nginep di rumah Kiki? Dama, kan, bisa nginep di rumah Bu Nirma juga, sama kaya Kak Kyna."

"Sayang ...."

"Iya, Bunda. Dama mau," ujar Dama pelan. Bocah itu tidak lagi melanjutkan pertanyaan.

Yilya sangat bersyukur memiliki buah hati yang sangat penurut. Jika Yilya mulai menegaskan suatu kata, Dama tidak akan melontarkan pertanyaan lain. Akhirnya, Yilya segera membawa Dama ke rumah Ki Barjo. Biarkan Dama berada di tempat yang aman. Yilya terus memanjatkan doa agar masalah ini segera selesai. Terutama atas hilangnya Kyna. Meski baru beberapa saat, Yilya terus dipenuhi rasa sesal. Ia merasa tidak dapat melindungi buah hatinya.

Setelah Yilya mengantarkan Dama menuju rumah Ki Barjo, ia kembali menutup pintu dengan rapat. Seketika Yilya dikejutkan oleh mayat-mayat itu. Mereka bangkit bersamaan. Melayang, mondar-mandir tanpa tujuan, serta melontarkan tawa yang amat mengerikan.

Yilya berusaha mengatur napas, ia tidak boleh terpancing. Biarkan mayat-mayat itu melakukan apapun. Yang pasti, kini Yilya memiliki satu ide. Ia berharap jika ide itu dapat membuat teka-teki yang ada di dalam rumah kumuh ini setidaknya dapat terbongkar meski hanya sedikit.

"Apa kalian dapat mendengar suaraku?" tanya Yilya seraya menyapu pandangan.

Mayat-mayat itu seketika menghentikan kegiatan. Mereka menatap Yilya penuh tanya. Tatapan itu membuat Yilya yakin bahwa mereka merupakan korban dari dalam sumur, bukan kiriman mayat jahat yang Nyai Lie berikan. Toh, sampai saat ini Yilya belum melihat tanda-tanda mengenai serangan yang akan mereka lakukan.

"Aku bisa," ujar salah satu perempuan bertaring panjang. Ia berkata demikian, tepat di samping telinga Yilya.

"Kalau begitu—"

"Kami akan membunuhmu dengan perlahan," sambung salah satu di antaranya sembari melontarkan senyum penuh arti.

"Jika kalian membunuhku, kalian tidak bapat kembali pada Sang Pencipta," balas Yilya berusaha tenang.

Mayat Dalam Sumur (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang