“Bunda, Dama mau itu!” Dama menunjuk salah satu pedagang roti bakar.
“Kyna juga mau. Boleh, kan, Bunda?”
“Boleh, Sayang.” Yilya mengangguk cepat, ia memberikan dua selembar uang berwarna ungu. “Jangan lupa, kembaliannya, ya.”
“Siap, Bunda. Bunda sama Bu Nirma mau juga?”
“Mau, Bu?” tanya Yilya kepada Bu Nirma sebelum menjawab pertanyaan putri kecilnya.
“Tidak, Bu.”
“Oke, kalau gitu roti bakarnya buat Kyna sama Dama aja, ya. Bunda sama Bu Nirma nggak mau, Sayang.”
“Iya, Bunda.” Kyna segera menggandeng adiknya, kemudian berlari menuju penjual roti bakar.
Sementara itu, Yilya dan Bu Nirma berjalan menepi, mereka membeli es jeruk sembari duduk menunggu Kyna dan Dama. Tidak bisa dipungkiri, meski Bu Nirma selalu bersikap baik dan menjadi orang yang selalu menemaninya, Yilya tetap merasa canggung jika tidak ada obrolan yang harus dibahas. Pembicaraan Yilya dan Bu Nirma selalu serius, jarang sekali mereka saling melontarkan tawa.
***
Setelah pulang dari pasar malam, Kyna dan Dama dapat terlelap dengan cepat.
Tanpa arahan dan suruhan dari siapapun, Yilya mengambil kain kafan dan perlengkapan lainnya untuk kembali melakukan sesuatu. Ia bertekad untuk segera menyelesaikan semuanya. Setidaknya, ada satu titik di mana dirinya dapat menyadari suatu hal yang selalu Ki Barjo ingatkan. Mengenai sudut pandang yang tak pernah ia hiraukan sebelumnya, Yilya menghela napas berat. Entah mengapa bayangan Nyai Lie selalu mengusik dirinya.
Sejak pertama kali bertemu dengan Nyai Lie, perempuan yang muncul dari dalam lukisan penari yang Mas Arthur berikan itu sangatlah menyeramkan. Namun, mengapa kini dirinya selalu bersikap baik dan berusaha membantu Yilya untuk menyelesaikan masalah? Awalnya, Yilya sama sekali tidak menaruh curiga. Toh, Nyai Lie benar-benar selalu hadir kala ia merasa kesusahan.
Rasa curiga itu datang akibat pikirannya yang melayang jauh. Nyai Lie selalu menggengam bahu Yilya ketika ia berurusan dengan mayat-mayat itu. Malam ini, Yilya hanya akan membacakan mantra yang Ki Barjo berikan tanpa memanggil Nyai Lie untuk turut serta membantunya.
Dengan cekatan, Yilya duduk di tengah kain kafan tersebut. Namun, ia kembali ingat perkataan Ki Barjo. Yilya segera mengambil tanah kuburan yang sengaja ia simpan di dalam lemari, ia berharap jika tanah tersebut masih bisa digunakan untuk menyelamatkan hidupnya. Tidak lupa juga, Yilya mengantongi serbuk dan cincin yang diberikan oleh Ki Barjo, khawatir jika ada kejadian buruk.
Tidak seperti biasanya, Yilya dapat merasakan jika Nyai Lie tidak muncul dan memegangi bahunya. Yilya belum membuka kedua bola mata, ia masih memantapkan diri. Berharap jika malam ini—setidaknya—ia mampu melihat titik terang. Ketika pejaman mata terbuka, Yilya melihat sesuatu yang dulu pernah ia lihat ketika masuk ke dalam sumur.
Keadaan sumur seketika berubah menjadi ruang pembunuhan. Puluhan mayat tergeletak. Bukan hanya itu, Yilya menyaksikan dengan jelas penyiksaan yang di hadapi gadis-gadis lugu. Mereka diperlakukan sangat buruk. Yilya tidak bisa melihat wajah si pembunuh itu, yang pasti cara menghabisi gadis-gadis itu terlihat sangat mengerikan. Lelaki itu terlihat seperti orang kesetanan.
Gadis-gadis itu dirantai dan juga dipasung. Mereka terlihat lemah, menyerah dengan keadaan yang tentu saja harus mereka terima. Seolah, mereka menunggu giliran untuk mati dalam keadaan yang mengenaskan. Ketika giliran itu tiba, tubuh mereka akan dipenggal, disayat, dipotong, dan ditusuk hingga hancur. Yilya hanya bisa diam dan berusaha untuk mencermati sesuatu yang ia lihat. Bentuk tubuh si pembunuh itu sangat berbeda dengan Mas Arthur, ia terlihat lebih kurus dan memiliki model rambut yang juga berbeda. Yilya sangat berharap jika pembunuh itu benar-benar bukan Mas Arthur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat Dalam Sumur (TERBIT)
Mystery / Thriller"Kematian akan selalu mengintai keluarga kecilmu. Jangan sampai kau biarkan Kyna mati dalam keadaan yang mengenaskan!"