Bab 1: Me Time

2.3K 57 2
                                    

'Pandangan pertama tak mengapa bagimu, namun yang kedua terhitung dosa.'

Laila POV

Aku terbangun oleh suara jeritan alarm ponselku yang menyanyikan lagu milik Fools Garden- innocence. Aku menarik nafas lelah dengan mata masih tertutup, aku meraba ranjang queen size yang berwarna biru gelap dengan motif galaxy, lengkap dengan bintang-bintangnya. Ok, aku memang sedikit kekanakan. Tanganku yang malas akhirnya menemukan biang kerok yang menganggu tidurku yang tidak terlalu menyenangkan. IPhone jet black yang aku beli dengan gaji ketiga belasku, alias bonus-bonus yang aku dapat dari atasanku tiga tahun yang lalu.

Aku mengerutkan alisku, menyipitkan mataku yang masih tertutup dengan marah, seperti ketika aku menatap pintu kantor atasanku ketika aku akan menghadapnya. Mataku masih terasa perih, tak mau dibuka. Ku tekan-tekan layar ponselku dengan geram, karena suara band favorit ku itu terasa memuakkan saat ini. Aku ingin tidur. Allahu Akbar!

Nyala lampu layar home screen ku kini menusuk mataku yang masih terasa perih karena terbuka dengan paksa beberapa detik lalu. Aku mendesis seperti ular tidur yang dibangunkan saat jam di layar yang sama menunjukkan pukul empat pagi.

Aku membiasakan diri untuk bangun sebelum subuh agar sempat salat tahajud meski kadang aku kembali tidur lagi ketika pengingat setiaku itu membangunkan ku. Tetapi sudah tiga hari aku absen. Hatiku tidak nyaman. Ada yang hilang. Akhirnya dengan hati yang berat dan mata yang perih aku bangun, duduk untuk mematikan alarm yang aku sayang sekaligus aku benci. Lalu menyalakan lampu di meja kecil dekat dengan ranjang ku sebelum menggeser kaki malasku dan menjatuhkannya di lantai berkarpet dengan sedikit keras berharap sambungan listrik di dalam otakku mulai tersambung dan aku bisa kembali menyambut hariku dengan rutinitas yang monoton dengan lebih hidup dan bersemangat. Karena jujur, pagi ini aku tidak ingin pergi meninggalkan ranjangku.

Mungkin karena suara hujan yang belakangan aku dengar mengantikan teriakan Fools Garden. Aku sedikit membungkuk untuk menaruh ponselku tepat di bawah lampu meja, lalu kembali berdiri tegak, menarik nafas, menguap sambil meregangkan tulang-tulang kecilku yang kebanyakan duduk di kantor. Rasa-rasanya aku semakin memendek, karenanya aku selalu memakai unkle boots agar aku terlihat lebih tinggi beberapa senti.

Langkahku menuju kamar mandi kuawali dengan bacaan basmalah dan doa sebelum masuk kamar mandi. Sorot mataku menjadi lebih terang ketika aku keluar dari kamar mandi, mungkin karena basuhan air wudhu. Setelah menggumankan doa keluar kamar mandi aku bersegera menuju matras yang dibalut sajadah berwarna biru yang berlatar Ka'bah di seberang ruangan, tepatnya di dekat jendela.

Sambil memakai mukenah berwarna biru langit aku mengintip ke luar jendela yang tertutup tirai putih, namun suasana remang di dalam kamarku tidak membantu penglihatanku sama sekali. Aku tidak bisa menerawang apa yang terjadi di luar sana. Aku hanya bisa mendengar suara gemericik hujan yang mulai mesra. Mungkin langit dan bumi sudah berdamai setelah pertengkaran mengagumkan mereka sepanjang malam. Jeritan halilintar dan tangisan langit yang sejak aku pulang dari kantor sangatlah kejam, aku pulang basah kuyup, meski aku menggunakan payung sebagai pelindungku. Bisa dibayangkan beberapa area sudut kota yang akan tengelam dalam kesedihan yang sama sepertiku. Banjir adalah tamu menahun yang selalu akan datang di kota ini. Setidaknya ini pendapatku hingga ada solusi yang masuk akal dan tepat sasaran.

Sambil menggumankan doa ketika turun hujan yang terlambat aku ucapkan, aku memalingkan wajahku dari pemandangan yang menenangkan sekaligus membuatku gelisah itu. Berdiri di atas matras ku, bersiap untuk menyembah Rabb semesta alam, Allah S.W.T.

Setelah beberapa saat tenggelam dalam perbincangan mesra dengan Rabb pemilik jiwa dan ragaku, terdengar suara adzan di kejauhan di kota yang masih lelap ini. Hatiku lebih tenang, serpihan yang hilang itu kembali kepadaku. Ku lanjutkan dengan salat sunnah fajar, karena aku selalu mengingat bahwa tidak ada kekayaan di dunia ini yang melebihi dua rakaat yang awalnya terasa berat itu. Lalu salat subuh.

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang