Dugaan Cecil dan Kafka benar, para karyawan udah berdiri di depan ruangan bosnya semenjak Yoga sampe. Namanya fakta kan nyebarnya cepet ya, walaupun ngga secepet berita hoax di whatsapp keluarga sih. Jadi, udah ngga ada meeting-meeting lagi, langsung ngasih undangan dan langsung ditodong buat pajak jadian, pajak backstreet, dan pajak soon to be marriage couple.
Semua karyawan langsung dikasih tau harus ke tempat apa karena Kafka udah keburu booking tempat itu. Bukannya seneng, semua karyawan malah agak bete. Bukan bete karena ngga suka sama tempatnya, mereka semua tau tempat yang dipilih sama bosnya itu tempat mahal. Masalahnya adalah mereka pake setelan kantor, ngga cocok banget buat tempat itu. Selain karena kostum, mereka juga protes mau ajak keluarga mereka ke tempat mahal itu.
"Nanti pake baju bagus sama ajak keluarganya di pernikahan aja. Gedung nikahan saya lebih bagus dari tempat itu kok," ucap Kafka tadi.
Dan disinilah mereka sekarang, di satu tempat yang namanya sih café ya tapi kalo dari dekor dan menunya lebih cocok disebut fine dining restaurant. Dendi tetep ikut walaupun masih dijutekin sama kakak alias Cecil. Anak itu ngga peduli orang marah, selama dia bakal makan dia tetep ikut. Toh dia tau banget kakaknya ngga akan bisa marah lama-lama, kan nanti pulang juga nebeng dia.
Dendi menunjuk beberapa gambar di menu makanan. Anak itu agak norak, ngga kaya kakaknya yang jauh lebih norak. Walaupun Cecil marah sama adeknya, tapi dia nunjuk menu yang sama kaya yang adeknya pesen. Mereka lahir dari ibu yang sama, hasil dari bapak yang sama, pasti selera mereka sama. Setelah menu kelima yang Dendi tunjuk, Cecil memicingkan mata ke adeknya. Dengan sekuat tenaga ia memukul tangan adeknya yang masih berniat membalik halaman buku menu.
"Jangan aji mumpung, kita dibayarin, jangan bikin malu," bisik Cecil galak.
Dendi menoleh. "Justru karena dibayarin, harus memanfaatkan keadaan." Lalu anak itu membalik buku menu, dia menunjuk red velvet sebagai dessertnya. Ia menoleh ke kakaknya yang masih menatapnya galak. Ia tersenyum, lalu menoleh ke pelayan. "Ini dua."
"Kok dua?" tanya Cecil.
"Buat Yoga sama Mba."
"Mba kan ngga bilang mau itu," jawab Cecil.
"Tapi daritadi Mba ikutin semua pesenan Yoga, berarti yang ini juga. Tapi kalo Mba ngga mau juga ngga masalah, Yoga bisa abisin dua-duanya."
Setelah itu Yoga dan Cecil menutup buku menunya. Hal itu dilihat oleh Kafka. "Kok udah pesennya? Pesen lagi aja, ngga apa-apa kok."
"Jangan, Ka, ini anak tuh ... aduh parah deh!" Cecil kehabisan kata-kata.
"Ngga apa-apa, Cil. Yoga kan calon adek aku, masa buat adek sendiri pelit? Kamu liat karyawan yang aku traktir banyak, masa buat adek sendiri dibatasin?" tanya Kafka lembut. Ia meminta kembali buku menu yang tadi udah calon adek iparnya kasih ke pelayan.
Dendi tersenyum sumringah. "Mba, keluarin semua yang enak-enak." Ia tertawa ke arah Kafka dan Cecil. "Lumayan, amunisi sebelum jadi anak kos di Belanda."
📝📝📝
"Ih, gila ya! Ini kan restoran terkenal mahal, masa yang dateng cuman se-umprit gini?" tanya Cecil tak percaya.
Kafka tertawa. "Makanya aku suruh pesen yang banyak."
"Ih, dia mah norak," kata Dendi enteng. "Ngga pernah makan di restoran mahal sih,"
Cecil melotot. "Emang kamu pernah?"
"Ya engga, tapi kan pernah nonton."
"Mba juga pernah nonton, tapi kirain dibikin dikit gitu karena artis-artisnya jaga badan."
KAMU SEDANG MEMBACA
PFS [2] : Mr. Boss & Ms. Secretary (On Hold)
RomanceAwalnya Kafka suka kinerja sekretarisnya yang teliti, rajin, punya inisiatif yang tinggi dan cekatan. Tapi, lima tahun kerja bareng, dia sadar kalau dia udah terlalu nyaman bahkan membutuhkan kehadiran sekretarisnya. Bukan cuma di kantor, tapi di hi...