Ta'aruf?

70 19 4
                                    

Keadaan menjadi hening tanpa seberkas suara yang hadir di kamar dengan dominasi warna pastel itu. Gadis yang masih mengenakan sweater rajut hitam itu tidak tahu harus berbuat apa untuk memejamkan kedua matanya yang telah berubah menjadi mata panda. Sejak semalam, dia tidak bisa tidur dan mengalami insomnia. Pikirannya tidak mau beranjak dengan seluk beluk kehidupannya dan perginya seseorang yang dicintainya.

Selimut yang membungkus tubuhnya dia raih untuk tetap menghangatkan tubuh. Dia pun beranjak keluar dari kamar dengan langkah terseok-seok. Bahkan, anehnya, dia tidak menyadari jikalau demam tengah menyerang tubuhnya. Dia terus berjalan pelan menghampiri Bu Ana yang sedang menyiapkan sarapan.

Melihat penampilan majikannya yang begitu memprihatinkan itu. Bu Ana cepat-cepat menghampiri. "Non Ratu? Non Ratu kenapa pucat sekali?" tanya Bu Ana membantunya duduk di kursi.

Ratu menggeleng. "Ratu nggak papa kok, Bu."

Bu Ana memegang keningnya yang sudah demam tinggi. "Ya Allah. Tidak papa bagaimana? Ini Non demam lho."

Tidak menanggapi ucapan Bu Ana, Ratu memilih meletakkan kepalanya di meja makan sambil menarik selimut hingga hampir menutupi seluruh tubuhnya.

"Ibu panggilkan dokter ya, Non?"

"Nggak usah, Bu. Ratu cuma mau Ibu panggilkan Sultan, itu saja," balas Ratu tanpa mengangkat kepalanya yang sudah terlalu pening.

Ya Allah. Jadi, semalam Non Ratu demam karena mikirin Sultan? Ya Allah, hamba jadi merasa bersalah telah memberikan izin kepada Sultan untuk pergi. Kasihan Non Ratu. Ya Allah, semoga Non Ratu segera sembuh. Aamiin.

"Non." Bu Ana memegang pucuk kepala Ratu dan mengelusnya pelan. "Ibu minta maaf ya kalau sikap anak Ibu pada Non Ratu menyakiti hati Non Ratu."

Ucapan Bu Ana, sontak menarik wajah pucat Ratu terangkat. Ratu menggeleng. "Enggak kok, Bu. Justru Ratu yang harusnya minta maaf sama anak Ibu, karena Ratu selalu buat dia kesal. Ya ... mau gimana ya? Soalnya Sultan itu cowok yang aneh," ujar Ratu dengan jujur.

"Aneh? Aneh bagaimana, Non?"

"Ya itu. Masak ada cowok yang nggak mau diajak pacaran? Masak ada cowok juga yang digandeng aja nggak mau? Dan lagi, ada ya, cowok zaman sekarang yang sholeh-nya keterlaluan?" sungguh pertanyaan-pertanyaan yang penuh jalan lurus. Sepertinya Ratu harus tahu dan mengerti tipe cowok apakah seorang Sultan itu.

Sebelum menjawab, Bu Ana mendudukkan diri di kursi samping Ratu. "Begini, Non. Sultan itu bukannya aneh. Dia hanya berusaha menjaga batasan-batasan yang memang seharusnya ada di antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Karena batas-batas itupun diatur di dalam islam. Dan Ibu rasa, Non perlu mempelajarinya sendiri, maklumlah, ilmu Ibu juga belum seberapa."

"Batasan?"

"Jadi pacaran pun nggak boleh?" tambah Ratu.

"Berdekatan saja tidak boleh apalagi pacaran, Non. "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." Qur'an surah Al Isro’ ayat 32," jelas Bu Ana.

Ratu semakin pesemis untuk mendapatkan hati Sultan. Caranya sudah habis baterai guna mencapai tujuannya itu. Ditambah permintaan Salman padanya yang belum juga menemukan petunjuk. Wajah Ratu semakin melesu usai mendapat nasehat dari Bu Ana.

"Kalau Ratu sama Sultan nggak bisa pacaran, terus gimana dong?" tanya Ratu lirih, namun rupa-rupanya terdengar oleh telinga Bu Ana.

"Ya tidak perlu ada pacar-pacaran, Non. Langsung nikah saja." Ratu agak dibuat tercengang kala Bu Ana ternyata mendengar ucapan lirihnya.

Ratu & Sultan [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang