Sultan menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan meja belajar Ratu yang notabene masih seorang mahasiswa S-2 di salah satu universitas swasta di Jakarta. Dibukanya sebuah buku bersampul hitam, buku yang tak lain telah dia cari-cari keberadaannya selama hampir lima tahun ke belakang. Nyatanya, Sultan malah menemukan buku hariannya itu di loker meja belajar Ratu secara tidak sengaja setelah mencari-cari bolpoin.
"Sepertinya aku melupakannya di kamar sebelum hari itu aku pergi dari rumah ini," pikir Sultan membuka-buka kembali lembaran hariannya.
Satu hari terakhir yang dia tuliskan di buku harian itu selesai dia baca. Namun, perhatiannya seketika tertuju pada goresan tinta yang bukan dia pemiliknya. Lalu, siapa lagi kalau bukan si pemilik kamar ini yang menuliskan dan membacanya?
Sultan tersenyum singkat tatkala menjumpai tulisan basmalah yang Ratu coba tulis dengan huruf Arab seperti yang dia tuliskan di setiap tulisannya. Setidaknya Ratu sudah berusaha.
Bismillahirahmanirahim.
Maaf. Gue nggak tahu seberapa marahnya lo kalau gue baca buku diary lo. Jujur, gue benar-benar penasaran sama suara hati lo, karena menurut orang-orang, buku diary itu hampir mencapai kata hati seseorang.
Gue nggak sengaja nemuin buku diary lo di kamar lo. Anggap aja waktu itu gue diberi keberuntungan sama Tuhan bisa tahu curahan hati lo.
Hal pertama yang rasakan sewaktu membaca kisah kepergian lo dari Amerika buat cari ibu lo yang tak lain Bu Ana, gue sempet nggak nyangka dan hampir-hampir nggak percaya. Dibalik sikap dan perilaku lo yang sederhana itu, sebenarnya lo adalah orang yang punya, mungkin jauh lebih berada di atas gue. Gue nggak tahu benar apa yang sebenarnya terjadi sama keluarga lo, karena lo bak cuman memberikan gue teka-teki silang doang. Gue nggak tahu dimana titiknya. Tapi yang gue pahami, lo adalah satu-satunya cowok yang langka di dunia. Barangkali, lo itu beberapa cowok terbaik yang Tuhan ciptakan. Dan salah satu ciptaan Tuhan itu hadir untuk gue. Untuk gue yang benar-benar kesepian menjalani hidup. Untuk gue yang selalu disibukkan dengan hidup, bahkan gue nggak punya waktu untuk diri gue sendiri.
Dan. Semenjak pertemuan singkat dan membawa gue pada cinta pada pandangan pertama yang tak lain itu lo, Sultan. Gue benar-benar berasa punya kesibukan lain dari sekedar syuting, casting, syuting, casting, dan hal yang terus berulang-ulang setiap harinya, yaitu, mengejar cinta lo yang butuh perjuangan dengan garis keras.
Asal lo tahu. Lo satu-satunya cowok yang nggak mau dekat sama gue dengan segala alasan tetek-bengek yang nggak mau gue tahu. Yang gue mau saat itu, lo jadi pacar gue dan bahagia. Berasa sederhana banget kedengarannya. Tapi kenyataan yang ada, jauh dan jauh lebih sulit dari yang gue bayangkan. Bukannya meminta pacaran. Lo malah meminta yang jauh melebihi dari kapasitas pikiran gue, ta'aruf. Awalnya, gue berpikir iya-iya aja, karena saat itu yang aku tahu, ta'aruf pun sebelas dua belas sama pacaran, bedanya mungkin jarang ketemu dan nggak boleh bersentuhan.
Tapi. Kristal datang dan membuat keyakinan gue runtuh. Ta'aruf itu jalan untuk menikah, tapi gue sama sekali belum sanggup nikah, apalagi di umur gue yang masih kayak bocah. Kata Kristal juga, kalau gue nikah sama cowok sealim lo, gue bakalan berpenampilan kayak ibu-ibu pengajian, pakai jilbab lebar dan gamis panjang. Mungkin juga, lo suruh gue pakai cadar. Jujur dalam lubuk hati gue yang paling-paling dalam, gue belum siap dengan itu semua, sepertinya gue terlalu nyaman di zona yang udah bertahun-tahun gue masukin. Gue nggak tahu caranya keluar. Dan saat gue ingin keluar bersama lo, lo malah pergi dan membiarkan gue terjun lebih dalam lagi ke dasar.
Semoga lo cepat kembali ya, Tan.
Salam dariku yang merindukanmu. RATU:)
Sebenarnya masih banyak lagi tulisan-tulisan yang Ratu tujukan kepada dirinya. Namun, dering telepon dari seorang klien menghentikan niatnya.
"Waalaikumussallam warahmatullahi wabarakatu."
"..."
"In Syaa Allah saya akan segera ke kantor, Pak." Sultan melirik arloji di tangannya."Kurang dari setengah jam in Syaa Allah saya akan sampai."
"..."
"Baik. Terima kasih untuk kesediaannya menunggu saya."
"..."
"Waalaikumussallam warahmatullahi wabarakatu."
Sultan menutup buku hariannya dan mengambil jas yang sedari tadi tergeletak di tempat tidur. Dia harus bergegas agar tidak membuat kliennya semakin menunggu lama.
"Pa, Ma. Sultan pamit ke kantor dulu ya, ada klien dari luar kota yang ingin membicarakan hal penting sama Sultan. Untuk Ratu, Ibu udah menjaga dia. In Syaa Allah, sepulang dari kantor Sultan akan ke sana," ucapnya menyalami mama dan papa mertuanya.
Amran menepuk bahu menantunya. "Nak, kamu juga perlu istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri, ingat, kesehatanmu jauh lebih penting saat ini. Kamu sudah terlalu lelah mengurusi urusan kantor dan Ratu, apa tidak sebaiknya kamu istirahat dulu?" tanya Amran menasehati. Sultan menggeleng pelan dengan senyuman.
"Benar yang dikatakan Papamu, Nak. Kalau kamu sakit, bagaimana kamu bisa menjaga Ratu?" tambah Lia bertanya.
"In Syaa Allah, Sultan akan baik-baik saja. Dan Sultan tidak akan lelah untuk menjaga dan merawat Ratu. Dia adalah amanah Papa yang harus saya jaga dalam keadaan sukar sekalipun," balas Sultan membuat keduanya tertegun.
Untuk kedua kalinya, Amran menepuk bahu menantunya. "Baiklah, Papa percayakan Ratu padamu. Nanti, setelah urusan di luar kota selesai, Papa sama Mama akan langsung pulang cepat."
"Terima kasih, Pa, Ma."
"Sama-sama," serempak Amran dan Lia hampir bersamaan.
Tidak seperti biasanya, hari ini Sultan mengendarai mobilnya tanpa supir. Dia sedang ingin menikmati aroma kehidupan sendirian di pagi yang cerah ini.
Dengan murotal yang diputar, mulut Sultan ikut larut melantunkan ayat-ayat Allah yang terdengar. Hingga terlihatlah antrean panjang kendaraan yang tengah terjebak macet membuatnya kalang kabut. Dia tidak ingin membuat kliennya menunggu lebih lama lagi, apalagi kliennya itu adalah seorang yang penting untuk proyek besarnya yang tengah berjalan.
"Astaghfirullah. Bagaimana ini?" tanyanya pada diri sendiri. Di tengah situasi hampir terjebak kemacetan itu, Sultan mencari jalan lain melalui GPS lalu mencoba memutar arah dan mengambil jalan lain, biarpun harus memakan waktu lebih lama. Dia akan sekuat tenaga untuk sampai di kantor secepatnya.
Mata Sultan tidak beralih dari jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktunya untuk segera memenuhi janjinya untuk sampai sebelum setengah jam semakin menipis.
Buru-buru, Sultan menginjak pedal gas dalam-dalam. Yang ada di kepalanya hanya keselamatan dan kelancaran, agar dia bisa memenuhi janji yang telah menjadi tuntutannya pada diri sendiri.
Di tengah mobilnya yang melaju dengan kecepatan tinggi itu, seorang wanita tiba-tiba menyeberang ke sisi lain jalan dengan sembrono, tanpa menengok kanan ataupun kiri. Alhasil, mobilnya yang tengah berpacu dengan waktu itu hilang kendali. Tidak mau wanita itu menjadi korban, Sultan buru-buru memutar setir. "Astaghfirullahalladzim!" jeritnya mengarahkan mobil ke trotoar jalan.
Akibatnya, mobil yang dia kemudikan oleng dan menabrak pembatas jalan. Dengan benturan yang cukup keras, Sultan pun tidak sadarkan diri.
🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu & Sultan [Selesai]✓
Teen Fiction[Romance-Religi] "Sultan, Ratu cantik nggak kalau pakai jilbab gini?" tanya Ratu antusias. "Cantik. Tapi hijab tidak dipergunakan untuk mempercantik diri, melainkan menutupi kecantikanmu," balas Sultan melarikan diri dari hadapan Ratu. ~~~ Start : 1...