Rian mondar mandir tak karuan. Berbulan-bulan tak ketemu dengan sahabatnya. Saat ketemu dalam keadaan tak sadarkan diri. Untungnya ponsel Dave tak pecah sehingga Rian masih bisa menghubungi keluarga Dave. Dirinya telah mengerti keadaaan keluarga Dave yang sudah layaknya keluarga pada umumnya.
"Gimana keadaannya dok?" ucap Rian setelah melihat dokter keluar dari ruangan.
"Keluarga pasien?" tanya Dokter
"Saya sahabatnya dok, keluarganya dalam perjalanan"
"Baiklah, kondisi pasien saat ini masih kritis. Banyak darah yang dikeluarkan."
"Apa saya boleh masuk dok?"
"Boleh, tolong jaga pasien. Saya pergi dulu"
Rian segera membuka pintu. Selang impus juga darah terhubung ke tubuh Dave. Wajah gantengnya penuh dengan luka. Kepalanya diperban, sepertinya pelipisnya mengenai aspal. Untung ngga kena ban truk. Di tanggan dan kakinya pun tak mau kalah, luka-luka cukup lebar di siku dan lututnya. Bahkan celana jins yang digunakannya robek.
"Apa kabar bro? lama ngga ketemu. Eh pas ketemu keadaan lo jelek gini sih. Kalah kan sekarang gantengnya sama gue?" ucap Rian seraya tersenyum kecut. Jelas ngga akan ada sautan dari Dave. Kalau sama Dave dirinya bakal cerewet ngalahin rentenir nagih utang.
"Sebenernya gue mau bilang sama lo kalo gue lagi kesel"
"Kesel sama cewek yang selalu lo bangga-banggain di depan gue"
"Pengin gue marahin, tapi lu pernah bilang ke gue buat jaga dia kalo lo ngga ada"
"Tapi tadi dia mbolos sekolah bareng cowok selain lo"
"Dan gue sempet liat motor tuh cowok di depan kedai es krim, eh tanpa gue sangka ngga jauh dari tempat itu gue kena macet katanya ada kecelakaan"
"Dan yang bikin gue terkejut ternyata itu lo Dave. Untung gue hafal plat motor lo"
Rian berfikir sejenak, "Ah, apa jangan-jangan lo begini karena ngliat mereka berdua?"
Sepertinya perkiraan Rian tak meleset. Rian tau betul gimana sahabatnya ini, seorang Dave selalu dapat mengendalikan motornya. Begitulah Rian, pemikirannya sangat logis.
Pintu ruangan terbuka, seorang gadis manis berjalan dengan penuh kekhawatiran. Rian menoleh ke arah pintu. Gadis itu mendekat dan segera memeluk Rian. Rian membalasnya dengan hangat.
"Kamu ngga papa?" ucap gadis itu masih di pelukan Rian.
"Yang kecelakaan itu Dave bukan aku, Dian sayang" ucap Rian seraya mengelus rambut Dian.
Rian sengaja mengabari Dian untuk menemaninya. Dian datang sendiri setelah pulang sekolah dirinya langsung pergi ke rumah sakit yang diberitahukan Rian.
Dian melepas pelukannya dan beralih menatap Dave. Seketika raut wajahnya berubah.
"Ngga sebaiknya kita hubungin Cika aja?" ucap Dian yang kini telah duduk kursi tunggu. Ruangan itu tak terlalu mewah namun cukup lah untuk merawat Dave. Terdapat satu ranjang pasien dengan meja di sampingnya. Satu televisi dan sofa yang terdiri dari empat kursi satu meja. Mungkin setelah keluarganya datang, Dave akan pindah kamar yang lebih dari cukup.
"Jangan" ucap Rian yang kini telah duduk di samping Dian.
"Kenapa?"
"Aku ngga tau ini bener atau salah, menurut aku Dave kayak gini karena liat Cika pergi sama Rifki" jelas Rian
"Rifki? Kaya ngga asing"
"Iya kamu juga pernah ketemu kok pas di puncak dulu"
Dian mengangguk-angguk setelah merasa ingat dengan Rifki.
"Yaudah, kita rahasiain aja dulu"
Rifki tersenyum. Mereka berdua memang saling pengertian padahal beda sekolah tapi bukan berarti mereka sering bertengkar. Rian yang bijak punya cara sendiri tuk membuat hubungan mereka selalu terasa nyaman. Dian juga tipe cewek kalem yang ngga suka ini itu.
🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam Tak Bisu (END)
Teen FictionDijamin BEDA FOLLOW SEBELUM BACA YA KAKAK🙏 "Pura-pura bisu itu susah, pura-pura ngga ada rasa itu jauh dari kata mudah" "Namaku Cika Karmelia, saat ini aku tak bisa bercanda gurau, bernyanyi merdu seperti kalian, namun ingatlah aku TIDAK BISU" ~Cik...