What if Zitao Huang be your husband?
..
.
.
.
Dihitung dari skala satu sampai lima—untuk rasa bahagiamu yang meletup ajaib—kamu mungkin akan memilih empat koma lima. Sisanya kamu merasa ini merupakan sebuah kekacauan untuk memilih mengiyakan ajakan menikah dari seorang laki-laki yang kini duduk bersila di sebelahmu bersama tablet berisi berita pagi di tangan kanannya.
Huang Zi Tao.
Lelaki yang melamarmu di hari ke-dua ratus kalian bersama, atau mungkin dua ratus lima belas? Tidak ingat. Yang pasti, lelaki itu tiba-tiba datang ke tempat kerjamu tepat di jam pulang kantor lalu menyerahkan sebuah map berisi data dirinya dan beberapa berkas lain.
"Data diriku udah lengkap, tinggal punya kamu. Aku gak kasih opsi nolak soalnya besok hari Sabtu, aku libur. Ibu sama Ayah mau ketemu orang tua kamu."
Pemaksaan. Tapi, kamu suka ide map berisi berkas serta data dirinya yang ia serahkan padamu malam itu. Karena kamu menarik mapnya dan mengangguk dengan tenang sambil menjawab, "Aku udah cetak foto juga, tapi belum foto kopi ktp. Mau nemenin, nggak, pak calon Suami?"
Dan, ya, terjadilah pertemuan antara dua keluarga dan penentuan tanggal pernikahan serta hal lain yang tidak habisnya dibahas dalam kurun waktu lima jam. Hari itu kamu dan Tao sibuk menyusun daftar apa-apa saja yang harus ada dalam acara pernikahan dan apa yang tidak diperlukan.
Butuh banyak perjuangan bagimu dan Tao untuk sampai pada tahap di mana kamu adalah tempatnya pulang, dan dia adalah tempatmu berbagi. Untuk selalu bersama dalam waktu yang tidak dapat ditentukan, untuk berbagi peluk dan bahu, untuk saling memberi segalanya di 24/7 yang kalian miliki.
Sama seperti pasangan suami istri lainnya, kamu dan Tao tentu saja memiliki perbedaan yang kerap kali membuat suasana rumah menjadi tegang. Karena menikah tentunya bukan hanya soal menyatukan dua hati, tapi juga tentang bagaimana dua raga dan jiwa bekerja sama menuju satu tujuan yang disepakati.
Maka kamu tidak banyak mengeluh, pun Tao. Walaupun beberapa kali lelaki itu memiliki perbedaan pendapat denganmu, Tao tidak pernah sekalipun mengangkat nada suaranya dan memaksakan kehendaknya. Bagi teman-temannya—menurut cerita yang kamu dapat dari mulut Sehun juga Suho—lelaki yang kini berstatus sebagai pasangan hidupmu itu cukup tempramental. Bahkan dia pernah berkelahi dengan Jongin dan Sehun karena masalah sepele.
Kamu tidak bisa pungkiri pula bahwa terkadang mood Tao bisa berubah dalam sekejap. Satu detik sebelumnya dia terpingkal karena lelucon yang tengah dibacanya, detik setelahnya wajahnya berubah datar.
Dan untuk kekacauan yang kamu maksud di awal tadi—Tao itu penakut dan lelaki haus afeksi.
Ayolah, lelaki dewasa mana yang merengek pukul enam pagi karena kamu beranjak dari ranjang untuk menyiapkan hari? Dan lelaki dewasa mana yang menjerit di atas meja karena melihat serangga cokelat sebesar ibu jari melintas di bawah meja makan? Oke, takut pada kecoa bisa kamu maklumi. Tapi teriakan yang memekakan, serta racauan tentang betapa inginnya dia berbaring sambil memelukmu karena lelah berteriak? Kamu jelas merasa begitu jengkel.
"Yang, kata aku nih, kita mendingan melihara kucing deh," Tao tiba-tiba angkat suara ketika kamu tengah membuat teh. Kamu melirik Suamimu sekilas sebelum berdecak tidak senang.
"Bukan apa-apa," kamu menimpali ucapannya. "Tapi ngurus kamu aja tuh udah jadi beban, kalo ditambah ngurus kucing aku bisa sakit kepala setiap hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Imagine Series] - EXO Version
FanfictionWhat if EXO Members be your boyfriend, bestfriend, or maybe-brother? Imagine Series #1 📍 Start : September 2017 📍 Revisi 📍 Imagine Area. Harsh comment not allowed.