1

7.5K 661 19
                                    

"Anye, kamu sudah melihat persiapan di tempat pameran kita?"

Baru saja aku memasuki mobil, panggilan dari Pak Tyo sudah menyerbu masuk kedalam ponselku. Rasanya begitu lelah, tanggungjawab sebagai Manager Pemasaran lapangan membuatku harus ekstra bekerja, baik indoor maupun outdoor, mengontrol para marketing lapangan maupun pada atasan.

Dengan sebelah tangan yang memegang ponsel aku mulai melajukan mobil perlahan, memberikan laporan pada Atasanku yang baik-baik jahanam, baik jika akan memberikan perintah, dan jahanam jika target tidak seperti yang dia berikan.

Dan satu lagi, Pak Tyo adalah atasan yang tidak mau tahu sedang apa bawahannya sekarang, jikapun sekarang aku ada diujung crane dan nyaris jatuh, dia tidak akan peduli dan akan memaksa untuk mendapatkan laporan sekarang itu juga.

Lelah tapi menyenangkan, bagaimanapun kerasnya dunia marketing, tapi aku menyukainya, passionku sejak awal, bertemu banyak orang dan mengenal mereka dengan apa yang menjadi selera mereka.

Memang menjadi Marketing terkesan tidak mentereng, tidak seperti menjadi Dokter atau sejenisnya, tapi jika kamu menginginkan pekerjaan yang cepat menghasilkan dengan modal ulet maka ini adalah pilihan yang tepat.

Terbukti, di usiaku yang menginjak 25 tahun, aku bisa hidup membeli satu unit rumah sederhana yang kini kukontrakan, dan juga unit kendaraan yang kini ku gunakan.

Seluruh kebutuhanku pun terpenuhi tanpa aku harus merengek pada Suamiku.

Suami? Ya, Anyelir Maheswari adalah seorang Istri dari Evan Wijaya, seorang Pengacara muda yang lebih fokus menangani perceraian atau pranikah para selebritis.

Karena pekerjaannya itulah, tak jarang Evan wira-wiri di layar kaca, membuat tanya bagi rekanku kenapa aku harus masih mengejar karier di saat suamiku adalah seorang yang lebih dari mapan secara finansial walaupun belum sekaya Hotman Paris.

Kadang saking sibuknya diriku disaat Suamiku lebih dari cukup memanjakanku dengan uanganya, banyak yang menanyakan kenapa aku harus turut bekerja.

Dan alasannya begitu sederhana, karena dirumah aku kesepian, berada di Kota jauh dari Orangtua, serta terlanjur senang dengan kesibukan yang bermanfaat, membuatku tidak bisa bertopang dagu di rumah benar-benar menjadi ibu rumah tangga. Rasanya sungguh aneh, di saat awal pernikahan dan aku mengambil cuti selama satu bulan aku dilanda kebosanan akut.

Tidak dapatnya cuti Evan dari Kantor Advokatnya membuat kami selama dua tahun belum merasakan yang namanya Honeymoon. Menuntut pun bukan hal yang kuinginkan, prinsipku untuk tidak menjadi beban bagi suamiku membuatku berusaha mensyukuri apapun yang terjadi.

Jika dirumah saja kami sudah berbagi cinta dan sayang, kenapa aku harus iri dengan mereka yang pergi dengan Pesawat.

Alasan lainnya adalah belum hadirnya buah hati diantara aku dan Evan, permintaannya untuk tidak menunda momonganpun ku turuti, tapi sayangnya Allah memang belum memberikan kepercayaan tersebut padaku sekalipun aku dan Evan begitu mengharapkan akan hadirnya di antara kami berdua.

Sedikit kecewa karena tidak bisa secepat itu mendapatkan kepercayaan dari Allah kurasakan, tapi aku merasa ada baiknya juga, Evan terlalu getol mengejar kariernya yang tengah melesat hingga aku takut jika kami mempunyai anak dia akan abai terhadap anak kami karena sibuknya.

Melamun, pikiranku melayang saat melihat seorang gadis awal duapuluhan tahun yang tengah hamil besar keluar dari mobil saat aku melintas. Sekilas aku merasa jika itu adalah mobil Evan, dan saat aku melirik ke belakang lagi untuk melihat plat nomornya, mobil lain sudah terparkir tepat menghalangi mobil tersebut.

Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran akan Evan yang pergi dengan perempuan hamil tersebut, mana mungkin Evan akan pergi dengan perempuan lain, dikawasan yang sangat bertolak belakang pula dengan Kantornya.

Kulirik ponselku, perasaanku tidak nyaman sekalipun aku berusaha menenangkan hatiku jika apa yang kulihat barusan hanya karena efek lelahku semata.

Tidak ada pesan dari Evan, bukan hal luar biasa saat Suamiku tidak memberikan kabar, karena sebagai seorang pekerja pun aku paham, kadang saking menumpuknya pekerjaan kami lupa segalanya.

Tapi sekalipun nanti dia akan pulang terlambat dia akan mengabariku, jikapun dia akan keluar kota untuk pekerjaannya diapun akan berpamitan denganku, tidak perlu kalimat berlebihan ataupun basa-basi seperti anak pacaran, bagiku memberi kabar jika baik-baik saja sudah lebih dari cukup.

Dan saat ponsel yang baru saja kuletakkan menyala karena notifikasi yang masuk, mendadak seekor kucing melintas di depan mobil, tampak terbirit-birit hingga aku menginjak rem dengan cepat.

Suara decitan ban dibelakang sana sudah tidak kupedulikan, entah mobilku penyok di tabrak orang dibelakangku atau bagaimana aku lebih memilih untuk cepat-cepat turun dan memeriksa kolong mobil.

Nyaris, hampir saja si kucing itu mati terlindas ban mobilku menjadi gepeng, tapi syukurnya, kucing tersebut selamat, beberapa centimeter saja.

Tampak gemetar dan ketakutan saat kini dia mengeong pelan.

"Miaaauuuwww."

Mata hitam bulat itu mengerjap saat aku meraihnya, menggendongnya bak anak kecil dan menenangkannya yang sedang gemetar.

Bulu putih dengan rambut agak lebat itu kini tampak kotor, dari sikapnya yang jinak saat dia gendong menandakan jika dia kucing rumahan yang tersesat.

Kasihan sekali dirimu, Nak.

"Ya Allah, Mbak!" aku menoleh, mengalihkan pandanganku pada suara bariton berat di belakangku sekarang ini, seorang yang mungkin sekarang menginjak usia 30an kini tampak kesal bercampur gemas saat menghampiriku.

Dia bukan orang biasa, truk Byson warna hijau gelap dengan serombongan laki-laki tegap berseragam loreng yang kini memandangku dengan aneh, membuatku tahu jika apa yang kulakukan demi menyelamatkan kucing ini sudah membuat perjalanan serombongan Tentara ini terhambat.

"Mbak nyelamatin kucing itu dan nyaris bikin satu Kompi Tentara mati konyol tahu nggak, Mbak!"

Aku mengerjap, hanya bisa meringis karena aku sadar jika aku salah. Untuk sejenak tidak ada yang bersuara, hanya eongan dari kucing yang ada di gendonganku yang terdengar.

"Kalian duluan. Biar saya selesaiin urusannya sama Mbaknya ini."

Tatapan dari laki-laki itu tidak terlepas, bergantian menatapku dan kucing yang ada di gendonganku, dan saat akhirnya Truk itu melewati kami, aku baru sadar jika moncong truck tersebut agak penyok terhantam mobilku.

Astaga, kepalaku mendadak pening atas kecerobohan yang kulakukan.

"Mas," ucapku pelan, berusaha memanggil si Tentara ini sayangnya dia memakai kaos kumal loreng tanpa nama, membuatku tidak tahu, mahluk sejenis apa Kacang Hijau satu ini, "Tenang saja, saya bakal tanggung jawab kok."

Laki-laki tersebut tidak menjawab, tapi tangannya justru terulur, kupikir dia akan kurang ajar menyentuhku, tapi kembali lagi, aku salah, Tentara yang tampak garang itu justru meraih kucing yang ada di gendonganku dan memeriksanya dengan seksama, memastikan tidak ada luka di tubuh ringkih tersebut.

Jika seperti ini, tidak heran banyak yang mengidolakan laki-laki dengan seragam loreng seperti ini, mereka tampak garang, sekaligus humanis disaat bersamaan.

Hingga akhirnya tatapan kami bertemu kembali.

"Membahayakan banyak nyawa demi menyelamatkan nyawa lainnya, alhamdulillah tidak ada yang terluka, bukan hanya kucingnya, tapi si penolong itu sendiri."

Anyelir (Ready Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang