"Kamu sudah merasa lebih baik?"
Suara berat yang terdengar dibelakangku membuatku berbalik, wajah kaku nyaris tanpa ekspresi itu kini tersenyum menatapku, sembari mengulurkan sebuket bunga Anyelir putih dan merah yang tampak begitu cantik.
"Untukku?" tanyaku tidak percaya, dan saat dia mengangguk dengan wajah yang memerah karena malu, tak pelak aku tertawa, tawa yang rasanya sudah lama tidak aku lakukan, tapi percayalah, Aria adalah orang yang minim ekspresi, hanya di beberapa kali obrolan dia menunjukkan sisi lainnya yang antusias.
"Lain kali aku tidak akan menuruti saran dari anggotaku jika harus kamu tertawakan seperti ini," tukasnya merajuk, sungguh sangat lucu saat bibirnya itu mencibir bak seorang anak yang diejek temannya, tapi dibalik sikap pura-pura tersebut, aku tahu jika dia sedang menggodaku karena detik berikutnya, senyum yang tersungging diwal kedatangannya kembali terlihat, "tapi jika kekonyolanku bisa bikin kamu ketawa lagi, itu sepadan Anyelir."
Tangan besar itu terulur, menyentuh puncak kepalaku dan mengacaknya pelan.
"Berantakan Aria."
"Aku senang kamu nepatin janjimu buat benar-benar bangkit."
Entahlah, aku yang memang terlalu larut pada duka, atau memang aku sedang butuh topangan, tapi setiap hal yang dilakukan Aria begitu menyentuhku, tanpa banyak berbicara manis dia menolongku, menemaniku menangis hingga puas tanpa banyak bicara apa yang sudah terenggut dariku, dan saat aku mulai lelah menangisinya, dia menarikku, mengajakku bangkit dan menyelesaikan ujian takdir yang sedang kujalani.
Aria bukan seperti Aura dan Arga, dua orang yang begitu berkuasa hingga seolah bisa melakukan keajaiban apapun untuk menolongku dan menghukum siapapun yang menyakitiku, tapi setelah aku begitu frustasi dengan takdir yang Tuhan gariskan padaku, Aria berdiri disampingku, menopang tubuhku menghadapi badai besar tersebut agar tetap berdiri tegak, hingga akhirnya disaat aku terjatuh tidak kuat menahan terpaan badai tersebut dia menarikku, menemaniku dan turut merasakan sakitnya sampai rasa sakit luar biasa karena ulah Evan menjadi rasa yang biasa untukku.
Evan, Mentari, dan juga calon bayiku, mereka adalah bagian dari hari kemarin yang menyakitkan, menyesakkan, dan mimpi buruk yang tidak mudah dilupakan, tapi seburuk apapun itu, semua itu adalah masalalu yang menguatkanku, dan Aria adalah salah seorang yang membantuku untuk bangkit serta berada di titik sekarang ini.
Memandang sisi lain kesenduan, melihat hal yang masih patut untuk kusyukuri serta menjadi alasanku untuk menatap penuh harap hari esok.
Berdiri dengan tegak, tanpa tangisan dan ratapan lagi, untuk menghukum mantan Suamiku yang sudah membuatku kehilangan banyak hal, cinta, keluarga, rumah tangga, dan bahkan calon anak kami karena pengkhianatannya.
"Terimakasih, Aria. Kamu support system terbaik yang aku punya, makasih banyak."
Terimakasih, kata sederhana sarat makna tersebut tidak akan mampu mengungkapkan betapa berartinya dukungan yang dia berikan padaku, seorang yang datang di hidupku dengan tiba-tiba dan begitu istimewa.
"Kamu harus bangkit, Nye. Jangan bersedih lagi, mungkin ada satu dua orang yang menyakitimu, mungkin ada kerikil tajam yang menghentikan langkahmu, tapi kamu harus tahu, begitu banyak orang yang peduli pada perempuan sebaik dirimu."
Tanpa aku sadari, aku sudah membawa Aria masuk terlalu dalam kedalam hidupku, membuat Anyelir yang mandiri bahkan di depan suamiku sendiri menjadi seorang yang bergantung.
Entah bagaimana pandangan orang diluar sana tentangku, rumah tangga yang hancur, suami yang berselingkuh, dan seorang perwira yang begitu kekeuh melindungiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...