"Kamu seharusnya ke rumah sakit, Anyelir. Bukan malah pulang."
Setelah membuang pengharum mobil wangi lemon laknat yang membuatku mual tadi sore, malam ini setelah perdebatan panjang yang paling menguras emosi dan juga tenagaku, rasa mual yang sempat membuatku teler sesorean tadi sudah tidak kurasakan.
Tatapan khawatir, bercampur iba, terlihat diwajahnya, memang setelah apa yang terjadi, aku memang manusia yang menyedihkan, di khianati, dan diejek selingkuhan suamiku tepat di depan wajahku karena aku tidak sempurna menjadi wanita.
Tapi aku harus bagaimana jika apa yang diminta Evan adalah sesuatu yang tidak bisa serta merta kuberikan, anak adalah pemberian Allah, tidak bisa diminta dan tidak bisa di tolak apapun alasannya, jika aku tidak bisa hamil sementara aku sehat, apakah itu salahku? Itu juga bukan inginku menjadi seperti ini.
Tanpa sadar, mengingat betapa tidak sempurnanya aku menjadi wanita membuat air mataku menggenang. Dengan cepat aku memalingkan wajah, sudah cukup aku membuat Aria repot karenaku, hingga harus membuatnya izin untuk tidak ikut apel atau entah apa urusan di Batalyon karena keributan yang ku ciptakan tadi di restoran.
Helaan nafas panjang kuambil untuk kesekian kalinya hari ini, sebelum akhirnya kembali memasang senyum palsu yang belakangan ini selalu ku gunakan sebagai topeng menutupi perasaanku yang tidak karuan, untuk menghadapi wajah tampan yang menatapku khawatir.
"Aku harus pulang membereskan pakaian, Aria. Aku ingin segera pindah. Lagian biang kerok mualku sudah kamu buang dan aku baik-baik saja sekarang ini."
Aria menggeleng, mencekal tanganku yang hampir saja membuka pintu, ternyata Kapten Aria, selain kaku dan datar khas prajurit, dia juga seorang yang keras kepala.
"Bagaimana jika," tatapan wajahnya berubah ngeri, sebelum akhirnya pertanyaan yang diucapkan dengan begitu lirih terdengar, "bagaimana jika benar apa yang dikatakan Ibu-ibu kemarin, kalo kamu sedang hamil Anyelir, kamu tidak kasihan bayimu karena shock atas semua yang terjadi? Kamu harus memastikannya kerumah sakit."
Hamil? Pemikiran itu sempat berkecamuk di benakku, membuat perasan bahagia ditengah kegamanganku, tapi.....
"Tidak Aria! Aku sudah cukup banyak menelan kekecewaan hari ini, mendapati Suamiku berselingkuh saja sudah membuatku hancur, apalagi kamu lihat sendiri bukan, jika suamiku berselingkuh demi mendapatkan sesuatu yang tidak kunjung aku berikan, aku tidak ingin kembali kecewa jika hasilnya aku mual cuma karena masuk angin."
Sebisa mungkin aku tersenyum di depan Kapten Tampan berwajah gahar dan berhati malaikat ini, sesuatu yang tampak membuatku mengenaskan.
Telapak tangan yang dia gunakan untuk mencekal lenganku kini beralih mengusap rambutku, seperti seorang Kakak yang menenangkan adiknya, "Jangan berkecil hati, Anyelir. Harus berapa kali aku bilang, seorang yang bersama penyayang sepertimu adalah seorang yang beruntung, dan jika dia mengkhianatimu, dia seorang yang rugi. Kamu berharga dengan segala kebaikanmu, Anyelir."
Sayangnya di mata Evan, semua yang kumiliki tidaklah cukup untuk menutupi kekurangan fatalku.
"Terimakasih, Aria. Atas semua bantuanmu, kamu tahu, semua yang kamu lakuin ke aku membuatku percaya jika Allah masih begitu baik padaku."
Aria mengangguk, dan saat dia benar-benar mengizinkanku untuk pergi kembali pertanyaan yang membuatku dilema terlontar darinya. "Jika kamu benar-benar hamil, apa yang akan kamu lakuin, Anyelir? Apa kamu mau kembali pada Suamimu setelah semua yang terjadi?"
Aku tersenyum getir, akupun tidak tahu jika benar Allah memberikan berkah yang selama ini aku tunggu tepat di saat Dia membuka semua keburukan suamiku.
Bahkan kepulanganku ketempat yang sebelumnya kusebut rumah ini adalah pulang yang terakhir kalinya, rasanya aku tidak akan sanggup menghadapi kenyataan menyakitkan itu setiap harinya.
"Apa menurutmu setelah semua yang terjadi, aku sudi kembali padanya, Aria. Sekalipun dia merangkak dan mencium kakiku demi maaf atas luka yang dia torehkan, aku tidak akan memaafkannya."
🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱
Rumah, bau wangi lavender yang menyambutku masuk kedalamnya membuatku langsung merasa tenang. Semua rasa mual yang sempat kurasakan beberapa saat tadi langsung hilang, berganti dengan rasa nyaman yang membuatku serasa ingin tertidur.
Aku memang lelah, setelah semua yang terjadi, bohong jika aku mengatakan aku sedang baik-baik saja, nyatanya sekarang aku berusaha tetap berdiri sembari mengais serpihan hati yang sudah hancur berkeping-keping.
Deretan foto antara aku dan Evan masih terpajang rapi, begitu sempurna dan bahagia, tidak akan menyangka jika kebahagiaan itu kini hanya tinggal masalalu yang bahkan enggak untuk kuingat lagi.
Semua potret bahagia yang dulu membuatku tersenyum setiap kali melihatnya kini berbalik mengejekku, mentertawakan apa yang telah terjadi padaku.
Tanpa sadar aku tersenyum miris, dulu aku sempat mencibir salah satu temanku yang menurutku mempunyai sifat begitu boros, berbelanja dan bersenang-senang seolah tidak ada hari esok, hanya karena alasan yang begitu klise.
Jangan mikirin duit laki Nye kalo udah kawin, kalo nggak lo yang habisin bakal dihabisin sama sundal lain, percaya deh.
Dan sekarang hal itu benar-benar terjadi. Disatu sisi aku tidak mau merepotkan suamiku dengan gaya hidupku, tapi di sisi lain bukannya merasa ringan atas kemandirianki, suamiku justru memuja perempuan lain tanpa mempunyai rasa sungkan dengan sesuatu yang seharusnya menjadi hakku.
Dan akhirnya rumah hangat yang selama dua tahun ini menjadi pelepas lelahku, serta menjadi tempatku merajut mimpi indah ini akan kutinggalkan, tidak sanggup rasanya jika aku harus tetap disini dengan seluruh kenangan yang tersisa.
Dan kembali, aku harus merepotkan Aria untuk rumah baru yang akan kutempati sementara waktu nanti, tapi kembali lagi, Aria adalah satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong, meminta tolong pada Aura atau sahabatku lainnya akan memperunyam segalanya.
Tidak perlu waktu lama untukku mengemas semua barang yang akan kubawa pergi, sama seperti saat aku datang, saat pergi pun aku tidak membawa banyak barang, ada banyak hal berharga yang sudah kumiliki atas harta Evan, pembalasan setimpal atas semua kecurangannya padaku, aku bukan seorang yang materialistis karena aku pun bisa menghasilkan rupiah dari hasil keringatku sendiri, tapi aku seorang yang realistis, menginginkan meninggalkan Evan dengan keadaannya yang benar-benar nol sama seperti saat dia merintis karirnya diawal pernikahan kami.
Adil bukan jika aku mengambil miliknya hingga tak bersisa, itu harga yang pantas untuk melepaskannya, membiarkannya kembali memulai dari nol bersama selingkuhannya itu. Aku bukan seorang yang baik yang hanya akan pergi dengan tangan kosong dan menangis berderai air mata, sebisa mungkin mereka yang menyakitiku juga merasakan sakit yang kurasakan.
"Kamu mau pergi, Nye? Kamu mau ninggalin aku? Hanya satu kesalahan dan kamu nggak maafin aku?"
Tubuhku mematung di tempatku mengunci pintu, suara yang tidak kusangka masih akan berani menemuiku setelah beberapa saat lalu mendapatkan penolakan dariku, suaranya begitu sendu, sarat keputusasaan yang membuatku enggan untuk berbalik untuk melihatnya.
Evan, mau apa lagi kamu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...