"Membahayakan banyak nyawa demi menyelamatkan nyawa lainnya, alhamdulillah tidak ada yang terluka, bukan hanya kucingnya, tapi si penolong itu sendiri."
Wajah gahar di depanku kini tersenyum, sekalipun penampilannya tegas khas seorang Prajurit tapi dia begitu perhatian, membuatku mau tak mau tersenyum juga saat turut menyentuh kucing yang tampak nyaman bergelung di dada bidang sang Tentara.
"Reflek saja, Pak. Waktu lihat dia nyelonong di depan mobil. Tapi saya akan tetap bertanggung jawab atas kerusakan Mobil Batalyon tadi."
Laki-laki itu mengangguk, "Untuk itu saya ada di sini, Mbak. Terimakasih sudah tidak mempersulit."
Ngeongan kucing itu semakin keras, dan getaran di perutnya membuatku tertawa kecil, "Apa kamu lapar?"
Tanpa menunggu persetujuan dari laki-laki yang tengah menggendongnya, aku kembali mengambil alih kucing tersebut, membawanya menuju mobilku untuk mengambil sesuatu yang memang di butuhkannya.
Sisa ayam makan siangku, rice box yang tadi diberikan salah satu outlet saat promosi dan ternyata masih ada di dalam mobil ternyata menjadi rezeki bagi kucing tersebut, seolah tidak mempedulikan tatapanku padanya dia tampak begitu rakus memakan makanan tersebut, entah sudah berapa hari mahluk cantik yang kotor tampak tidak terurus itu tidak mendapatkan makanan.
Rasanya seperti orang bodoh bagi siapapun yang melihat keadaanku sekarang, duduk di tepi trotoar dengan pakaian yang turut kotor dan menunggui seekor hewan yang sedang makan.
Tapi aku tidak sendirian, jika tadi aku menyodorkan makanan padanya, maka kini giliran laki-laki asing tersebut yang mengulurkan susu uht yang ternyata di belinya dari lapak tak jauh dari tempat kami duduk, bukan hanya diberikan pada si kucing yang kini mengeong sambil menjilatinya.
Tapi juga padaku, "Yang nolongin juga dapat bagian."
Tidak ada alasan untuk menolak satu kebaikan dari orang baik, "Terimakasih, Pak!"
Sebuah tawa renyah terdengar darinya, tawa hangat yang membuat beberapa orang yang sedang melintas menyempatkan untuk menoleh melihat wajah yang tampak tampan dan kharismatik tersebut.
"Panggil saja Aria. Kamu manggil saya Bapak, kok kesannya saya tua banget."
Kusesap susu yang diberikannya perlahan, sadar jika aku juga lapar, dan susu ini cukup mengganjal laparku. Aria, nama yang cocok untuk seorang yang begitu berwibawa sepertinya.
"Bukan karena tua, tapi karena saya menghormati Anda." Usai mengusap tanganku dengan tisyu basah membersikan sisa bulu kucing, aku mengulurkan tanganku padanya, adab yang benar saat berkenalan dengan orang lain, "Perkenalkan, Pak Aria. Nama saya Anyelir."
"Senang berkenalan dengan perempuan sebaik kamu, Nye." pandangan Pak Aria beralih pada jemariku, melihat cincin emas polos yang melingkari jari manisku, dan senyuman diwajah hilang untuk sejenak, hanya sebentar nyaris membuatku tidak yakin dengan perubahanya, karena detik berikutnya dia tersenyum semakin lebar, "Siapapun yang menjadi pasanganmu, dia adalah seorang yang beruntung, mendapatkan sosok penyayang sepertimu."
Aku mengangguk, mengaminkan dalam hati apa yang diucapkannya. Hingga akhirnya, ingatanku akan Evan yang pasti sudah kembali ke rumah di jam seperti sekarang ini membuatku bergegas, meraih si Kucing dan memberikan kartu namaku pada Pak Tentara bernama Aria tersebut.
"Saya harus pulang, Pak. Suami saya pasti sudah menunggu dirumah, hubungi saya untuk semua biaya ya Pak."
Tanpa menunggu jawaban dari Aria aku langsung masuk kedalam mobil, melupakan sopan santun menawarkan tumpangan padanya yang sudah ditinggalkan Truk Bysonnya untuk mengurus keteledoranku.
Aku tidak menyangka, seorang yang tidak sengaja kukenal karena insiden kucing, seorang yang kutinggalkan begitu saja tanpa aku menoleh ke belakang lagi akan menguntai kisah panjang kedepannya denganku.
🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱
Jam dinding sudah berdentang dua kali, pertanda tengah malam sudah lewat dan kini sudah dini hari, tapi tidak ada tanda-tanda jika seorang yang kutunggu akan datang.
Rasanya sungguh pegal semalaman menunggu Evan di depan TV, membiarkan layar kaca yang berganti menontonku yang tertidur ayam.
Ku lirik ponselku yang tergeletak diatas meja, tidak ada satu pesanpun yang masuk, membuatku hanya bisa menhela nafas panjang menenangkan hatiku sendiri, khawatir dan was-was karena Evan tidak ada kabar.
Tadi saja aku sudah mengebut, merasa khawatir jika Evan kembali lebih dulu kerumah, nyatanya gelapnya rumah dan kosongnya ponsel yang menyambutku.
Menelpon dan juga mengiriminya pesan juga sama sekali tidak mengurangi rasa khawatirku, hanya cheklist abu-abu, dan dering yang tidak kunjung dijawab yang kudapatkan.
Apa yang dilakukan Evan kali ini sungguh diluar kebiasaannya, khawatir dan was-was jika ada hal buruk terjadi pada Evan membuatku memberanikan diri menelpon rekannya, seorang yang juga kukenal dengan baik, Dahlia.
"Lo ngapain telpon di pagi buta kayak gini, Nye? Gue baru saja ngimpi naik kelas jadi kek laki lo, nggak cuma jadi Jongos."
Di percobaan ketiga akhirnya teleponku di angkat Dahlia dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Aku terdiam beberapa saat, merasa tidak enak karena Dahlia ternyata sedang tidur, terlebih sadar jika seharusnya Evanpun juga dirumah seperti Dahlia sekarang ini, tak ayal pertanyaan baru muncul di kepalaku, lalu kemana Evan pergi?
"Kepencet, Nye. Nggak sengaja sama si Evan. Dia kan kalo tidur lasak!"
Suara kuap kantuk yang begitu keras terdengar di ujung sana, membuatku tahu jika Dahlia benar-benar membutuhkan waktu istirahatnya. Sedikit lega karena aku mengurungkan niatku untuk menanyakan dimana Evan sekarang dan membuat waktu istirahatnya terganggu.
Nyaris saja aku mematikan ponselku saat suara celetukan yang membuat jantungku berhenti berdetak tidak terucap dari Dahlia.
"Iya, laki lo udah balik dari sore tadi. Yang lain masih bedah kasus sampai isya, dia semangat banget izin balik duluan. Katanya mau ngasih surprise buat Istrinya. Bahagia ya lo sekarang?"
Dengan tangan yang gemetar aku mematikan ponselku, keringat dingin mengucur di tubuhku di saat malam dingin seperti ini, pikiran buruk menguasaiku. Berbagai spekulasi berseliweran membuatku terasa mual.
Bagaimana bisa Evan pamit pulang lebih dahulu untuk memberikan kejutan untukku jika sampai sekarang bahkan teleponku tidak diangkatnya.
Hal buruk tidak sedang terjadi padanya bukan? Kecelakaan atau mungkin perampokan? Atau justru kemungkinan yang paling menjijikan, jika benar mobil yang kulihat tidak jauh dari tempat Pameran Mobil adalah mobilnya Evan?
Evan tidak mungkinkan bermain perempuan diluar sana? Cinta yang dia berikan dan tunjukkan terlalu besar untukku, mungkinkah dengan cinta sebesar itu dia masih menyisakan cinta lain untuk 'tamu asing' di keluarga kecil kami.
Aku menggeleng, mengenyahkan pikiran buruk jika sekarang Suami yang begitu kucintai tengah berpelukan erat dengan perempuan lain.Tidak, Evan tidak akan melakukan hal semenjijikan itu padaku.
Evan mencintaiku sama besarnya seperti aku mencintainya.
Dan yang paling penting, aku mempercayainya.
Aku mempercayai seorang yang dunia tahu sebagai suamiku.
Sekarang yang perlu kulakukan hanya tidur, menunggu waktu suamiku yang akan pulang.
Dan hadirnya akan menepis semua prasangka buruk yang ada di kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...