"Itu suamimu bukan? Pintar sekali dia memilih tempat privat."
Aku bersedekap, menahan dadaku yang bergemuruh hebat melihat satu pemandangan yang sukses membuat duniaku runtuh dalam sekejap, aku sudah mempersiapkan hatiku untuk hancur melihat kebusukan Suamiku, tapi menyaksikannya secara langsung Suamiku memuja perempuan lain, bahkan perempuan tersebut yang pernah datang dan mengejekku dengan pongahnya akan keberhasilannya mengatur suami orang, dan ternyata suami orang itu adalah suamiku.
Air mataku sudah mengering, rasanya aku tidak akan sudi mengeluarkan air mataku untuk menangisi dua sampah yang tengah bersama itu.
Begitu menjijikkan seorang Evan ternyata, dibalik sikapnya yang begitu manis dan sarat perhatian padaku, dia justru melakukan hal yang sama pada perempuan lain.
Mengkhianati cintaku, dan juga mahligai rumah tangga yang sudah bertahun kita bangun.
Aku memang belum bisa memberikan apa yang diinginkannya, tapi haruskah dia berselingkuh untuk membalas kekuranganku.
"Iya, Aria. Dia Evan Wijaya, seorang yang sekarang sedang makan malam romantis dengan perempuan di depan kita itu suamiku, seorang yang royal dalam memuja selingkuhannya, dan seorang suami yang pintar dalam membohongi istrinya."
Suara geraman marah terdengar dari Aria, satu respon alami saat melihat pengkhianatan tepat di depan mata, jika saja aku tidak menahan Aria yang sudah merangsek maju, mungkin saja Evan akan berakhir dengan wajah babak belur tidak berbentuk.
Setengah tergesa, aku menyeretnya keluar, bukan hanya hati dan egoku yang kupikirkan, tapi reputasi Aria sebagai seorang Perwira yang ada dalam kepalaku jika sampai Aria menghajar Evan, sungguh, menghajar Evan yang begitu busuk sangat tidak sepadan dengan semua kehormatan yang Aria miliki.
Sentakan kuat kudapatkan dari Aria, tampak begitu geram denganku yang menahannya, dengan kesal di cengkeramnya kedua bahuku, memaksaku untuk melihatnya yang sudah berada di ambang batas kekesalan karena melihatku yang berdiam diri atas ulah Evan yang sudah berkhianat.
"Kenapa kamu harus halangin aku buat hajar laki-laki nggak tahu diri seperti Suamimu itu, aku yang orang lain saja terluka melihat perlakuannya Anyelir, apalagi kamu."
Jika ada seorang yang mengatakan seorang yang paling banyak tersenyum adalah orang yang paling banyak menutupi masalah, maka kini aku membenarkan pendapat itu, karena lagi-lagi, ditengah kepahitan yang kurasakan, aku hanya bisa tersenyum di depan Aria yang sudah meluap emosinya, menahannya agar tidak membuat keributan yang akan membuatnya dalam masalah.
"Rasanya sakit banget, Aria. Bahkan rasanya mati lebih baik daripada harus melihat Suamiku bahagia dengan orang lain." jika aku bisa melihatnya, mungkin hatiku bukan lagi hancur, tapi sudah remuk menjadi bubuk yang tinggal tertiup angin untuk lenyap dan hilang. "Tapi marah dan menghajarnya tidak akan merubah apapun, mereka sudah sejauh itu, Aria. Melihat perempuan itu sudah hamil, hubungan mereka sudah terlanjur jauh."
Ingatan akan kalimat mengejek perempuan itu saat menghinaku sebagai perempuan mandul kini kembali melintas, membuatku tuli dengan berbagai umpatan Aria yang keluar karena aku yang hanya terdiam, syok dan kehilangan kata karena tidak pernah kusangka aku akan menemui perempuan paling tidak tahu diri, yang memperlihatkan busuknya dirinya secara terang-terangan sepertinya.
Lututku terasa lemas, bahkan untuk berdiri pun aku tidak sanggup sekarang ini, beberapa waktu ini aku penasaran untuk melihat bagaimana yang sebenarnya suamiku, dan saat aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku kehilangan daya.
Duniaku yang penuh warna kini gelap seketika. Perselingkuhan, benar-benar dilakukan oleh Suamiku.
"Bagaimana bisa kamu tetap berdiam diri disini sementara kamu tahu suamimu dengan tololnya menghamili perempuan lain, itu menjijikkan, Anyelir."
Melihat Aria yang misuh-misuh sendiri, geram, dan berulangkali mengumpat justru menghibur hatiku yang sudah tidak menentu, menjijikkan? Bahkan menyebutnya sebagai suamiku saja rasanya aku tidak sudi sekarang ini.
Tidak, aku tidak akan merendahkan diriku dengan marah-marah dan menjambak perempuan tidak tahu diri itu, walaupun pada akhirnya aku di khianati, aku adalah perempuan terhormat yang dihalalkan dalam pernikahan yang sah.
Aku mengangkat ponselku, memperlihatkan nomor telepon yang sedang kuhubungi pada Aria, sosoknya yang merah padam karena kesal kini berubah keheranan.
"Biarkan Mama mertuaku sendiri yang menghajar anaknya, Aria. Harga diriku jauh lebih tinggi, sangat tidak sepadan jika harus memaki para sampah itu."
🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱
Aria side.
Anyelir.
Seorang Bidadari yang membuatku jatuh hati di kali pertama aku melihatnya, perempuan cantik dengan rambut cokelat gelap yang rela turun dari mobil hanya demi menolong seekor kucing.
Dalam hidupku, seluruh hal yang ada di diri Anyelir adalah hal yang tidak kusukai, perempuan pekerja metropolitan yang mandiri, dan seorang yang begitu fashionable walaupun terlihat begitu simple, tapi sekali lirik pun aku tahu, apa yang melekat di tubuhnya adalah barang mahal, mulai dari stileto yang dia gunakan hingga kemejanya yang mungkin seharga gaji Tamtama.
Nyatanya takdir mempermainkanku, seluruh hal yang tidak kusukai justru harus kutelan bulat-bulat saat pembawaan sederhana Anyelir menampik semuanya, hanya dalam sekejap aku dibuat jatuh hati dengan sikap sederhana, tenang, dan baik hatinya.
Rasanya sangat mengecewakan, disaat aku merasakan getar hangat karena jatuh cinta di saat pandangan pertama, status pernikahannya menghalangi rasa yang kumiliki.
Entahlah, Tuhan menciptakan hati untuk mencintai, tapi hati tersebut sudah dimiliki orang lain.
Nyaris saja aku memantapkan hati untuk menahan perasaanku hanya sebatas kekaguman semata, hingga dipertemuan kedua satu fakta lagi kutemukan, sosok cantik dan baik hati yang sudah merebut hatiku di pertemuan pertama kami, menangis tersedu-sedu penuh kepiluan karena suami yang begitu dicintainya bermain hati.
Tapi lagi-lagi Anyelir adalah perempuan dengan banyak kejutan, dibalik senyuman ramahnya, dia menyimpan kekuatan seorang perempuan tangguh yang akan melibas siapapun yang menyakitinya.
Membuatku merinding dan ngeri sendiri, mewanti-wanti diriku agar tidak membuat masalah dengannya. Anyelir tidak menangis lagi, dia tidak memaki dan mengumpat, tapi membuat Evan miskin tanpa aset sedikitpun adalah pembalasan yang menurutku lebih kejam, belum lagi dengan ide gila Anyelir untuk membuat suaminya menerima sanksi dari orang tuanya sendiri.
Setelah beberapa saat lalu dia muntah-muntah dan teler karena mungkin hamil muda, hal yang sampai sekarang belum kami pastikan kebenarannya, sekarang aku melihatnya tersenyum begitu lebar. menunggu Mama mertuanya untuk menghukum Suaminya yang sedang Dinner romantis dengan selingkuhannya yang sedang hamil besar.
Anyelir, kepintaran, ketenangannya dalam menghadapi suaminya yang tolol semakin membuatku takjub dan jatuh hati untuk kesekian kalinya padanya.
Anyelir tidak perlu mempermalukan dirinya sendiri dengan menghampiri, dan memarahi manusia sampah tersebut, dia hanya berdiri di sampingku, menatap penuh senyum pada Suami dan selingkuhannya yang kini mendapatkan hadiah dari Mertuanya.
Tanpa sadar, senyumku turut mengembang saat melihat senyum sarat kepuasan di wajah Anyelir sekarang ini, walaupun aku tahu senyum itu terbalut luka yang mendalam, tapi aku tahu, semua kesakitan ini akan membuatnya jauh lebih kuat kedepannya.
Evan Wijaya, dia tidak tahu, jika dia telah menyia-nyiakan permata hanya demi beling pinggir jalan dengan menyakiti istrinya ini, Evan Wijaya mungkin tidak tahu, jika dia tidak saja kehilangan Istri, mungkin saja dia juga kehilangan anak yang selama ini dia harapkan?
Anyelir, setelah semua yang terjadi, bolehkah aku berharap jika aku lebih dari sekedar teman untukmu, seorang yang kamu hormati karena seragam yang sedang kukenakan.
TBC
Kentang Gorengnya, Qaqa !!!
😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...